Mohon tunggu...
ihsan
ihsan Mohon Tunggu... Jurnalis - Komunikasi dan Penyiaran Islam

Literasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aksiologi Rasio Etika Menurut Islam

19 November 2024   09:27 Diperbarui: 19 November 2024   10:24 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berangkat dari tradisi keilmuan Islam, sejauh ini saya tidak akan membuang rasio sebagai salah satu sumber pengetahuan (epistemologis) tapi juga tidak menempatkannya pada tahapan tertinggi. Imam Al-Ghazali menegaskan rasio harus tunduk pada hati. Perilaku etis tidak akan lahir dari konsepsi rasional melainkan dari kesucian hati.

Bahkan Nabi Muhammad SAW juga memberi sinyal 6G terkait hati, "Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasadnya. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)" (HR. Bukhari dan Muslim). Pada konteks ini saya menolak Immanuel Kant dan Jeremy Bentham tentang konsepsi rasional-etis.

Menurut Kant setiap orang harus melakukan suatu sikap etis yang bersifat universal. Sebagai contoh jika seseorang ragu apakah bersedekah kepada pengemis adalah tindakan etis atau tidak, maka seseorang itu harus mengandaikan jika dia sedekah, orang lain akan melakukan tindakan yang sama sehingga melahirkan hukum moral di masyarakat.

Kant menyebutnya sebagai suatu "ilmu kewajiban yang terikat (deontologis). Pun pemikiran etis berbeda dengan J Bentham yang mendasarkan sikap etis pada kemanfaatan mayoritas (the greatest happiness the greatest number) atau dikenal dengan utilitarianisme.

Komparasi kedua pemikiran etis-rasional Kant dan Bentham berbeda dengan konsep etis-intuitif Al-Qur'an dan Hadis. Islam mampu mengurai watak kemanusiaan pada diri manusia secara konkret. Fakta sosialnya seseorang akan bersikap etis bukan karena mengetahui tindakan etis melainkan berorientasi pada dorongan intuitif dari hati untuk mendorong tindakan etis itu.

Dorongan hati pun dalam dunia tasawuf disebut dengan "Warid". Saya memberikan definisi bebas Warid adalah 'mengalami kondisi batin, maka rasionalitas dalam Islam tidak dijadikan sumber pengetahuan utama'. Meminjam istilah dari Max Weber, rasionalitas bagi Islam bersifat instrumental.

Naifnya, filsafat barat yang bertumpu pada rasio instrumental semata membawa bencana bagi alam semesta sebagaimana isu-isu lingkungan hidup yang sekarang terjadi. Filsafat barat juga gagal dalam hal memetakan filsafat manusia, bahwa manusia memiliki aspek batin seperti intuisi atau hati. Maka sikap apatis filsafat barat demikian menurut perspektif Islam adalah "Kafara" (tertutupnya pengetahuan yang benar).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun