Mohon tunggu...
Ihsanul Adli
Ihsanul Adli Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis merupakan ekspresi realita yang dibungkus dengan kebenaran..

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengupas Perubahan Hukum Perzinaan dalam KUHP Baru: Dampak Sosial dan Implikasinya bagi Masyarakat Indonesia

22 Januari 2025   08:44 Diperbarui: 22 Januari 2025   08:44 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perzinaan telah lama menjadi isu sensitif yang melibatkan berbagai aspek sosial, moral, dan hukum. Di Indonesia, praktik ini telah menjadi sorotan utama dalam perkembangan hukum pidana, terutama terkait dengan meningkatnya fenomena hubungan di luar perkawinan, seperti prostitusi, hidup bersama tanpa ikatan perkawinan (cohabitation), atau fenomena Friends with Benefits (FWB) yang banyak dijumpai di kalangan generasi muda. Dalam upaya menyesuaikan hukum dengan perkembangan sosial dan moralitas, Indonesia mengesahkan perubahan signifikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2023, khususnya mengenai pengaturan perzinaan.

Perubahan Pengaturan Perzinaan dalam KUHP Lama dan KUHP Baru

Pada KUHP Lama, pengaturan mengenai perzinaan terbatas pada tindakan persetubuhan yang dilakukan oleh seseorang yang sudah terikat dalam ikatan perkawinan dengan orang yang bukan pasangan sahnya. Pasal 284 KUHP Lama mengatur bahwa perzinaan hanya dapat diproses hukum jika dilakukan oleh suami atau istri dengan orang yang bukan pasangan sahnya, dan penuntutan hanya bisa dilakukan atas dasar pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan (suami atau istri).

Namun, dalam KUHP Baru yang disahkan pada 2023, pengaturan perzinaan mengalami perubahan signifikan. Pasal 417 dalam KUHP Baru memperluas definisi perzinaan dengan mencakup hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah dengan orang yang bukan pasangan sahnya, serta hubungan seksual antara individu yang belum menikah. Hal ini tentu mencakup fenomena-fenomena sosial yang berkembang saat ini, seperti hubungan seksual antara pasangan yang belum terikat dalam ikatan perkawinan (misalnya FWB). Dengan perubahan ini, praktik perzinaan tidak hanya dilihat sebagai pelanggaran terhadap norma perkawinan, tetapi juga sebagai pelanggaran terhadap norma moral yang lebih luas di masyarakat.

Delik Aduan dan Sanksi Pidana dalam KUHP Baru

Salah satu perbedaan signifikan antara KUHP Lama dan KUHP Baru adalah ketentuan mengenai delik aduan. Dalam KUHP Lama, perzinaan adalah delik aduan yang hanya bisa diproses jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, yaitu suami atau istri. Hal ini membatasi ruang lingkup penuntutan, dan dapat menyebabkan banyak kasus perzinaan tidak terungkap atau tidak diproses hukum jika tidak ada pengaduan dari pasangan yang sah.

Namun, dalam KUHP Baru, perzinaan tetap merupakan delik aduan absolut, yang berarti penuntutan hanya dapat dilakukan jika ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan. Pihak yang bisa mengajukan pengaduan tidak hanya terbatas pada suami atau istri, tetapi juga dapat dilakukan oleh orang tua atau anak dari pelaku yang tidak terikat dalam perkawinan. Meskipun demikian, sifat delik aduan ini dapat menjadi kendala dalam penegakan hukum, karena hanya bergantung pada inisiatif individu untuk melaporkan perzinaan.

Dalam hal sanksi pidana, KUHP Baru memberikan ancaman pidana yang lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan lainnya. Pelaku perzinaan dapat dihukum dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda kategori kedua. Meski ancaman pidananya tergolong ringan, perubahan ini mencerminkan adanya perubahan dalam cara pandang hukum terhadap kebebasan individu, namun tetap mengutamakan perlindungan terhadap norma sosial dan moral masyarakat.

Perluasan Ruang Lingkup dan Dampak Sosial

Ruang lingkup pengaturan perzinaan dalam KUHP Baru jauh lebih luas dibandingkan dengan KUHP Lama. Kini, tindakan persetubuhan yang dilakukan oleh individu yang belum menikah juga dapat dianggap sebagai perzinaan. Hal ini sangat relevan dengan dinamika sosial yang berkembang, seperti praktik hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang mulai marak di Indonesia. Sebagai contoh, pasangan yang tinggal bersama tanpa menikah (cohabitation) kini dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan ketentuan dalam KUHP Baru, dengan ancaman pidana penjara paling lama enam bulan atau denda kategori kedua.

Perluasan pengaturan ini, meskipun bertujuan untuk menjaga norma kesusilaan dan melindungi nilai-nilai keluarga, tetap memunculkan pro dan kontra. Beberapa kalangan mendukung perubahan ini sebagai langkah yang positif dalam melindungi institusi perkawinan dan moralitas masyarakat, sementara pihak lain menganggap bahwa perubahan ini akan mengganggu kebebasan pribadi individu dan menambah beban sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun