[caption id="attachment_113555" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption]
Kubuka mata perlahan, selimut ungu yang menutupi tubuhku segera kusibakkan. LCD TV monitor di depanku menampilkan gambar pesawat lengkap dengan posisi ketinggian, temperature udara di luar dan sisa jarak tempuh ke bandara tujuan.
Tabir penutup jendela sebelah kanan kunaikkan. Sinar matahari menerobos jendela pesawat yang baru kubuka. Awan-awan putih terpecah diterabas sayap pesawat yang dengan kokohnya mengangkat badan pesawat. Turbulence. Badan pesawat sedikit bergetar
Gugusan gugusan pulau kecil berbukit-bukit serta bangunan yang menjulang tinggi terlihat indah dalan siraman matahari sore. Hamparan air teluk memantulkan  langit yang biru. Kapal-kapal nelayan dan tanker bergerak lambat meninggalkan riak air di buritannya
Aku akan mendarat di bandara International Hongkong dalam hitungan menit. Kemudian Aku akan melanjutkannya ke Shenzen dengan perjalanan darat.
Tiba-tiba Aku merasa sudah dekat dengan sosok yang ku kenal sembilan tahun lalu di kampusku di bilangan Bogor Jawa Barat. Aku mengenalnya sebagai putri Shenzen. Sosok yang kembali bermain dalam khayalku. Â Ada rindu yang menggelora di jiwa ini.
******
Kali pertama Aku melihatnya ketika sedang antri di pencatat buku peminjaman perpustakaan kampus. Percakapannya dengan petugas menggunakan Bahasa Indonesia dengan logat yang sedikit terdengar asing di telingaku.  Aku hanya melihat sesaat dari sudut samping belakang, tidak begitu jelas terlihat namun suaranya terdengar lembut dan syahdu.  Kupastikan dia bukan orang Indonesia. Yang Aku lihat jelas hanya kerudung sulaman melati merah hati yang tergambar indah di belakang punggungnya
Kali kedua Aku bertemu di kantin kampus untuk makan siang. Aku melihat kerudung dengan sulaman yanga sama di perpustakaan tempo hari. Namun sakarang Aku melihat sampul wajahnya dengan rona yang jelas. Wajah  khas Asia timur dalam balutan busana panjang dengan bordiran benang-benang emas di rumbai lengannya. Mirip artis mandarin Zhang ziyi. Aku terpana. Seulas senyum mengembang  saat sepasang mata beradu pandang. Singkat namun berkesan.
Kali ketiga  kami tak sengaja bertabrakan di belokan selasar kampus menuju Musholla. Hand phone yang di pegangnya jatuh terburai lepas, saling memisahkan diri bagian perbagian. Aku mencoba menyatukan kembali sebisa yang ku mampu. Namun Hand phone itu tetap ingin mengorbankan dirinya untuk pertemuan indah yang yang tak sengaja itu.
Aku mengatur nafas, karena rongga dada yang memompa udara terlalu cepat. Hanya kata maaf yang keluar dari mulutku.  Lalu  Dia bergegas meninggalkanku yang masih terdiam mematung. Ada desiran halus menyusuri ragaku. Aku merasakan sorot yang teduh, dan aura yang tenang.
Kerusuhan Mei 1998 membuatnya kembali ke negara asalnya dan tidak pernah kembali lagi ke Indonesia. Setelah itu yang ada hanya khayal yang terus memenuhi ruang otakku. Aku telusuri jejak-jejaknya lewat kawannya. Kawannya lebih familiar memanggilnya putri Shenzen dari pada nama aslinya Huang Yu, Karena dia berasal dari kota Shenzen, China. Dari kawan-kawannya yang kudapat  hanya beberapa informasi yang tidak bermanfaat bagiku; Huang Yu,  Shen zen,
Kau tahu kawan ada berapa orang China yang bernama Huang Yu. Silahkan Anda coba cari sendiri melalui Internet. Dan akan Anda temukan ber Juta-juta orang dengan nama yang sama. Aku selami nama tersebut satu persatu, dan itu membuat perasaanku semakin aneh. Semua tulisan-tulisan di pinggir jalan yang kubaca seperti hanya ada Huang Yu dan Huang Yu. Semua billboard reklame-reklame besar tersamar dengan gambar Zhang ziyi. Paranoid
Bayang Huang Yu  terkikis perlahan dari rongga kepalaku setelah Aku diterima bekerja di luar kota. Kehidupanku kembali berjalan normal seperti  sedia kala sebelum mengenalnya. Aku tidak meracau atau mengigau lagi. Aku tidak lagi  salah memesan menu  bakso  saat berada di warung padang. Aku pun tidak salah menyebut satuan liter menjadi kilo saat sepeda motorku dehidrasi di pengisian bahan bakar. Bahkan Aku tidak lagi mendengar  bunyian-bunyian klakson orang-orang di belakangku ketika lampu di perempatan berganti hijau dan Aku masih tenang berhenti sambil melamun dengan santainya.
Aku  menikmati kesendirianku dalam rutinitas pekerjaan. Kegiatan harianku hanya di isi dengan tiga kegiatan, kerja, makan dan tidur. Kecuali tiap hari selasa dan rabu ada tambahan main bola. Aku bekerja seperti robot dengan asupan nasi di siang dan malam hari.  Tidak terlintas dalam benakku saat itu untuk mencari seorang pendamping walau secara usia Aku sudah cukup dan secara finansial Aku akan mampu menghidupi keluargaku. Entahlah.
"Harry-san, just prepare your visa, next week you should go to Shenzen"
Itulah kalimat dari Kimura-san bosku yang membuat naluri kelelakianku terguncang lagi. Membuncahkan khayalku tentang Huang Yu lagi. Anganku seperti di seret deras air sungai Yang tze. Dan Aku tak kuasa mengelak untuk mencapai tepiannya. Begitu kuatnya hingga untuk kali ketiga dalam satu minggu rinduku terjamah olehnya dalam mimpi-mimpi malam ku. Indah namun semu
*****
Pesawat yang membawaku dari Soekarno- Hatta mendarat sempurna di Bandara International Hongkong. Aku berjalan ke selasar bandara menuju Imigrasi. Bayangan itu semakin dekat dan nyata walau Aku tak yakin akan menemukannya. Mencarinya di antara 9 juta penduduk shenzen adalah misi yang sulit kulakukan. Seperti mencari sebatang jarum dalam hamparan jerami dipematang sawah selepas panen.
Setelah petugas imigrasi men-stempel buku hijau 48 halaman bergambar burung garuda pancasila. Aku bergegas keluar sambil menyeret koper hitam yang terpasang roda kecil di bawahnya. Â Limousine akan membawaku menuju Shenzen melalui perjalanan darat dari hongkong. Selama di perjalanan Aku di suguhi pemandangan-pemandangan konstruksi yang menakjubkan.
Gedung-gedung yang menjulang tinggi ditepian teluk Hongkong. Jembatan-jembatan penghubung antar pulau-pulau dengan sistem semi gantung yang panjang, kokoh serta lebar. Bukit-bukit batu yang terlubangi dengan terowongan-terowongan untuk lalu lintas kendaraan. Beberapa jalur kereta gantung untuk para pelancong yang ingin menikmati kemegahannya dari udara. Maupun konstruksi untuk kereta cepat MRTÂ yang berdiri diatas tiang-tiang beton yang kuat sebagai transportasi para penduduk Hongkong. Pantas saja orang-orang menyebutnya kota beton
Aku mengumpulkan dan memamah kembali informasi  yang kudapat dulu. Aku akan menjelajah sosok yang telah membuat mimpi-mimpi malam ku terasa perih namun indah dalam lingkup rindu yang tertahan.
Aku mencium aroma bunga melati,  halus  namun semerbaknya tidak terhempas dalam desiran  angin musim semi. Aku melihat helaian kerudung sulaman yang terlambai-lambai ujungnya menyapu wajahnya yang syahdu.
Matahari di ufuk barat sudah terseret menuju peraduannya. Langit sore terlukis indah dengan awan-awan merah yang berarakan. Sekawanan burung-burung dengan formasi V terbang untuk pulang membuka aura langit sore menjadi hidup. Limousine yang kunaiki sudah memasuki jalanan kota Shenzen dengan lampu -lampu yang sudah mulai dihidupkan, Tiang-tiang lampu seperti bergerak dengan laju yang teratur meninggalkan ku yang terdiam di dalam mobil.
Aku melirik jam yang melingkar di lengan kanan, pukul 7. 10 menit. Sang sopir menurunkan di depan Sebuah Hotel yang telah kuminta sebelumnya.  Vienna Hotel akan menjadi saksi peruntunganku selama satu minggu kedepan. Hotel bintang lima yang menisbatkan diri pada sebuah kota di Austria yang terletak di distrik Futian Shenzen.
Ku hempaskan tubuhku di spring bed kamar hotel. Sementara koper telah kusudutkan di dalam almari dekat pintu. Sepatu masih bergelayut manja di kaki-kaki ku. Persendianku mulai lunglai setelah menempuh perjalanan ribuan kilo meter. Aku terlelap.
Beberapa hari diawal kedatanganku di Shenzen dari pagi hingga sore kuhabiskan dengan meeting dan meeting dengan Mr Jiang dan beberapa tim teknisnya. Tentang spesifikasi product yang akan di kembangkan, tentang  jadwal yang alot untuk di putuskan. Serta  hal-hal yang berbau teknis.
Mr Jiang bertubuh tinggi kekar. Rahang yang keras menonjol dari wajahnya, rambut sedikit botak di ubun-ubunnya. Garis matanya tidak terlalu sipit. Kutaksir beliau adalah  orang Mongol yang didalamnya terwarisi darah leluhur Jenghis Khan sang penakluk. Sehingga kesan memaksakan kehendak sering terjadi dalam meeting-meeting dengannya.
Malam merayap naik. Kuayunkan  setapak demi setapak langkahku. Udara dingin musim semi menyelinap lewat lubang pendengaranku. Menggerogoti lemak-lemak dalam tubuhku yang mulai tak kuasa membendung hawa dinginnya. Papan penunjuk suhu di sudut pengisian bahan bakar menunjukan angka 7 derajat celcius. Bukanlah suhu yang ekstrim, tapi cukup untuk membuat gigi-gigiku gemeletuk.
Sebuah restoran dengan tulisan dengan tulisan arab halal terkelebat dari penglihatanku di seberang jalan Fuhua road. Kupercepat langkah kakiku untuk menghangatkan badan. Bayangan Huang Yu tersamar. Kuharap dia ada di sana. Seorang pemilik restoran kecil menyapaku dengan hangat
"Brother moslem" katanya sambil menyalamiku
saat ku ucap "Assalamualaykum"
Mataku tertumpu pada seorang gadis yang dengan lihai dan cekatannya memainkan adonan tepung untuk membuat mie secara fresh, tanpa bantuan alat atau mesin pembuat mie. Hanya membanting-banting di sebuah meja kemudian menariknya hingga terpecah-pecah menjadi lembaran-lembaran mie yang halus.
"Huang Yu" pekik ku tertahan di kerongkongan
Rasa rindu yang menggelora ini menjadikan mata ini sedikit rabun, semakin tidak bisa membedakan dan mengenali seseroang. Â Aku terhalusinasi.
Aku terus menelusuri setiap lembaran-lembaran yang kudapat dulu. Berusaha merangkai susunan-susunannya hingga terlahir nyata. Meyakinkan diri bahwa ini akan jelas menjadi perjalanan hidup yang dulu hanya sebatas angan.
Berhari-hari kulalui pelosok kota shenzen. Mulai dari taman kota di pinggiran jalan Huang gang. Hingga kawasan pedestarin di Dongmen. Dari kawasan padat penduduk di pingiran teluk shenzen di distrik Nanshan. Hingga kawasan padat ramai  di Hua qiang Lu. Semuanya tak memberikan gambaran yang jelas tentang keberadaan Huang Yu.
Matahari bersinar penuh tapi hawa sejuk musim semi tetap membuatku nyaman dengan jacket yang ku kenakan. Aku terus menyusuri setiap sisi kota hingga pinggiran.
Biskota melaju dengan tenang. Dari halte-ke-halte bis berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Melewati Beihuan avenue kemudian berbelok ke kiri menuju Mei Lin street. Bis berhenti di halte di bawah rindangan deretan pepohonan di belakangnya.  Sang sopir memberitahuku.
"Masjid ada di seberang kiri jalan" ujarnya.
Aku dan beberapa orang berhamburan keluar bis. Terdengar lamat-lamat suara adzan. Terlihat dua buah menara kecil menyerupai kubah masjid tersembul dari balik gedung-gedung tinggi. Sejuknya udara musim semi dalam senandung suara adzan menyentuh kalbuku. Di negri komunis yang tak mengakui Tuhan Aku mendengar panggilan NYA.
Aku luruh, bersimpuh di dalam altar masjid Mei Lin yang sederhana namun tetap mengelorakan kalbu dalam  menyebut asma asma NYA.
Engkau lah penguasa langit dan bumi serta se isinya. Kuserahkan semua urusanku pada MU. Tak ada yang bisa kulakukan sedikitpun tanpa seizin MU
Selepas Sholat Jum'at. Aku menyusuri  pedestarian Mei Lin yang di sampingnya berjejer pepohonan. Rindang dedaunannya memberikan keteduhan.
Di trotoar  jalan,  para pedagang terlihat sibuk menjajakan buku-buku maupun souvenir-souvenir. Lapak makanan-makanan halal lebih banyak di kunjungi para pendatang dari penjuru Shenzen sehabis menunaikan sholah jumat. Beberapa pedagang menyediakan meja dan kursi untuk makanan cepat sajinya,
Langkahku semakin ringan, sedikit beban telah kutanggalkan di Mei Lin. Namun samar bayang Huang Yu masih sekelebat datang di pelupuk mata. lalu
Pandanganku tertumpu pada seorang perempuan dengan kerudung sulaman melati di belakanganya yang kukenal sembilan tahun lalu sedang berjalan menjauh.
Aku mengejarnya, kupercepat langkahku dengan berlari- kecil.
"Huang Yu" teriakku
Dia terdiam, berdiri mematung namun tidak membalikkan badannya. Jantungku berdegup kencang, nafasku memburu. Rongga dadaku naik turun. Adrenalinku mencapai puncaknya, keringat dingin menyeruak lewat pori-pori. Â Musim dingin seperti berganti cepat ke musim panas. Aku gerah dengan jacket yang kukenakan
Bayangan Huang Yu yang  telah kutanggalkan di Mei Lin kini hadir nyata di depanku. Entah rasa apa yang menggelorakan dadaku. Aku seperti berada di dunia lain yang aneh. Kaki ku tiba-tiba terhenti ketika semakin dekat dengannya. Seperti dibanduli gunung batu yang besar. Persendian lututku menjadi lunglai dan  tak kuasa menahan ragaku  sendiri.
Dia tetap berdiri mematung tanpa membalikkan badannya sedikitpun
Ada ruang kosong yang tiba-tiba terasa penuh dengan asa-asa yang dulu hanya sebatas angan. Bayangan -bayangan Indah yang dulu pernah terjamah seperti hadir semakin dekat dan nyata.
Dia masih berdiri memunggungiku yang hanya berjarak 10 depa didepanku.
Aku menentramkan diri, mengatur nafas, menariknya dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.
Dia menyerongkan badannya menghadap jalan. Wajahnya terlihat jelas, auranya masih sama seperti sembilan tahun yang lalu. Tatapannya teduh dan penuh dengan aura kebahagiaan di balik pancaran rona wajahya
"Mungkinkah dia" hatiku lirih berucap
"Benar, Huang Yu" sisi hatiku yang lain menjawabnya.
Lidahku keluh. Tak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Ruang udara menjadi hampa. Nafasku sesak, Bahkan aku tak mampu mendengar detak jantungku yang berdetak kencang tak teratur. lalu
Dari arah belakangku meluncur sebuah mobil sedan yang menepi di sampingnya. Dari pintu belakang seorang anak kecil berhambur keluar berlari memeluknya.
"Fūrén" teriaknya.
Aku seperti terkena sengatan halilintar melihatnya, ribuan lembing menusuk dadaku, sembilu menyayat- nyayat paru-paruku hingga nafasku menjadi getas. Ruang otakku belum mampu mencerna apa yang baru saja terjadi. Aku limbung.
Dia memeluk dan menggendong anak kecil itu lalu masuk kembali ke dalam mobil. Mobil melaju perlahan dan menghilangan di tikungan Shang Mei Lin
Aku bersandar di balik pohon, mengingat dan memahami apa yang baru saja terjadi. Aku tak kuasa untuk menggerakkan kakiku lagi. Semua kejadian berjalan dalam sekejap namun mematikan hampir sebagian simpul syarafku. Aku lunglai. Sopir taksi membawaku kembali ke Hotel.
Di keesokan harinya. Aku terpekur diam di beranda restoran hotel dengan secangkir teh panas dan sebuah croissant. Matahari pagi menyapaku dari bilik jendela kaca yang setengahnya tertapis tirai. Aku masih terus mencerna setiap mozaik-mozaik yang pernah tersusun dalam bangunan kubik yang sempurna namun kemudian luluh lantak.
Di sebarang jalan terlihat seorang kakek sedang membonceng cucunya. Bercanda riang di atas sepedanya, Bahagia.
Aku tersenyum. Aku bisa melihat sisi bahagia dari sisi yang lain..
*) Furen = Ibu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H