Perbedaan seringkali menjadi sebuah isu yang hangat diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia. Perbedaan ini layaknya sebuah pisau yang dapat menimbulkan perbedaan pemanfaatan yang sangat drastis, tergantung dari cara kita menggunakannya.Â
Pisau bisa digunakan sebagai alat yang sangat bermanfaat bagi manusia jika digunakan secara benar, seperti dalam pengolahan makanan yakni untuk memotong sayur mayur, maupun daging segar.
Di sisi lain pisau bisa juga digunakan untuk menusuk orang yang berujung kehilangan nyawa. Analogi ini juga bisa kita gunakan pada kasus perbedaan. "Bhinneka Tunggal Ika" yang berarti berbeda tapi satu bisa mendekatkan satu sama lain, dan mengajarkan manusia terhadap realitas dimana manusia yang hidup di bumi ini beragam.Â
Di sisi lain perbedaan juga dapat menjadi bibit perpecahan. Ini biasanya terjadi ketika suatu golongan tertentu merasa lebih hebat dari golongan lainnya.Â
Hal ini juga bisa terjadi ketika terdapat mayoritas yang jumlahnya jauh lebih banyak dari minoritas yang berusaha menguasai minoritas tersebut. "Kita tidak akan menjadi bangsa yang besar kalau kita tidak bisa menghormati perbedaan di antara kita." merupakan kutipan yang diambil dari presiden pertama republik Indonesia, Ir. Soekarno.
Terdapat kegiatan unik yang dilaksanakan oleh Kolese Kanisius untuk mengajarkan muridnya perbedaan ini. Kegiatan ini dinamakan dengan kegiatan ekskursi. Secara definisi, menurut KBBI sendiri, ekskursi dapat diartikan sebagai perjalanan untuk bersenang-senang; piknik; darmawisata.Â
Dalam kolese kanisius sendiri, ekskursi adalah kegiatan yang dilakukan setiap tahunnya dimana siswa kolese kanisius mengunjungi sebuah pondok pesantren yang berlokasi biasanya di sekitar provinsi Jawa Barat dan Banten. Kegiatan ini biasanya berlangsung selama tiga hari dua malam.
Kali ini, saya bersama 30 orang teman saya sebagai siswa Kolese Kanisius diberikan kesempatan untuk hidup dalam perbedaan, yakni dengan mengunjungi salah satu pesantren untuk dapat merasakan berlangsungnya kegiatan di lingkungan yang sangat berbeda dengan tempat saya berdinamika sehari-harinya. Bagaimana tidak, kegiatan yang biasanya berlangsung di SMA Kolese Kanisius kini berubah ke pondok pesantren Nur El-Falah.Â
Pondok Pesantren Nur El-Falah merupakan salah satu dari banyak pondok pesantren yang berdomisili di Kabupaten Serang, Banten. Pondok Pesantren ini didirikan oleh KH. Abdul Kabier, dan dikelola oleh Organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Pondok pesantren ini kini berada di bawah pengawasan Gus Yuri.Â
Pada kesempatan itu, perbedaan yang kami rasakan datang dalam berbagai bentuk. Misalnya saja, dari segi agama.Â
Biasanya selama bersekolah di SMA Kolese Kanisius siswanya mungkin mencapai 85% beragama katolik, namun di pondok pesantren ini, mereka merasakan hidup sebagai minoritas di sekolah karena tentunya dalam pondok pesantren, seluruh siswa maupun siswi beragama muslim yang menjalankan kewajiban dari agama mereka secara sangat patuh dan taat.Â
Dengan diadakannya kegiatan ini seolah-olah siswa SMA Kolese Kanisius diajak untuk membuka mata atas perbedaan yang ada di bumi indonesia tercinta, dimana mereka diajak keluar zona nyaman dan belajar bagaimana golongan lain memuja tuhannya.
Hal ini justru kebalikan dengan yang saya alami. Sebagai seorang muslim yang bersekolah di SMA Kolese Kanisius, hal sebaliknya justru yang saya alami. Meskipun hidup di Indonesia yang mayoritasnya islam, seagama dengan yang saya anut, 80 persen dari kehidupan yang saya jalani ada di SMA Kolese Kanisius, sehingga yang saya rasakan adalah menjadi minoritas di kalangan teman-teman saya di sekolah yang kebanyakan katolik. Seolah-olah hal tersebut berbalik untuk hanya tiga hari ketika kami mengunjungi pondok pesantren.
Dengan diadakannya kegiatan ini, kami belajar menghargai perbedaan yang muncul di tengah masyarakat. Timbul yang namanya saling menghargai karena siswa SMA Kolese Kanisius mungkin selama ini belum tahu proses beribadah seorang muslim, sekarang jadi tahu setidaknya sedikit tentang dasar-dasar menjadi seorang islam.
 Tentunya memiliki perbedaan dengan apa yang dianut oleh umat katolik. Paling unik, bangun pukul tiga pagi untuk sholat yang mungkin terkesan melelahkan bagi yang bukan beragama islam.
Selain mempelajari perbedaan, di pondok pesantren Nur El-Falah, kami juga belajar menjadi pribadi yang lebih bersyukur atas nikmat yang dianugerahkan tuhan pada kami, karena ternyata, kehidupan mereka tidak seberuntung kami.Â
Dari segi makanan saja, kami tidak pernah sehari pun merasakan makan tanpa lauk daging dan sayur, sementara justru hal tersebut merupakan hal yang mewah di pondok pesantren ini, dimana seringkali makanan yang disajikan hanyalah nasi dan tempe, dan daging hanya diberikan satu kali seminggu, sederhana sekali. Ruang kelas dan gedung mereka pun sudah tidak dalam kondisi yang prima.
Sebagai penutup, kegiatan ini mengajarkan siswa SMA Kanisius atas realita bahwa mereka yang selama ini menjadi mayoritas diajak keluar dari tempurung dan melihat dunia luar. Selain itu mereka juga melihat bgaimana beruntungnya mereka atas rezeki yang tuhan berikan diantara orang lain yang tidak terlalu beruntung.Â
Peran kita di masa depan adalah bagaimana mendorong sesama warga negara Indonesia agar dapat lebih makmur ditengah perbedaan yang mewarnai bumi Nusantara.
Perbedaan adalah Kekuatan
(oleh Taufik Ismail, tokoh sastra)
Berbeda itu warna,
Di setiap langkah ada ceritanya.
Tak perlu takut pada yang tak sama,
Bukankah pelangi indah karena warna?
Indonesia itu rumah besar,
Di mana perbedaan bersandar.
Jangan biarkan ia terbakar,
Karena amarah yang memudar.
Bersama kita kuat,
Berbeda kita hebat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H