Mohon tunggu...
iid itsna adkhi
iid itsna adkhi Mohon Tunggu... Administrasi - Geoforester

Tulis tulis, bagi bagi, maju maju

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Reboisasi Hutan Mangrove di Teluk Jakarta

24 April 2020   15:50 Diperbarui: 24 April 2020   15:58 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hutan mangrove atau biasa juga disebut hutan bakau merupakan ekosistem yang khas dan memiliki fungsi perlindungan. Mangrove dapat ditemukan di daerah intertidal yang biasanya berada di pesisir pantai dan muara sungai. Hutan mangrove tumbuh di tanah berlumpur yang merupakan tempat pertemuan air tawar dengan air laut yang memiliki salinitas yang tinggi. Ekosistem ini terbentuk juga akibat sedimentasi dari material yang terbawa oleh aliran sungai yang kaya nutrisi bercampur dengan material dari lautan. Derajat keasaman di wilayah ini berada pada kisaran pH 7-8 atau bersifat basa untuk mendukung perkembangan mikroorganisme di dalamnya.

Wilayah ekosistem mangrove dicirikan dengan adanya vegetasi yang memiliki akar tunjang seperti Rhizophora spp yang sangat kuat tertanam di tanah, sehingga mampu menahan gempuran gelombang ombak. Ekosistem ini juga memiliki fungsi sebagai pemecah ombak, sehingga mampu sebagai alat mitigasi bencana tsunami (van Wesenbeeck et al., 2017).

Beberapa spesies mangrove juga memiliki akar napas dan akar lutut sebagai bagian dari proses adaptasi terhadap pasang surut air laut. Jenis spesies dengan akar napas antara lain Avicennia spp dan Sonneratia spp yang akarnya menjulur muncul ke permukaan tanah. Contoh spesies dengan akar lutut adalah Bruguiera spp.

Ekosistem mangrove juga menyimpan cadangan karbon yang sangat tinggi. Jumlah karbon yang terkandung pada ekosistem mangrove dapat mencapai dua kali lipat dari cadangan karbon di hutan lahan kering (Sanderman et al., 2018). Komponen karbon tertinggi terdapat di bawah tanah yang merupakan kumpulan organisme yang tidak terurai karena terendam air (below ground biomass).

Luas ekosistem mangrove di seluruh dunia mencapai 13,8 juta hektar dan paling luas berada di Indonesia yaitu 19,8% dari total luasan dunia (Bunting et al., 2018). Pada tahun 2018 Indonesia memiliki hutan mangrove seluas 2,8 juta hektar (KLHK, 2018b). Jumlah ini menurun kurang lebih seluas 600 ribu hektar bila dibandingkan dengan kondisi tahun 2006 (KLHK, 2008).

Luas hutan mangrove di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2018 mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan tahun 2006. Luas hutan mangrove di tahun 2018 adalah seluas 300 hektar, sedangkan di tahun 2006 seluas 200 hektar. Hutan mangrove di Jakarta tersebar di pantai pesisir utara Jakarta (di Teluk Jakarta) dan di beberapa pulau di Kabupaten Kepulauan Seribu.

Kesatuan hutan mangrove yang berada cukup dekat dengan pusat Ibukota DKI Jakarta ada di daerah Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Suaka Margasatwa Muara Angke, Hutan Lindung Angke Kapuk dan Hutan Produksi Kamal Muara yang seluruhnya berada di Kecamatan Penjaringan, Kota Jakarta Utara.

Ekosistem mangrove juga menjadi habitat penting bagi satwa baik hewan darat maupun berbagai spesies ikan. Di hutan mangrove Suaka Margasatwa Muara Angke masih dapat ditemui monyet ekor panjang, kura-kura, biawak dan beberapa spesies ular. Wilayah ini juga menjadi habitat dari berbagai macam burung, baik spesies burung menetap maupun burung migran. Biota air yang sering dijumpai antara lain; ikan gabus, ikan sapu-sapu, kepiting dan udang (BKSDADKI, 2020).

Hutan mangrove di pantai utara Jakarta ini memiliki peran penting dalam menjaga tata air dan udara di wilayah Provinsi DKI Jakarta dan sekitarnya. Vegetasi mangrove mampu menyerap berbagai limbah logam berat yang terkandung dalam air sungai maupun lautan. Keberadaan hutan ini juga difungsikan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH). Luas RTH di Jakarta masih di bawah 30% dari keseluruhan luas wilayah, sehingga keberadaan hutan mangrove sangat dijaga untuk pemenuhan target RTH tersebut.

Gambar 1. Sebaran ekosistem mangrove di Kecamatan Penjaringan, Kota Jakarta Utara
Gambar 1. Sebaran ekosistem mangrove di Kecamatan Penjaringan, Kota Jakarta Utara

Saat ini perkembangan hutan mangrove di pesisir utara Jakarta mengalami kemajuan yang cukup baik. Pertumbuhan vegetasi mangrove dari kegiatan reboisasi atau penanaman kembali mulai menunjukkan hasil yang meningkat. Hal ini cukup menggembirakan mengingat tekanan yang sangat besar dialami oleh ekosistem mangrove di pesisir utara Jakarta di masa sebelumnya. Tekanan ini berasal dari adanya aktivitas tambak liar yang tidak terkendali sehingga menyebabkan terjadinya penggundulan hutan mangrove.

Ancaman lain terhadap ekosistem ini adalah pertumbuhan permukiman dan infrastruktur pendukungnya yang sangat pesat di sekitar hutan mangrove akibat ketersediaan lahan yang semakin sedikit di Ibukota Negara (Rahardjo, 2017).

Pertumbuhan penduduk dan pembangunan di hulu sungai juga meningkatkan jumlah sampah dan limbah di hutan mangrove. Hutan mangrove di Penjaringan ini merupakan muara dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Angke Pesanggrahan. Sampah padat tidak hanya berasal dari hulu/daratan namun juga dapat pula dikarenakan sampah yang terbawa arus laut dan terdampar di pantai. Sampah padat yang tidak dapat terurai akan menumpuk dan menutupi akar-akar napas vegetasi mangrove sehingga dapat menyebabkan kematian tumbuhan.

Gambar 2. Citra satelit perkembangan hutan mangrove di pesisir utara Jakarta pada periode tahun 1972 s.d. 1990
Gambar 2. Citra satelit perkembangan hutan mangrove di pesisir utara Jakarta pada periode tahun 1972 s.d. 1990

Hutan mangrove di pesisir utara Jakarta sudah sejak lama mengalami degradasi dan fragmentasi. Gambar 2 menunjukkan kondisi hutan mangrove sebelum tahun 1990 telah mengalami kerusakan. Hal ini dikarenakan pembukaan hutan untuk tambak ikan yang sudah terjadi sejak sebelum tahun 1972. Vegetasi mangrove hanya dapat terlihat pada sekat-sekat antara satu petak tambak dengan petak lainnya.

Aktivitas tambak ini banyak dimanfaatkan untuk pengembangbiakan ikan bandeng, kerapu, kakap, bawal dan udang. Usaha tambak kemudian bergeser menjadi bisnis lahan untuk hunian dengan adanya reklamasi lahan pada beberapa lokasi tambak. Pada citra tahun 1990 sudah mulai terlihat kegiatan pengurukan lahan (reklamasi) yang merupakan cikal bakal kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK).

Gambar 3. Citra satelit perkembangan hutan mangrove di pesisir utara Jakarta pada periode tahun 1992 s.d. 2004
Gambar 3. Citra satelit perkembangan hutan mangrove di pesisir utara Jakarta pada periode tahun 1992 s.d. 2004

Setelah tahun 1990 pembangunan Kawasan PIK semakin berkembang dan meluas. Bahkan di tahun 1992 pembangunan lapangan golf terlihat hasilnya. Reklamasi dan pembangunan ini secara langsung mengancam keberlanjutan hutan mangrove. Proses pengurukan tanah tentu saja menghilangkan kondisi tanah berlumpur yang seharusnya menjadi habitat vegetasi mangrove.

Perubahan bentang lahan ini juga menyebabkan perubahan wilayah intertidal di pesisir pantai. Di beberapa titik, hutan mangrove bergeser lebih menjorok ke lautan sehingga terlihat adanya perubahan garis pantai. Pergeseran ini juga disebabkan oleh sedimentasi tanah yang kemudian menciptakan ekosistem mangrove baru (Supriatna et al., 2018). Perubahan garis pantai menyebabkan luas Hutan Lindung Angke Kapuk juga berubah dan kemudian ditetapkan pada tahun 1999.

Tentu saja kegiatan reklamasi ini juga memberikan keuntungan terutama dari aspek ekonomi. Kegiatan reklamasi menyediakan lahan yang cukup luas untuk pemenuhan kebutuhan permukiman bagi masyarakat Jakarta. Selain itu penghasilan daerah dari pajak juga meningkat dengan adanya pusat perbisnisan di daerah tersebut.

Keuntungan ekonomi yang dirasakan secara langsung terkadang menutupi manfaat lingkungan dari hutan mangrove yang ada. Hilangnya hutan tentu saja menyebabkan kualitas air dan udara di pesisir utara Jakarta semakin memburuk. Hutan yang merupakan penghasil oksigen berubah menjadi bangunan bertingkat yang memiliki pendingin ruangan malah meningkatkan suhu di wilayah sekitarnya. Hal ini diperburuk dengan bertambahnya kendaraan bermotor dan kegiatan bisnis/ industri yang beroperasi di wilayah tersebut.

Gambar 4. Citra satelit perkembangan hutan mangrove di pesisir utara Jakarta pada periode tahun 2010 s.d. 202
Gambar 4. Citra satelit perkembangan hutan mangrove di pesisir utara Jakarta pada periode tahun 2010 s.d. 202

Pada periode 2010 s.d. 2020 ini merupakan kondisi dimana reklamasi di PIK sudah selesai dan kegiatan pembangunan pulau baru di teluk Jakarta mulai dilaksanakan. Dengan adanya pulau baru, pola ekosistem di wilayah pesisir pun berubah, begitu pula keberadaan hutan mangrovenya. Selain menambah ketersediaan lahan, keberadaan pulau baru juga memiliki potensi untuk pengembangan hutan mangrove. Pembangunan pulau D, secara alami, menciptakan lahan yang potensial untuk pengembangan hutan mangrove seluas 2,6 hektar di tahun 2015 (Putra & Gumilang, 2019).

Kondisi hutan mangrove di TWA Angke Kapuk sudah semakin membaik. Kondisi kanopi terlihat mulai menutupi beberapa bagian yang awalnya merupakan bekas tambak. Sebagian besar tahap rehabilitasi hutan mangrove di TWA ini berasal dari kegiatan reboisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Sejak ditetapkan sebagai TWA pada tahun 1995, daerah ini menjadi tujuan utama wisata hutan (ekowisata) di Jakarta.

Daerah ini juga menjadi pusat pendidikan mangrove dan pelaksanaan berbagai kegiatan lingkungan hidup (BKSDADKI, 2020). Kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) dari berbagai perusahaan juga berperan penting dalam proses rehabilitasi hutan mangrove. Kegiatan penanaman yang dilaksanakan oleh kelompok masyarakat dengan intensitas yang cukup banyak ini membuat pertumbuhan hutan mangrove di TWA juga cukup baik.

Reboisasi hutan mangrove di pantai utara Jakarta akan berhasil apabila seluruh komponen masyarakat dan pemerintah dapat bekerjasama dengan baik (Sasongko et al., 2014). Dalam menjaga keberlanjutan hutan mangrove tidak hanya masyarakat sekitar pesisir saja yang dapat berperan, namun masyarakat yang berada jauh di pegunungan (hulu sungai) juga memiliki kontribusi yang sangat banyak. Kebiasaan untuk tidak membuang sampah sembarangan dan selalu menjaga kebersihan sungai dan DAS sangat menentukan kualitas hutan mangrove di pesisir.

Ditulis oleh:

Iid Itsna Adkhi

Sumber citra satelit diperoleh dari https://earthexplorer.usgs.gov/ 

Daftar Pustaka

1. Referensi

Bunting, P., Rosenqvist, A., Lucas, R. M., Rebelo, L. M., Hilarides, L., Thomas, N., Hardy, A., Itoh, T., Shimada, M., & Finlayson, C. M. (2018). The global mangrove watch - A new 2010 global baseline of mangrove extent. Remote Sensing, 10(1669), 1–19. https://doi.org/10.3390/rs10101669

Putra, I. S., & Gumilang, R. S. (2019). Dampak Pulau Reklamasi terhadap Sedimentasi dan Potensi Perkembangan Mangrove Di Pesisir Teluk Jakarta (Muara Angke). Jurnal Sumber Daya Air, 15(2), 81–94. https://doi.org/10.32679/jsda.v15i2.587

Rahardjo, P. (2017). Ecosystem Approach Studying Development of North Coast Jakarta. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 79(1), 1–10. https://doi.org/10.1088/1755-1315/79/1/012009

Sanderman, J., Hengl, T., Fiske, G., Solvik, K., Adame, M. F., Benson, L., Bukoski, J. J., Carnell, P., Cifuentes-Jara, M., Donato, D., Duncan, C., Eid, E. M., Ermgassen, P. Z., Lewis, C. J. E., Macreadie, P. I., Glass, L., Gress, S., Jardine, S. L., Jones, T. G., … Landis, E. (2018). A global map of mangrove forest soil carbon at 30 m spatial resolution. Environmental Research Letters, 13(5), 1–12. https://doi.org/10.1088/1748-9326/aabe1c

Sasongko, D. A., Kusmana, C., & Ramadan, H. (2014). Strategi Pengelolaan Hutan Lindung Angke Kapuk. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, 4(1), 35–42. http://jesl.journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl/article/view/10520

Supriatna, S., Purwadhi, S. H., & Purwanto, A. D. (2018). The spatial dynamics model of mangrove forest changes in Segara Anakan, Cilacap. AIP Conference Proceedings, 2023(October). https://doi.org/10.1063/1.5064186

van Wesenbeeck, B. K., de Boer, W., Narayan, S., van der Star, W. R. L., & de Vries, M. B. (2017). Coastal and riverine ecosystems as adaptive flood defenses under a changing climate. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, 22(7), 1087–1094. https://doi.org/10.1007/s11027-016-9714-z

2. Pustaka lain

BKSDADKI, 2020, Suaka Margasatwa Muara Angke, https://bksdadki.com/page/kawasan_dki/Suaka-Margasatwa-Muara-Angke, diakses pada 20 April 2020

BKSDADKI, 2020, Taman Wisata Alam Angke Kapuk, https://bksdadki.com/page/kawasan_dki/Taman-Wisata-Alam-Angke-Kapuk, diakses pada 20 April 2020

KLHK, 2008, Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2006, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, http://appgis.menlhk.go.id/appgis/download.aspx?status=view&filename=Rekalkulasi%20Penutupan%20Lahan%202008.pdf&fileFullName=E:\webgisapp\Download\1.1.%20Buku%20REKALKULASI%20PENUTUPAN%20LAHAN%20INDONESIA\Rekalkulasi%20Penutupan%20Lahan%202008.pdf

KLHK, 2018a, Peta Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Tengah Sampai dengan Tahun 2017 (Lampiran Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.8108/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/11/2018 tanggal 23 November 2018)

KLHK, 2018b, Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, http://appgis.menlhk.go.id/appgis/download.aspx?status=view&filename=Rekalkulasi%20Penutupan%20Lahan%202018.pdf&fileFullName=E:\webgisapp\Download\1.1.%20Buku%20REKALKULASI%20PENUTUPAN%20LAHAN%20INDONESIA\Rekalkulasi%20Penutupan%20Lahan%202018.pdf

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun