Mohon tunggu...
Ihsan Aufa
Ihsan Aufa Mohon Tunggu... Novelis - Murid SMKN 11 Semarang

Hanya manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sampul Sang Pemeran Utama

28 Januari 2025   17:44 Diperbarui: 28 Januari 2025   17:44 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tampak seorang pemuda berjalan menelusuri lorong-lorong sekolah berharap dengan cepat menemukan tempatnya. Sebuah beban berat menempel pada punggungnya membuat langkahnya tidak bisa leluasa. Badannya cukup pendek, dengan jaket hitam yang melindunginya. Rambutnya cukup rapi dan tampak sedikit lepek karena helm yang terus menekannya. Sebuah kacamata terpasang jelas melindungi matanya. Terkadang dia memutar-mutarkan kunci motor yang ia bawa hanya untuk menghilangkan rasa bosan. 

 Suasana tampak cukup sepi, hanya beberapa siswa saja yang terlihat sedang melangkahkan kakinya pagi itu. Tak heran, mereka yang berangkat sepagi itu hanya orang yang terlalu ambis, atau bosan berada di rumah. Tak ada satu pun guru yang menampakkan dirinya di lingkungan sekolah..... sampai akhirnya pemuda itu berpapasan dengan salah seorang guru. Namanya Pak Okre, Dia salah satu guru yang...... bisa dibilang luar biasa. Sayangnya cerita tidak berfokus padanya kali ini. 

Pemuda itu dengan sopan berkata "Selamat pagi pak!" ucapnya penuh semangat. 

"Ya, pagi mas," jawab Pak Okre dengan semangat pula. 

Terjadi pembicaraan singkat di antara mereka berdua sampai akhirnya pemuda itu mengakhiri pembicaraan dengan sopan dan segera menuju ke kelasnya. Ketika masuk, matanya tertuju pada seorang gadis yang sedang duduk di meja guru. Tampaknya dia sedang menulis sesuatu. Tapi setelah beberapa detik, pemuda itu menolehkan pandangannya pada dua orang manusia yang tampak sedang bersantai. 

Pemuda itu berjalan dan duduk di kursi kesayangannya tepat di sebelah salah seorang dari mereka. Pemuda itu menoleh ke teman di sebelahnya dan berkata "Parfum baru lagi?" tanyanya membuka topik. 

"Yo i. Dapet rekomendasi kemarin," jelasnya. 

"Kayak bau-bau mint gitu ya, boleh-boleh. infokan linknya dong," balasnya. 

Teman pemuda itu adalah laki-laki yang cukup baik. Terkadang dia bisa menjadi manusia yang sangat peduli, kadang dia juga bisa menjadi manusia yang sangat cuek. Dia cukup tinggi, badannya juga sangat gagah ketika dia tegak. Dan yang paling penting dia mempunyai mimpi untuk mengkoleksi parfum. 

Setelah pembicaraan singkat tersebut, pemuda tadi melepaskan jaketnya dan membersihkan kacamatanya. Dia juga membernarkan rambutnya yang lepek itu dan segera duduk. Keheningan sempat terjadi sampai.....

"Aku tu ganteng banget gak si," ucap pemuda itu sedikit pelan tampa memberikan kontak mata. 

Temannya hanya diam menatapnya dengan agak sinis. Mendapati temannya tidak memberikan respon, pemuda itu menatap ke temannya dengan penuh percaya diri. 

"Yah kan? gila gak si, gak ada manusia yang lebih ganteng dari aku cuy," ucapannya benar-benar penuh dengan percaya diri. 

Pemuda itu sedikit menjauhkan tubuhnya, menyilangkan kakinya dan membenarkan kacamatanya dengan satu tangan. Setelah melakuan itu, dia kembali menatap ke temannya dan berkata lagi "Gimana? kayak MC banget gak si?" ucapnya dengan suara yang nampak diberat-beratkan. 

"Hah, iya-iya kamu yang paling ganteng," balasnya dengan wajah yang tampak sudah muak. 

"Hah, udah wibu, sok ganteng lagi," pikir temannya. 

Ya, hal tersebut tidak terjadi sekali saja hari itu, mungkin...... 200 kali? Pemuda itu benar-benar merasa dirinya adalah seorang MC yang sangat tampan. Seorang pemeran utama dalam sebuah cerita.Kalimat-kalimat seperti "Gak ada kayaknya orang yang lebih ganteng dari aku," "Kita liat, wanita mana yang beruntung menjalin hubungan denganku nanti," atau kalimat seperti "Mungkin untuk sekarang, gak ada orang yang layak berada di sampingku." Kalimat-kalimat itu sudah menjadi makanan sehari-hari untuk teman-temannya. Gestur seperti membenarkan kacamata, membenarkan rambut, dan mengelus-elus dagu sudah seperti iklan yt di mata teman-temannya.

Terlihat pada awalnya, teman-temannya tidak terlalu peduli dan menganggap hal itu hanya sebagai lelucon. Tapi seiring berjalannya waktu, lelucon itu sudah terasa garing dan sangat menyebalkan. Banyak dari mereka yang tampak sudah muak dan benci dengan apa yang pemuda itu lakukan. Sampai suatu hari di dalam kelas, seperti biasa pemuda itu melakukan kebiasaannya lagi. Tapi teman sebangkunya langsung menarik tangannya. Tatapannya yang sinis sudah berubah menjadi benci. 

"Kamu bisa berhenti?" nadanya tampak berat dengan tempo yang pelan. 

Tampak beberapa orang langsung menatap ke arah mereka. Pemuda itu terdiam, menoleh ke arah lain dan menghela napas. "Yah, kesabaran manusia memang ada batasasnya," pikir pemuda itu. 

Dia menundukkan kepalanya dan mengangguk pelan. 

"Bagus," ucap temannya sambil melepaskan pegangannya.

Hari itu terasa sangat suram bagi pemuda itu. Dia berjalan pulang dengan wajah yang tampak sangat murung. 

"Aku gak papa. Aku gak papa. Aku gak papa," kalimat itu keluar terus menerus dari mulutnya layaknya sebuah mantra yang membuatnya lebih tenang. 

Sesampainya di rumah, dia segera masuk ke kamarnya. tampak beberapa botol parfum, beberapa skin care, dan juga kertas berisi informasi potongan rambut yang sedang tren tahun ini. Dia segera menjatuhkan tubuhnya ke kasur. 

"Hah..... Aku tahu," ucapnya sambil menatap kosong ke arah dinding kamar. 

Setiap manusia memiliki sampul mereka masing-masing. Cara mereka untuk melindungi diri dari orang lain, dan cara mereka untuk melindungi diri dari diri mereka sendiri. Orang yang paling mengerti kita adalah diri kita sendiri. Apa kekurangan dan kelebihan, hanya diri kita sendiri yang benar-benar mampu menjawab hal itu secara detail. 

Terkadang orang yang terlihat tidak mengerti, adalah orang yang paling mengerti

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun