Mohon tunggu...
Ihsan Mahdi
Ihsan Mahdi Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh Pena

Membaca Aku Hidup. Menulis Aku Merdeka.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: "Mitos Angka Tiga Belas" (Setitik Pesan Kemalasan)

13 Oktober 2020   21:40 Diperbarui: 14 Oktober 2020   07:18 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
langit itu benar-benar tinggi/pxhere.com

Kamis pagi. Setelah tiga puluh menit menuju kampus. Aku segera bergegas menuju kelas untuk memulai mata kuliah yang sampai hari ini masih menjadi polemik abadi beberapa mahasiswa, termasuk aku, Matematika. 

Kelompok persentasi ku tampil hari ini. Celaka! Ada beberapa hal terkait materi yang belum aku dan rekan persentasi ku selesaikan. Beberapa slide masih terlihat urak-urakan dan berantakan. Belum saja presentai di mulai, komentar pedas dosen sudah terngiang-ngiang di telinga. Sudah jelas akan ada harga yang harus kami bayar.

Tak jauh dari pintu masuk kelas, terdengar suara derap kaki ala-ala tarian flamenco spanyol menuju ruangan. Saling bertatap muka, spontan tercipta suasana tegang di antara aku dan kedua rekan presentasiku. Laksana mayat hidup. Muka mulai pucat, senyum mulai meredup.

            "Tak, tak, tak." Hentakan sepatu pantofel di atas keramik.

            "Assalamualaikum" Sapa pak hasan penuh wibawa.

             "Mohon maaf saya sedikit terlambat. Silahkan maju untuk kelompok yang persentasi hari ini. Perkuliahan akan segera kita mulai." Tegas, pak hasan.

Dengan langkah penuh ragu, kami bertiga pun maju. "Bismillah" dalam hatiku. Kedua rekan ku di selimuti kegugupan yang luar biasa dahsyatnya. Pasalnya, sebelum hari ini, beberapa kelompok persentasi yang tidak meyelesaikan tugasnya dengan baik, langsung diusir secara tidak hormat dari ruangan kelas. 

Bisikan-bisikan dari audiens cadas mulai menggerutu di telinga kami bertiga "Habislah kalin. Matilah kalian." Dan benar saja, baru saja hendak ingin dimulai. Melihat krasak-krusuk kelompok kami, dengan muka penuh rasa curiga Pak Hasan menyerang dengan pertanyaan dingin dan mematikan.

            "Sebentar, berkaca dari kasus-kasus sebelumnya. Sudah seberapa persen materi yang kalian siapkan untuk persentasi hari ini?" Dengan wajah penuh sangar!

            "Eeeee..... sudah hampir sembilan puluh persen, pak." Jawab rekan ku penuh rasa takut.

            "Hampir?" Alis kiri pak hasan meninggi.

Suasana kelas semakin sunyi, bahkan seekor lalat pun tak berani mengepakkan sayapnya. Seakan tak ada satu pun kehidupan, Pak Hasan Murka! Ia berjalan menuju kami. Mengambil makalah, membolak-balik setiap bab demi bab. Tak berselang lama makalah pun diletakkan kembali, pak hasan mengerenyitkan dahi.

 Introgasi selanjutya berlanjut pada laptop rekan presentasiku, ia mulai meneliti slide demi slide, jarinya terhenti menggelinding diatas mouse tepat di slide ke tiga belas. 

Seakan membenarkan mitos yang sudah lama beredar ditengah publik, tiga belas betul-betul angka celaka. Kami bertiga menarik nafas dalam-dalam. Pak hasan kembali ke bangku dosen tanpa suara. Ia mengambil tas nya kembali yang baru beberapa menit saja ia letakkan. Kemudian mengambil sikap siap untuk pergi.

            "Baik, pertemuan hari ini saya anggap selesai."

            "Dan, kelompok kalian saya anggap gagal dimata kuliah saya. Sampai jumpa di semester depan, dengan mata kuliah yang sama, dengan orang-orang kelas yang berbeda, Adik Tingkat." Humor khas eropa ala Pak Hasan.

Pak Hasan pun pergi meninggalkan kami. Tanpa banyak suara, satu persatu mahasiswa mulai angkat kaki meninggalkan kelas. Beberapa tampak berseri-seri ceria bahagia karena pertemuan kali ini selesai lebih cepat dari biasanya. Terbebas dari belenggu kekakuan jam Pak Hasan tentu sebuah kebahagiaan yang tidak bisa dibeli bagi mereka.

Sementara kami berduka ditengah-tengah kebahagiaan mereka. Pergi dan pulang tanpa sebuah hasil adalah hal yang paling menggenaskan. Penuh rasa sesal kami bertiga pulang dengan sebuah komitmen untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Sesampai dirumah ku ceritakan semuanya pada ibuku. Ibuku hanya tersenyum. kemudian diam sejenak, seperti biasa ibu mulai menyusun kalimat-kalimat bijak didalam kepalanya.

"Ibu tidak marah sedikitpun. Hanya saja kamu harus mempertanggung jawabkan dengan apa yang telah kamu perbuat. Kemalasan yang tumbuh didalam dirimu sudah terlalu pekat dan mendarah daging, segera evaluasi diri, lakukan perbaikan sekarang, atau kamu akan menyesal dikemudian hari. Terkadang orang-orang seperti kamu harus mendapatkan sikap demikian, agar kamu tau bahwa langit itu benar-benar tinggi. Perbaiki kesalahan mu hari ini, didepan sana ada suatu hal besar yang sedang menunggumu. Dan Ingat! Boleh nakal, tapi jangan hilang akal dan moral."

Sungguh kamis yang benar-benar membuka seluruh mata dan isi kepala. Benar kata ibu, lakukan evaluasi diri sekarang, segera perbaiki dan singkirkan benih-benih kemalasan yang ada didalam diri, atau menyesal panjang dikemudian hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun