Mohon tunggu...
Ihya Aditya Fami Maarif
Ihya Aditya Fami Maarif Mohon Tunggu... Freelancer - Im Human.

Random Thoughts Are Pleasureable.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Percakapan antara Sergiala dan Bulan: Harapan

23 Juli 2021   15:16 Diperbarui: 23 Juli 2021   15:34 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah tebing yang menjadi pembatas terhadap laut setelah hutan itu adalah tempat favorit sang Serigala untuk bertemu cinta pertamanya. Sendu angin malam, sepi ujung tebing, dan riuh bunyi serangga selalu kompak menemani sang Serigala untuk bercengkrama dengan sahabat yang sekaligus cinta pertamanya tersebut. Adalah Bulan, sosok yang tidak bosan untuk ditemui oleh Serigala.

Wujud Bulan selalu berbeda-beda, terkadang ia Bulat sempurna dan bercahaya gemerlap. Terkadang ia sabit dan tegas dengan lancipnya. Kadang pula ia berbentuk setengah dan tertutup awan yang nampak hitam. Dan sesekali, ia menjadi merah dengan sedikit marah. Perbedaan itulah yang menjadi alasan sang Serigala untuk berbincang tentang segala hal hingga Bulan dipanggil dan diganti oleh Matahari.

Malam itu, Bulan berbentuk Bulat sempurna dan cahayanya mampu menyoroti laut yang tenang beralunan maju mundur statis. Sang Serigala datang dengan mulut yang berlumuran darah. Ia berjalan perlahan menuju ujung tebing itu sambil ditiupkannya angin dingin pada bulu-bulunya yang berwana putih keabuan. Serigala selalu datang dengan sebuah topik yang bisa jadi tentang masalah yang tidak berkesudahan. Meski kadang sang Serigala gengsi untuk menceritakan apa yang tengah terjadi.
Namun Bulan selalu mengerti, menerima, dan mendengarkan.

"Auuuuuuu" Lolongan panjang sebagai tanda bahwa sang Serigala mencoba memanggil Bulan.
"Ayolah, tak perlu memanggilku seperti itu, aku sudah paham kau akan datang, masalah apa sekarang yang kau ingin ceritakan, Putih?" Respon Bulan pada Serigala dengan yakin.

Sang Sergiala mengelak, dia mencoba membuang muka sambil menegaskan, "Apasih maksudmu, darah di mulutku? Aku baru saja makan! setiap serigala, bahkan seluruh makhluk hidup butuh makan agar tetap menjadi mahkluk hidup!"
"Tapi Putih, hanyalah seekor mamalia yang terganggu jika tidak bisa menikmati makanannya. Lihatlah, kau bahkan tidak menghabiskan darah hasil buruanmu, kau malah meninggalkan begitu saja pada wajah burukmu itu." Jawab Bulan dengan tetap menaruh nada merdunya. "Kau sedang marah, kan? Jujur saja, siapa yang membuatmu marah kali ini? sekawanan lain di kelompok tersebut lagi kah?

Darah yang berlumuran pada mulutnya memang terlihat jelas, merah dan belum mengering. Darah tersebut memang ditinggalkan oleh sang serigala bukan tanpa alasan. Sang serigala sebenarnya baru menyantap seekor kijang. Tapi ia belum menghabiskan santapannya, bahkan ususnya masih banyak yang tertinggal di mayat kijang tersebut. Tapi alasan kenapa dia marah dan tidak menghabiskan santapannya bukanlah oleh "sesiapa".


"Kau salah! Oke, aku memang marah, namun ini bukan oleh siapapun! aku tak berhak menyalahkan siapapun, aku mengutuk diriku sendiri, Bulan!" Saut Serigala sambil melampiaskan segala bentuk kemarahannya.
"Oke, kalau begitu, apa yang membuatmu marah? Sampai-sampai dan selalu saja kau menyalahkan dirimu, tidak kah kau coba saja salahkan pohon maple ditengah gerumunan pohon pinus itu? jelas-jelas dia menyimpang. Hahahahaha" Bulan bertanya sambil bergurau yang jelas merupakan kebiasaannya agar sang Serigala melunakan jati diri buasnya.
"Keinginan dan Harapan" jawab sang Serigala sambil menundukan kepalanya. "mengapa mereka selalu saja mencelakai makhluk hidup? Ini terjadi tidak hanya pada diriku seorang. Kawananku, para herbivora, pohon pinus, bahkan pohon maple yang kau sebutkan pun sering berkeingingan namun malah mati dilahap keinginannya sendiri."
"Putih..." Bulan merasa iba, ia melihat sang Serigala tersebut mulai meneteskan air mata.

Sang Serigala berbalik kearah hutan pinus lebat tempat ia datang. Ia merenungi seekor kijang yang disantapnya tadi. Dengan beberapa detik kejar mengejar dan satu lompatan, kijang tersebut berhasil di bunuh dan diambil hidupnya melalui gigitan keras pada lehernya. "Putih" adalah sosok sergiala hebat, ia mampu bertahan hidup dengan kondisi apapun, meski terkadang harus sendiri. 

Dia tetap tergabung pada kawanan layaknya serigala lainnya. Tetapi kerap kali ia di hakimi atas atas tindakan yang sebenarnya sama seperti serigala lainnya, dari Delta hingga Alpha. Namun Putih, sang Serigala itu tidak pernah ambil pusing, meskipun dia mampu menghabisi semuanya, ia memilih untuk pergi sesekali, karena berargumen dan bertarung dengan serigala yang berbeda pola pikir hanya akan merusak kawanan tersebut, karena perbedaan lah yang selalu sang Serigala sukai.

Namun, perbedaan dan keaneka ragaman yang ia dambakan sering kali melukai dirinya meskipun ia mampu bersabar sepanjang musim. Ia selalu berharap agar perbedaan dapat terlihat seperti kebun bunga warna warni milik sang petani.

Sang Serigala selalu terpukau pada Bulan. Dalam situasi apapun, bulan selalu sabar dan bijak meski pertemuan di setiap wilayah hanya terhitung beberapa jam. Berbeda dengan sang Serigala, Bulan selalu menaruh harapan pada apapun dan tidak pernah menyesali pada setiap harapan yang sirna.

Bulan memiliki satu kepercayaan yang besar, dan dia tidak pernah menyerah pada harapan tersebut. Bahkan Bulan percaya, ia akan bertemu dengan Matahari. Suatu saat, meski hanya sesaat.

"Putih, coba lihat birunya langit dan birunya lautan di depanmu.."
"Kenapa?" tanya sang Serigala sambil mengusap mata dengan kakinya. "saat malam, biru mereka selalu terlihat menyedihkan"
"Karena segala suatu ada waktunya."
"Lalu?"
"Saat musim gugur, daun selalu mengikuti kemana angin membawanya, meski ia sadar saat berpisah dengan rantingnya, berarti ia mati."
"Lalu?"
"Tetaplah berharap. Pada waktunya akan tersampaikan. Bila tidak, ikuti kemana angin membawamu selanjutnya." Tegas Bulan agar sang Serigala tidak menyerah. "Pada akhirnya, semua tetap akan mati bukan?"

Bulan tak peduli bagaimana sang Sergiala meneriakinya. Ia justru senang, sang Serigala dapat melepaskan emosinya tanpa merugikan mahkluk hidup lain. Bahkan sekarangpun Bulan berharap pada sang Serigala, agar tidak menyerah pada harapannya. Agar mampu berharap pada sebuah harapan.

Bisa jadi bulan disebut satelit bagi bumi bukan hanya karena ia mengelilingi planet yang kita pijaki. Namun juga karena bulan mampu teguh dan terus memberikan contoh yang dapat di tafsirkan oleh mahkluk hidup lainnya agar hidup lebih layak dan terus merangsang kebahagiaan. Sebagaimana sang Bulan yang tetap tidak bosan mendengarkan celotehan diiringi teriakan kekesalan sang Serigala.

Sang Serigala nampaknya mulai menerima saran yang tak pantas diberikan kepada dirinya karena buas dan selalu penuh emosi. Namun, selayaknya serigala lainnya, Putih harus selalu beradaptasi agar tetap hidup dan meraih kebahagiaannya.

"Putih, kalau boleh tau, apa yang sebenarnya dirimu harapkan sampai-sampai membuatmu mengutuk dirimu sendiri tidak kepada pohon maple?" Tanya sang bulan pada sang Serigala yang kembali memandangi lautan tenang nan statis.
"Aku ingin berubah, aku ingin mendapatkan sesuatu." "Namun seringkali mahkluk lain menafsirkan keinginan perubahanku karena aku ingin mendapatkan hal tersebut. Padahal jelas, keduanya berbeda. Maka aku berharap agar semua orang paham dengan apa yang sebenarnya ada, tanpa menyeletuk dengan penuh najis dari mulut mereka dan tanpa perlu aku menjelaskan apa yang sebenarnya hingga keringatku bercampur darah."
"Baik, teruskan harapanmu. Kau tidak salah. Kau tidak pernah salah dalam hal apapun. Benar dan salah hanyalah sebuah ilusi terhadap ambisi dan nafsu mahkluk hidup."
Benar dan salah hanyalah sebuah ilusi, kata sang Bulan. Saat seekor singa merasa benar untuk menerkam hyena satu lawan satu, maka dilakukan lah hal tersebut oleh seekor singa. Saat hyena merasa hal tersebut salah karena tidak adil, maka dicarilah pembenaran bahwa seharusnya singa sebanding dengan empat sampai lima hyena. Dan mahkluk lain hanya akan memperdebatkan tentang siapa yang benar-benar kuat dan lemah.

Teruslah, teruslah berharap. Berjuanglah tanpa henti. Bulan mendoakan sesiapun yang menikmati perjuangannya, yang menikmati juga prosesnya. Di akhir perbincangan, bulan menjelaskan pada sang Serigala, bahwa makhluk hidup sebenarnya diberikan keadilan tingkat tinggi oleh sang pencipta---meski sekarang maknanya menjadi tidak adil.
Mereka hidup diantara biru laut dan biru langit. Mereka berdiri di tempat paling aman. Jika berada di langit, kemungkinan jatuh dan menabrak atmosfer lalu terbakar sangat besar. Jika berada di laut, kemungkinan tenggelam dan di telan seekor paus bisa saja terjadi meski setangguh apapun mereka berenang.


"Nikmatilah, Putih. Kau memiliki halang rintang yang mendukungmu."
Tak terasa waktu kedatangan Matahari sebentar lagi, Bulan harus segera bergegas agar tidak mengganggu tatanan surya.
"Bulan, tunggu. Benar bahwa berharap tidak pernah salah? Berahap apapun dan pada apapun?" Tanya sang Serigala terburu-buru karena tau Bulan akan pergi sebentar lagi.
"Tidak, tapi.."
"Tapi apa bulan?!"
"Tapi ingatlah, Tetaplah berharap. Pada waktunya akan tersampaikan. Bila tidak, ikuti kemana angin membawamu selanjutnya." Jawab bulan dengan lembut sambil bergegas.
"Baiklah! Aku paham! Dan terimakasih, Bulan Purnama!"

Teriakan kencang yang dilanturkan sang Serigala adalah ucapan terakhir disaat Bulan mulai berenang ke laut dan muncul cahaya kekuningan dari arah timur. Bulan memang tidak pernah mengucapkan selamat tinggal, meski kepada sang Matahari. Karena ia tau, pertemuan akan selalu hadir. Sang pencipta sudah menjadwalkan.

17/07/2021 -- Ddt.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun