Melalui kisah tragis dari seorang pelacur perempuan yang akan di hukum mati, Nawal el Sa'dawi melontarkan pemikiran kritisnya terhadap realitas eksistensi laki-laki yang ada dengan pendekatan feminis. Nawal menggambarkan kenyataan sesungguhnya hubungan laki-laki dan perempuan didalam masyarakat adalah hubungan politik, karena hubungan itu didasarkan pada struktur kekuasaan. Gambaran yang dikisahkan ini sudah barang tentu kemudian menimbulkan kesadaran bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam sistem sosial (Arab/Mesir) yang telah mapan ini. Nawal El Saadawi adalah satu dari sekian penulis perempuan yang menggunakan sudut pandang 'aku'. Sudut pandang sendiri adalah sebuah posisi yang mengatur alur informasi, pengetahuan sekaligus menandai kekuasaan. Sudut pandang 'aku' berarti pengarang menandai dirinya sendiri sebagai penutur dan sebagai 'subyek' dan lawan bicaranya sebagai 'anda-kamu'. Hal ini menandai hubungan suatu subyek dengan dunia.
Tokoh utama dalam kisah ini bernama Firdaus, sebuah nama yang indah dan mengingatkan kepada sebuah tempat yang sangat bermakna, Firdaus artinya surga, tempat kebebasan. Tetapi dalam kisah ini Firdaus mempunyai kehidupan yang justru berlawanan dengan makna nama yang melekat padanya dan amat jauh dari kenikmatan surgawi. Kehidupan Firdaus adalah neraka dunia yang penderitaannya kemudian berakhir dengan hukuman mati.
Firdaus dalam karya sastra ini merupakan tokoh yang problematik yang berhadapan dengan kondisi sosial buruk dan berusaha mendapatkan nilai-nilai kebebasan dari keterkungkungan. Tentu saja pengarangnya bukan tidak punya maksud, sastra disini benar-benar ditempatkan sebagai media alternatif perjuangan feminisme dan memunculkan keberanian untuk melihat perempuan, permasalahan dan dunianya melalui prespektif mereka secara otonom. Pembagian peran yang sengat diskriminatif antara laki-laki dan perempuan lahir dikarenakan sistem kekuasaan yang ada memiliki ciri laki-laki memiliki otoritas untuk menguasai dan mendominasi kehidupan perempuan di segala bidang, baik politik, ekonomi, agama maupun sosial. Relasi antara laki-laki dan perempuan masih didominasi ideologi dan sistem patriarki.
Dari apa yang dikisahkan dalam "Perempuan di Titik Nol" terlihat penulisnya menggunakan strategi kultural, melalui tulisan untuk menyuarakan keberpihakannya dengan perempuan. Sa'dawi menggunakan bahasa sebagai senjata. Ujung penanya berusaha membangun ideologi tandingan untuk melawan konvensi sastra yang male bias. Konvensi sastra yang selama ini sarat dengan vested interest pandangan dunia patriarki. Dijelaskan oleh Endriani bahwa sastra dalam sistem patriarki menjadi mediasi ideologi maskulin dan alat hegemoni melalui konvensi nilai sastra yang bersifat asimetris, yaitu diposisikannya laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan. Atmosfer sastra demikian berbias pada citra dan posisi perempuan (baik pengarang maupun penokohan manusia perempuan) dalam karya sastra.[1] Namun walaupun kenyataan demikian masih saja banyak perempuan yang masih menerima atau kurang tahu persoalan ini. Hal ini terjadi juga karena panjangnya masa atau lamanya ideologi maskulin menghegemoni, sehingga menjadi dianggap biasa. Hal ini diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar. Penerimaan sebagai sesuatu yang wajar ini menurut Bourdieu karena kekerasan simbolik bekerja dengan mekanisme me'connaissance - mekanisme penyembunyian kekerasan yang dimiliki- menjadi sesuatu yang harus diterima "Yang memang seharusnya demikian" inilah yang disebut Bourdieu sebagai doxa. Keberadaan doxa ini hanya dapat diperoleh melalui inkalkulasi, atau proses penanaman yang terus menerus. Proses ini berlangsung efektif di dunia pendidikan. Atas nama pendidikan, maka peserta didik menjadi objek penanaman produk-produk budaya para pendahulunya.[2]
Pendidikan menjadi bagian penting ketika berbicara hegemoni, perlawanan sudah barang tentu dilakukan juga lewat pendidikan. Salah satunya lewat karya sastra. Dengan karya sastra yang ber-ide kuat sebagaimana "Perempuan di Titik Nol" tentunya bisa menjadi aksi yang efektif dalam membongkar dan memberikan tonggak berpikir kritis terhadap realitas perempuan dalam kehidupan keseharian di Mesir.
Semua "laki-laki" penjahat (pelacur)?
Perempuan Firdaus lahir dalam keadaan miskin materi dan kasih sayang. Bahkan tidak mengenali ayahnya sendiri. Selain miskin, sejak kanak-kanak Firdaus mengalami berbagai pengalaman buruk berkaitan dengan paksaan ataupun serangan seksual yang pelakunya adalah pamannya sendiri, seorang yang seharusnya melindunginya. Pamannya adalah seorang calon ulama yang sedang belajar agama di Universitas terkemuka Al Azhar. Ketika menginjak remaja, Firdaus terpaksa menikah dengan seorang Syekh tua, pelit, kasar dan di dagunya ada bisul yang berbau tidak sadap karena desakan persoalan ekonomi keluarga. Kehidupan rumah tangga yang dijalaninya dipenuhi oleh penyiksaan fisik dan mental hingga seksual. Karena tak tahan Firdaus lalu melarikan diri dan masuk dunia prostitusi, dunia yang tanpa sengaja termasuki dan dicoba dinikmati, tetapi harus berakhir dramatis berupa hukuman mati baginya. Di dalam kesulitan itu ia berkesimpulan bahwa dominasi dan kemunafikan laki-lakilah yang menyebabkan semua itu. Luka batin yang amat perih dalam dirinya terucap " Saya mengatakan bahwa kamu semua adalah penjahat, kamu semua: para bapak, paman, suami, germo, pengacara, wartawan dan semua laki-laki dari semua profesi."[3]
Kesan kuat dari apa yang di kisahkan dalam novel ini bahwa perempuan bekerja menjadi pelacur adalah pekerjaan yang terhormat, tentunya akan menjadi perdebatan dalam masyarakat. Di satu sisi dalam novel ini jelas pilihan yang dipilih oleh Firdaus tentunya bukan tanpa pertimbangan karena dengan menjadi pelacur Firdaus dapat memberi perlawanan terhadap sistem kemasyarakatan yang ada. Kepelacuran bagi Firdaus adalah membalik segala apa yang diklaim laki-laki misalnya; poligami yang dilakukan atas dasar ayat agama yang ditafsirkan dengan frame ideologi laki-laki untuk mewadahi libido laki-laki. Sedangkan perempuan mendapat nilai monogami setelah menikah, perempuan hanya boleh melakukan hubungan seksual dengan seorang laki-laki saja. Dengan pelacuran Firdaus meruntuhkan klaim keperkasaan laki-laki yang dimana-mana dianggap sama.
Firdaus menggunakan pelacuran sebagai media perlawanan total dan dominan dalam novel ini. Meskipun secara hukum normatif dianggap sabagai orang yang berprilaku menyimpang. Tetapi tidak ada pelacuran yang terjadi jika tidak ada laki-laki yang memakai, hal ini yang oleh Firdaus dijadikan pemerkuat pandangannya untuk tetap terjun di dunia pelacur.
Islam, Pernikahan dan Pelacuran Firdaus
Secara normatif dalam Islam hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan harus diikat oleh tali pernikahan. Hubungan seksual diluar pernikahan seperti pelacuran termasuk zina. Pelacuran maupun zina sudah barang tentu dilarang keras dan diancam hukuman fisik yang berat bagi pelakunya (laki-laki ataupun Perempuan) bahkan hingga hukuman mati. Didalam Islam juga mengatur aturan untuk bercerai, namun memang aturan ini di kuasakan kepada laki-laki. Islam dalam beberapa aliran memperbolehkan adanya poligami tetapi melarang poliandri, perempuan hanya berhak monogami dan berkewajiban menjamin bahwa anak-anak yang dilahirkannya adalah anak suaminya bukan anak orang lain untuk menjamin kesucian paternalitas pewaris kekayaan dan garis darah laki-laki. Namun secara total Firdaus menolak dan menentang norma yang berkaitan dengannya baik norma Islam maupun masyarakatnya. Baginya perkawinan adalah penjara dan perbudakan.
"Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan kepada perempuan dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka karena jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan dan menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka atau menghantam mereka dengan penghinaan atau dengan pukulan.
Kini saya sadari bahwa yang paling sedikit diperdayakan dari semua perempuan adalah pelacur. Perkawinan adalah lembaga yang dibangun atas penderitaan yang paling kejam untuk kaum Perempuan"[4]