Sudah dua hari ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Pemprov DKI) melakukan pembenahan pemukiman di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung sepanjang 1,8 Km. Tepatnya di daerah Kampung Pulo. Daerah ini memang tepat berada di pinggir sungai Ciliwung. Tapi entah kenapa, sudah 3 generasi ada ratusan keluarga yang tinggal di daerah yang menjadi langganan banjir setiap tahun ini.
Secara geografis, Kampung Pulo memang tidak menguntungkan. Daerahnya pas terletak di lekukan sungai Ciliwung yang biasa disebut daerah "tapal kuda", yaitu seperti bentuk sepatu kuda yang terbuat dari besi. Pada saat debit air meningkat drastis di musim hujan, dipastikan air sungai tidak mau berpusing-pusing mengikuti aliran sungai berbentuk U. Maka ditrabaslah Kampung Pulo untuk mendapatkan jalan pintas sehingga tidak perlu lelah berputar.Â
Terakhir gue mengunjungi Kampung Pulo pada saat banjir Jakarta beberapa tahun lalu. Ketika air banjir sudah mulai surut, bersama teman-teman, gue datang ke daerah tersebut untuk mengantar sumbangan para donatur. Bekas-bekas batas ketinggian air berupa lumpur masih jelas terlihat melebihi langit-langit rumah. Untungnya, rumah mereka sudah bertingkat dua semua, sehingga ketika banjir terjadi, mereka sigap mengungsi ke lantai atas.
Beberapa tali lifeline juga terlihat masih terpasang menjuntai dari rumah ke rumah. Kemungkinan dipakai penduduk untuk pengaman evakuasi bila diperlukan. Menetap selama 3 generasi dengan frekuensi banjir setiap tahun, tentu membuat warga Kampung Pulo tangguh menghadapi banjir musim hujan.
Setelah acara seremonial serah terima sumbangan, gue langsung kabur masuk lebih dalam ke Kampung Pulo. Sebuah rumah gue masukin setelah minta izin pemiliknya. Gue cuma penasaran, sebenarnya seberapa dekat sih sunga Ciliwung dengan rumah-rumah di kampung ini. Ternyata... omegot...!
Setelah masuk dari pintu depan lalu melewati ruang tamu dan pintu-pintu kamar, gue masuk ke sebuah dapur kemudian menemukan sebuah pintu menuju ke halaman belakang. Gue buka pintu perlahan: tidak ada yang gue temukan kecuali air sungai yang sedang mengalir deras, berwarna coklat beraroma tak sedap, dengan lebar sungai 10-15 meter! Surprise!!
Yang memisahkan rumah tersebut dengan aliran sungai hanyalah teras setengah meter dengan alas kayu, yang ternyata sehari-hari dipakai untuk mencuci pakaian atau piring kotor! Another surprise!!
Saat itu terlintas di benak gue, kok ada keluarga yang mau tinggal di rumah yang kurang layak seperti ini. Apakah memang tidak punya pilihan lain?
Pertanyaan tersebut akhirnya terjawab beberapa hari lalu. Ahok, panggilan akrab Gubernur DKI Jakarta, Basuki Purnama, telah menyediakan rumah susun sewa sekelas apartemen sederhana di Jatinegara Barat untuk memindahkan warga Kampung Pulo. Sewanya hanya Rp.10.000,-/hari. Itupun gratis 3 bulan pertama. Dari 406 keluarga, baru 43 yang memutuskan pindah. Sisanya masih mencoba untuk bertahan di kampungya! Just another surprise!!
Padahal program Pemprov DKI adalah ingin "memanusiakan" warga Kampung Pulo. Mereka selama ini menempati tanah negara berupa DAS, yang berarti mereka illegal walaupun bukan alien. Mereka juga tinggal di daerah rawan banjir yang kurang layak, baik secara keselamatan maupun kesehatan. Anehnya, mereka malah melawan aparat ketika proses pengosongan Kampung Pulo dilakukan. Hmm... menurut gue proses tersebut sebenarnya adalah win-win solution untuk warga sendiri.
Sejatinya "memanusiakan" manusia akan mendapatkan ganjaran yang manusia sendiri tidak akan pernah bayangkan sebelumnya.Â
Alkisah, ketika ada seorang wanita -- maaf -- pelacur yang akan mengambil air di sumur sebuah oase padang pasir, dia melihat seekor anjing tak jauh dari sumur sedang terbaring kehausan dengan lidah terjulur nafas pun sudah senin-kamis. Jangankan anjing tersebut, dirinya sendiri agak sulit mengambil air di dalam sumur.
Namun dengan menggunakan kerudungnya sebagai tali timba, dan sepatunya sebagai ember, dia berhasil mendapatkan air sumur. Hebatnya, wanita ini mendahulukan anjing sekarat tersebut untuk minum alih-alih untuk dirinya. Dan ganjaran dari Tuhan Yang Maha Kuasa adalah tiket masuk surga untuk wanita pelacur ini atas budi baiknya terhadap seekor anjing sekarat.
Ada banyak hikmah dari kisah di atas. Bahwa "membinatangkan" binatang saja mendapatkan ganjaran luar biasa, apalagi "memanusiakan" manusia.
Bahwa untuk seseorang manusia yang sudah banyak berbuat maksiat, Tuhan masih mengampuni dosa-dosanya. Bahkan lebih dari itu: memasukkannya ke dalam surga karena sudah dengan ikhlas menolong salah satu mahluk ciptaan-Nya.
Bahwa anjing -- yang air liurnya bagi umat Islam adalah najis -- tetap harus diperlakukan sebagai mahluk ciptaan Tuhan sesuai dengan hak azasi binatang.
Justru menjadi pertanyaan besar: ketika Pemprov DKI ingin meningkatkan kelayakan hidup warga ke pemukiman yang lebih baik, kenapa mereka malah menolaknya? Sorry to say, gue harus katakan bahwa mereka adalah warga yang kurang bersyukur.Â
Gue cuma ingin berandai-andai, foto Kampung Pulo dari Google Maps di atas, nantinya akan refresh menjadi foto taman kota yang indah di tahun-tahun mendatang. Kampung Pulo mungkin tinggal sejarah. Namun sejarah yang manis untuk diceritakan warga yang pernah tinggal di sana, kelak kepada cucu-cicit mereka ketika bermain di taman kota Kampung Pulo nantinya.Â
Sejatinya, tidak penting kita tinggal dimana, karena lebih penting manfaat apa yang bisa kita berikan dimana kita tinggal.
HM Ihsan Kusasi
Aug 21, 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H