"Sesungguhnya shalatku, seluruh amal ibadahku, hidupku, dan matiku, hanya untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam"
Manusia tauhid tidak akan mudah terjerat ke dalam nilai-nilai palsu atau hal-hal yang tanpa nilai (disvalues). Atribut-atribut dunia wiyah seperti kekayaan, kekuasaan, dan kesenangan hidup bukanlah tujuan hidupnya. Sebaliknya, hal-hal tersebut dipandang sebagai sarana belaka untuk mencapai keridhaan Allah Swt.
Kelima, manusia tauhid memiliki visi dan misi yang jelas tentang kehidupannya yang harus dibangun bersama manusia manusia lainnya. Suatu kehidupan yang sentosa, aman, makmur, demokratis, egaliter, manusiawi, dan menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dan Tuhannya, dengan lingkungan hidupnya, dan sesamanya serta dirinya sendiri. Pada gilirannya, visi tersebut mendorongnya untuk mengubah dan membangun dunia dan masyarakat sekelilingnya. Kewajiban untuk membongkar masyarakat yang jumud, anarkis, dan status quo, sebaliknya membangun tata kehidupan baru yang dinamis, demokratis, adil, egaliter, dan menghargai hak asasi manusia dipandang sebagai misi utama sepanjang hidupnya.
Berdasarkan pandangan di atas, pendidikan Islam dalam kerangka tauhid melahirkan dua kemestian strategis sekaligus. Pertama, menjaga keharmonisan untuk meraih kehidupan yang abadi dalam hubungannya dengan Allah. Kedua, melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan dalam hubungannya dengan alam lingkungan dan sesamanya. Dengan kata lain, pendidikan Islam dalam tinjauan teologis dan filosofis diarahkan pada dua dimensi, yaitu dimensi ketundukan vertikal dan dialektiaka-horizontal. Pada dimensi pertama, pendidikan Islam diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan pengertian tentang asal-usul dan tujuan hidup manusia dalam mencapai hubungan (taqarrub) dengan Allah. Sedangkan dimensi kedua, pendidikan Islam hendaknya mengembangkan pemahaman tentang kehidupan konkret, yaitu kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam dan lingkungan sosialnya. Pada dimensi ini, manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia riil dengan seperangkat kemampuan yang dimiliki (pengetahuan, keterampilan, moral, dan kepribadian). Kemampuan-kemampuan semacam ini tidak lain hanya bisa diperoleh dari proses pendidikan.
Dari kemestian ini sesungguhnya bangunan pendidikan Islam dilandasi dan sekaligus hendak mengarahkan manusia pada tiga pola hubungan fungsional, yaitu hubungan manusia dengan Allah (hablun min Allah) pada tataran teologis, hubungan manusia dengan sesamanya (hablun min al-Nas) pada tataran antropososiologis, dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya (hablun min al-'Alam) pada tataran kosmologis. Dalam istilah yang mudah dimengerti, hubungan pertama disebut "keberagamaan", hubungan kedua disebut "kebersamaan", sedangkan hubungan ketiga dinamakan "kemitraan". Uraian berikut akan mencoba menjelaskan ketiga pola hubungan tersebut.
Referensi:
Al-Attas, Syed Naquib, Konsep Pendidikan Islam, Terjemahan, Bandung: Mizan, 1992)
Amin Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta (Bandung, Mizan, 1989)
A. Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah ( Yogyakarta: Sipress, 1993)
Mohammad Irfan, Teologi Pendidikan: Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H