Saya bukan penulis yang baik. Apa yang saya tuang dalam lembaran ini barangkali hanya tepat jika disebut sebagai coretan-coretan tak beraturan. Tapi menurutku itu sah-sah saja. Toh … saya memang bukan jurnalis. Saya hanya seorang warga biasa yang nyaris tak memiliki kelebihan. Satu yang kumiliki adalah hasrat untuk berubah.
Hasrat itu pula yang mendorongku untuk mencoret-coret naskah tulisan tak beraturan ini. Saya merasa berkewajiban untuk menuangkan hasrat itu meski dalam bentuk sepersedikit tulisan.
Ia bernama Tomy Satria Yulianto, sosok muda yang membuat hasrat saya membuncah hingga ke ubun-ubun. Ia mengoyak sistem berpikir saya. Ini bukan soal wejangan. Ia tidak pernah member nasehat kepada saya secara langsung, apa lagi mendikte saya. Karena saya memang orang yang tidak terlalu senang jika di dikte. Saya termasuk orang yang memberikan otoritas yang besar pada proses berpikir, sehingga apapun yang saya lakukan itu selalu berdasarkan pada serangkaian proses berpikir.
Lalu bagaimana Tomy merobek dan mengoyak keyakinan yang sekian lama saya pertahankan dengan kukuh? Sebuah tulisan di kaskus menyebut bahwa “Untuk menjadi matang, kita tidak perlu menunggu tua.” Kalimat itu adalah pengakuan seseorang yang kagum pada sosok Tomy. Dalam pandangan penulis di kaskus itu bahwa Tomy meskipun masih sangat muda tapi ia telah memiliki serangkaian identitas yang nyaris dimimpikan oleh banyak orang. Cerdas, komunikatif, inklusif, punya gagasan, mapan dalam karir, dan berjiwa petarung.
Saya setuju, tulisan itu mengungkap kondisi rill tentang seorang Tomy. Saya tahu itu, karena meskipun saya tidak begitu akrab dengan beliau, tetapi untuk sekadar menverifikasi kebenaran konten tulisan itu, tidaklah terlalu rumit.
Cerdas: nyatanya ia memang cerdas. Komunikatif: siapapun yang bertemu dengan Tomy akan merasa nyaman berbincang dengannya. Mengapa begitu, karena ia tidak memonopoli kebenaran berpikir. Ia selalu membuka ruang-ruang dialektika, sehingga orang yang menjadi lawan bicaranya akan senang karena merasa dihargai. Mapan dalam karir: ini yang paling mudah, semua orang Bulukumba tahu bahwa ia adalah Wakil Ketua DPRD Bulukumba.
Dan yang paling mengagumkan bagi saya, adalah jiwa petarung yang beliau miliki. Ia bahkan tidak ragu untuk meninggalkan kemapanan kursi wakil ketua DPRD untuk terjun dalam arena pertarungan pilkada. Hal yang saya petik dari sikap itu adalah beliau punya keyakinan yang luar biasa.
Bayangkan, sebagai orang baru di Bulukumba, ia berani melawan tokoh-tokoh besar yang sudah memiliki investasi social dan politik. Apa yang mendorong keberanian itu? Apa lagi kalau bukan keyakinan yang tinggi.
Judul tulisan ini agak ekstrem, Tomy Memaksa Saya Menulis. Tentu saja bukan dalam makna denotative. Tetapi lebih pada inspirasi yang saya dapat petik dari hadirnya sosok seorang Tomy dalam panggung politik Butta Panrita. Karena itu pula saya menulis, agar menjadi utang buat saya bahwa kelak sayapun bisa seperti Tomy. Terima kasih Pak Tomy … Anda adalah inspirator bagi kami, kelompok muda yang merindukan perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H