:catatan sederhana tentang kenangan oleh Ihsan Subhan
Apakah kitapernah mengingat segala keindahan yang kita alami dengan seseorang yang kita sayangi? Padahal sekarang kita bukan lagi siapa-siapanya dia. Padahal kita sulit untuk mengembalikan keindahan itu dengannya. Apakah ia sudah tidak memperdulikan kita lagi? Ataukah memang ia –pun sedang memikirkan apa yang kita pikirkan ketika kita sendiri menatap ke belakang hanya untuk mengenang, dan ingin rasanya kita kembali kepadanya. Sebab pada saat kita membandingkan apa yang kita dapatkan saat ini dengan tempo dulu kita lebih sejahtera dengannya. Hidup kita sungguh seperti kehidupan yang banyak bunga-bunganya. Kita santap bunga itu dengan madu-madunya. Kita reguk keceriannya, kita teduhi kelopaknya, kita cium harumnya. Dan kita kenakan keindahan sebagai tiara cinta kita—terpasung dekat hati yang paling dalam.
Padahal kitabukan siapa-siapanya lagi. Kita hanya kenangan yang selalu jadi lamunan. Kita adalah segenggam penyesalan yang hina. Kita hanya seseorang yang betapa sunyi saat orang-orang tengah berisik di depan, belakang, atau samping kita. Dan kita selalu sadar padahal kita bukan siapa-siapanya lagi.
Lalu apa yangkita lakukan saat ini?
Mencemasi beberapa kepingan hati yang selalu patah dan sulit untuk disambungkan. Ya.Walau masih ada perekat yang dapat memasang kepingan-kepingan itu. Namun tidak ada yang begitu mampu merekatnya dengan perekat kasih sayang yang dalam, yang tulus. Dan keikhlasan adalah perekat yang abadi. Di sana ada sorga yang putih, seputih susu, ada pula cahaya, sekilau bintang, sesilau matari.
Haha. Padahal kita bukan siapa-siapanya lagi. Tapi kita masih berani mengenang. Apa yang musti kita lakukan? Jika hanya mendengus tanpa tujuan lebih baik kita luapkan saja sebagai tulisan, walau tidak sebaik puisi atau tidak setegang alur cerita pendek. Maka, kita tulis saja curahan-curahan hati ini tanpa ada beban dan keraguan. Ini hanya ungkapan dari kepedihan yang menyakitkan pada saat kita memang selalu kesepian dan mengingat masa-masa indah dengan seseorang yang kita sebut "sayang" atau dalam bahasa sunda yang berarti "kanyaah" dan "kadeudeuh"
Apakah kita pernah mengingat ini?
harapan-harapan yang dibangun dengan doa dan ikhtiar. Mimpi-mimpi yang dibangun dengan keringat dan air mata. Janji-janji yang disusun dengan sekotak lidah dan bibir, dengan tangan, dengan anggukan, dengan tulisan. Kita menyumpah serapahi diri kita supaya kita menjadi orang yang taat dan kuat, dengan kesetian dan keyakinan. Selalu saja ada percakapan sederhana yang kita rasa amat mewah. Sebab kita berkata dengan sejujur-jujurnya, sesuai dengan apa yang kita rasakan tanpa kita tawarkan keraguan. Aggghhhh... apa kita harus mengunci diri. Padahal kita sudah bukan siapa-siapanya lagi. Hahaha. Memang sedikit kita musti berbohong. Kita selalu memaksakan keadaan yang sebetulnya tidak cukup untuk meredakannya, jika ia tidak ada di samping kita. Atau ia tidak lagi menyapa kita apa itu di pesan singkat ponsel atau telephone. KITA SELALU BERBOHONG untuk menutupi bahwa kita merindukannya, dan ingin sekali menjumpainya, atau sekedar memberi sapaan hangat misal di pesan singkat ponsel atau telephone. LAGI-LAGI KITA MUSTI BERBOHONG dengan kesekian malam, kesekian hari, entah sudah ke-berapa kali.Kerinduan terus menghujani pipi kita. Mata kita membengkak dan kita menatap cermin, lalu melamun. Atau kita menyibukan diri untuk mencari sisa-sisa kenangan fisik yang masih tersimpan dan terselip di lemari, bantal atau komputer kita. Apa itu foto atau tulisan sederhana seperi surat, memo, atau puisi, yang disalin di folder tersembunyi. Ya. Dan sengaja kita sembunyikan untuk membohongi diri kita tentang betapa indahnya kenangan dan kerinduan.
Apapun yang terjadi, padahal kita bukan siapa-siapanya lagi. Entah angin dari mana udara itu terasa gerimis di hati. Setelah kita buka kenangan itu, setelah kita baca tulisan itu, foto itu. Subhanallah. Ada semangat yang menggebu, membara. Seperti kobaran api yang kita cipta dan rasakan pada saat pertama kali kita jatuh hati padanya. Ingin rasanya kita kembali pada pertemuan yang selalu gugup, pada pembicaraan yang kaku, pada merahnya pipi saat kita malu. Dan pada kenakalan yang kita sisakan, untuk begadang dan mengganti jadwal tidur kita menjadi semakin malam. Sebab kita tahu asmara amat memuncak atas dasar kerinduan yang mendalam karena kita sulit bertemu—hanya telephone-lah yang menjadi genggaman kita di gigir telinga kita.
Ah. Padahal kita sudah tidak diakui lagi olehnya.
Hey, Sebentar.
Aku ingat sesuatu. Mungkin kau mengingatnya juga.
Karena kenangan itu tidak akan bisa kita lupakan. Manusia sudah diberi anugrah yang keren sama Allah. Manusia sudah disetting sedemikan rupa otaknya. Agar dapat mengingat dan menjadi pengingat yang baik.Terutama agar dapat mengingat dari mana kita dilahirkan, diciptakan, dan akan ke mana kita pulang. Seperti yang tertuang dalam Al-Quran; "...Innalillahi wa inna illahiroji'uun...(Al-Baqoroh:156)
Teman-teman,ternyata kutipan ayat di atas memiliki makna yang luas dan dalam. Ayat tersebut tidak hanya diperuntukan untuk seseorang yang kita lihat dalam keadaan tidak hayat lagi. Tidak hanya untuk orang yang rumahnya berkibar bendera kuning—kematian. Tapi ini merupakan peringatan untuk kita juga; bahwa hidup adalah perjalanan sementara di dunia, maka kita harus istighfar(ingat), kita harus mengenang juga hal sakral ini. Dari mana kita lahir dan ke mana kita akan pulang. Jika kita diberikan cobaan yang sulit menurut kita, maka kembalilah kepadaNya, jika kita menemukan aral yang menebal, maka kembalilah padaNya, pendek cerita jika kita sedih dalam mengenang seseorang karena sukar untuk menemuinya, maka kembalilah padaNya. Insya Allah semuanya akan baik-baik saja. Bersabarlahkawan.
Dulu sekali sebelum kita terpisahkan lebih jauh lagi dengan kenangan-kenangan kita. Pada malam yang entah kesekian kalinya kita merindukan dia. Dan ingin sekali kembali padanya. Kita menjadi dulu lagi dengan semangat baru. Sesungguhnya kita milik Allah dan akan kembali (pulang) padaNya. Tanpa kita sadari karena ada suatu keyakinan yang sudah diterapkan jauh hari sebelum dan sesudah kita lahir bahwa dengan jalan lurus yang sudah dikabari Tuhan dari Al-Quran atau dari beberapa Sunnah yang diajarkan Rosulallah. Jika kita ingin selamat maka kita harus kembali padaNya.
Dengan niat baik. Kita pun kembali padaNya. Dengan harapan agar apa yang kita inginkan dapat diberikan jalan yang terbaik untuk menempuh perjalanan hidup ini. Karena kita belum MENIKAH, dan belum juga mendapatkan jodoh yang mantap. Kita beserah diri padaNya. Dengan mengikuti petunjuk yang sudah ditetapkanNya, dengan hati tertuju pada maskud kita. Ya. Tiada lain kita menginginkan jodoh kita adalah seseorang yang dulu pernah kita sayangi, yang pada saat ini hanya kenanganlah yang melekat pada hati dan sekujur tubuh kita, bahkan darah-darah kita mungkin masih mengalir deras atas kenangan itu. Allah meciptakan kekuatan doa yang sangat ajaib. Pada saat kita melakukan kebaikan—ibadah ritual maupun sosial dengan disiplin. Tentunya dengan seruang harapan yang ingin dicapai. Subhanallah lagi, kita mendapatkan celah dan kabar yang baik untuk bisa bersilaturahim dengan si dia. Tapi mungkin kita agak menjadi dulu lagi. kita kembali pada pertemuan yang selalu gugup, pada pembicaraan yang kaku, pada merahnya pipi saat kita malu.
Tuhan memang selalu menyayangi umatnya apalagi yang beriman dan bertakwa kepadaNya. Semoga dengan semangat keyakinan dan ketakwaan, kita dapat menjadi orang-orang yang beruntung dan diberikan jalan yang terbaik dalam menjalani kehidupan habluminannas. Semoga selalu ada doa yang ajaib. Doa bagi orang-orang yang meyakiniNya agar kita meraih kembali kenangan itu tanpa harus mengenang lebih lama. Amin.
Limbangan sari, 16 Agustus 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H