Mohon tunggu...
Syamsul Barry
Syamsul Barry Mohon Tunggu... -

Pengajar di Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Aktif berkarya seni dan menulis, tinggal di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kekuasaan (Perempuan) di Titik Nol

17 Juni 2010   06:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:29 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemaknaan pelacur bagi Firdaus adalah perlawanan yang menjungkir balikan segala aturan yang bersifat laki-laki dan yang menunjukan superioritas laki-laki. Kepelacuran yang di jalani sebagai sebab akibat dari realitas keadaan masyarakatnya juga sebagai lahan hidupnya (mencari uang) sekaligus sebagai perlawanan. Anggapan Firdaus tidak ada salahnya dengan pelacuran adalah pukulan telak yang mengkritik terhadap cara penafsiran kitab suci Al Quran yang telah dilakukan.

Nikmatnya (Seksual) Firdaus

Sebelum disunat diceritakan dalam novel, Firdaus dapat merasakan getaran nikmat yang luarbiasa, dikisahkan Muhammadain seorang anak laki-laki kecil, sering bermain-main menjadi pengantin, menyuruhnya tidur dan mengangkat bajunya. Namun setelah sunat ketika pamannya meraba paha dan bagian lainnya Firdaus tidak pernah lagi merasakan hal yang pernah dirasakan sewaktu kecil.

Firdaus merasakan hal kenikmatan yang aneh ketika pamannya untuk pertama kalinya menidurinya. "Gemetar sekujur tubuh saya, dicekam oleh perasaan yang tidak dapat saya jelaskan, bahwa jemari paman yang besar dan panjang-panjang itu bergerak ke arah saya tak lama kemudian dan secara hati-hati mengangkat selimut di atas tubuh saya, jari-jarinya yang gemetar pakan menelusuri perlahan-lahan ke atas sepanjang paha saya. Sesuatu yang aneh terjadi pada diri, aneh karena hal itu belum pernah terjadi pada saya atau hal itu selalu terjadi sejak saya dapat mengingatnya. Entah di mana, di suatu tempat tertentu di dalam tubuh saya terbangun sesuatu rasa yang telah hilang sejak waktu yang lama atau suatu kenikmatan yang baru, yang belum di ketahui dan tidak dapat dipastikan, karena hal itu seakan-akan timbul diluar tubuh saya atau dalam suatu bagian diri saya yang dipotong sekian tahun yang lalu"[5]

Tidak ada aturan yang mengatur tentang kewajiban sunat untuk perempuan, tetapi bisa jadi hal itu telah menjadi aturan ritual dari budaya setempat untuk menandakan kedewasaan (inisiasi). Hilangnya "rasa" pada perempuan yang disunat bisa dilihat sebagai upaya laki-laki untuk bisa lebih mengontrol perempuan. Hilangnya rasa nikmat pada perempuan tentunya membuat perempuan tidak begitu punya hasrat sehingga perempuan dengan tidak tahu apa-apa bisa menerima konsep monogami. Hal ini bagi Firdaus menjadi salah satu alasan kemudian ketika memutuskan menjadi pelacur (secara sadar), memperkuat pendapatnya "Semua perempuan adalah pelacur" sebab mereka adalah objek seks, bahkan budak seks dan perbudakan seks yang paling nyata ada pada kehidupan rumah tangga.

Penutup

Firdaus menjadi pelacur kemudian menjadi merasa bebas dan mandiri. Ia merasa lahir kembali sebagai manusia. Menjadi pelacur merupakan suatu metamorphosis dari pembebasan. Jika tidak menghendaki ia bisa saja menolak ajakan kencan walaupun dari pejabat negara sekalipun. Ia mampu melumatkan uang hasil kencannya di hadapan pangeran kaya yang menghinanya. Namun kebebasannya tidak berlangsung lama karena germo yang menyergapnya dan memaksanya kembali menjadi budak seks terpaksa dibunuhnya. Akibatnya ia dihukum mati. Tetapi bagi Firdaus kematian di tiang gantungan justru yakin akan menemukan Firdaus yang sesungguhnya.

Novel ini selain berbicara kehidupan perempuan di Arab Mesir kemudian membuka pikiran kritis yang cukup penting bahwa Islam bukan berarti Arab. Karena bisa sama sekali lain. Dalam Konteks Indonesia, cerita kejamnya orang Arab tidak kalah seru dibanding novel ini, para Tenaga Kerja Wanita Indonesia merupakan saksi langsung dari betapa buruknya kaum laki-laki Arab memberlakukan perlakuannya terhadap perempuan. Apa yang di utarakan dalam novel ini tentunya menjadi gugatan terhadap para penguasa juga perempuan yang mendukungnya untuk coba menjawab kelucuan yang aneh ini, kenapa laki-laki boleh menjual ototnya seperti tukang becak, kuli tetapi perempuan yang mempunyai otot kuat di selangkangannya tidak boleh menjualnya? Kenapa otot yang ini boleh dan yang itu tidak boleh? Penggugat itu tentunya bisa bernasib seperti Firdaus. Hal yang lebih jauh lagi coba diungkapkan dalam novel ini adalah mendekonstruksi posisi perempuan sebagai penerima pasif kegiatan seks tetapi menjadi bagian yang aktif. Perilaku poligami perempuan biasa digambarkan dengan diikuti perasaan bersalah, tetapi Firdaus kemudian untuk menyingkirkan perasaan bersalah itu kemudian menggantikannya dengan kepuasaan. Kepuasaan yang muncul karena telah mengambil keputusan sebagai perempuan dewasa tanpa menghubungkan kepuasannya itu dengan kepuasaan yang selama ini dipersepsi oleh laki-laki atau aturan yang diluar dirinya.

Nawal el-Saadawi lewat novelnya memahami bahwa kehidupan ditata oleh berbagai jaringan yang mempunyai kepentingan yang beragam dan yang paling aneh adalah kemerdekaan perempuan karena untuk menentukan pengelolaan tubuhnya sendiri dianggap bisa mengancam segalanya. Lewat keseluruhan struktur dramatiknya penulisnya mentranformasikan dirinya menjadi Firdaus, dunia Firdaus diciptakan untuk merepresentasikan ide-idenya untuk menolak pemerintahan formal dan menentang adanya teks final yang diambil dari Kitab Suci. Kitab suci baginya adalah kitab politik yang baku. Kemenangan perempuan baginya harus bisa mencabut akar permasalahan yang menghasilkan ketimpangan gender dan menciptakan masyarakat yang berbasis kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan. Membaca novelnya membuat timbul pemikiran apakah pengalaman perempuan adalah milik perempuan dan apakah seorang laki-laki mau (sebenarnya bisa) menginternalisasikan suara perempuan dan bersimpati terhadap perempuan?

[1] Endriani Dwi Siswanti, "Perempuan di Titik Nol- Perlawanan Perempuan Melawan Tatanan Konservatif" dalam Jurnal Perempuan, No. 30, 2003, Jakarta: YJP, 2003 hal.25.

[2] Rusdiarti, Piella suma (2003)" Bahasa Pertarungan Simbolik dan kekuasaan", terj. Haryatmoko, dalam Basis, No. 11-12 , Yogyakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun