Nilai investasi yang dibutuhkan teknologi hijau cukup tinggi karena dianggap masih baru. Selain itu, kebijakan yang tidak konsisten juga menjadi faktor yang menyebabkan investor kurang tertarik untuk menanamkan modalnya untuk berinvestasi. Asia Investor Group on Climate Change (AIGCC) merilis sebuah laporan yang menyebutkan sejumlah hambatan pendanaan atau investasi ekonomi hijau untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050. Hambatan tersebut antara lain, kurangnya instrumen atau peralatan untuk mengukur dampak hijau, kurangnya permintaan klien akan investasi hijau, dan peluang yang tidak sebanding dengan risiko pendanaan jangka panjang.
2. Ketergantungan Terhadap Energi Fosil
Indonesia sampai saat ini masih bergantung dengan ekonomi eksploitatif terhadap lingkungan dan sumber daya alam, seperti energi fosil. Hal ini dikarenakan kegiatan eksploitasi sumber daya alam dinilai sebagai jalan tercepat dalam mendapatkan keuntungan dengan biaya yang murah. Hingga saat ini mayoritas produksi yang dilakukan di Indonesia masih ditopang oleh energi fosil seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa penggunaan energi batu bara akan tetap dilakukan diperkirakan hingga 2050. Hal tersebut tercantum dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dikarenakan keberlimpahan batu bara di Indonesia.
Dibutuhkan strategi dan keberanian untuk beranjak dari energi fosil menuju energi terbarukan. Tentunya mengalihkan penggunaan energi fosil secara spontan dapat mengganggu kestabilan negara, maka dilakukan perkembangan bertahap pada teknologi ramah lingkungan hingga benar-benar terlepas dari ketergantungan energi fosil. Memprioritaskan fokus pembangunan energi pada energi baru terbarukan dan mengupayakan teknologi pemanfaatan batu bara secara hijau merupakan cara untuk melepaskan ketergantungan tersebut.
3. Regulasi “Ribet”
Regulasi pemerintah tentunya memiliki peran penting dalam penerapan ekonomi hijau seperti mengatur dan mengawasi bermacam sektor. Regulasi yang dimaksud bukan hanya sebatas aspek legalitas dan keamanan, tetapi juga kebijakan investasi, perlindungan data dan inovasi teknologi. Melalui regulasi yang jelas, green economy di Indonesia dapat tumbuh secara berkelanjutan dan terhindar dari ketidakpastian hukum yang dapat menghambat perkembangan.
Meskipun begitu, beberapa regulasi dinilai masih kaku dan kompleks sehingga meninggalkan kesan “ribet”. Dampak dari hal tersebut adalah terhambatnya pertumbuhan teknologi, terutama bagi startup dan perusahaan kecil yang tengah berkembang. Proses birokrasi yang panjang dan rumit juga dapat menghambat laju inovasi dan pertumbuhan teknologi, yang berimbas pada kurangnya daya saing Indonesia di pasar global.
4. Hambatan Hilirisasi
Menjadi negara maju tentunya merupakan impian setiap negara tak terkecuali Indonesia. Salah satu strategi yang dapat diterapkan Indonesia adalah industrialisasi. Dengan meningkatkan kualitas industri di Indonesia, kita dapat memaksimalkan keberlimpahan sumber daya yang ada. Daripada menjual barang mentah, lebih baik mengolahnya menjadi produk yang lebih bernilai terlebih dahulu. Melalui cara tersebut, kita dapat memaksimalkan potensi ekspor Indonesia. Konsep ini juga dikenal dengan istilah “Hilirisasi”.
Tetapi kenyataannya, hambatan utama hilirisasi justru datang dari kebijakan global. Program hilirisasi pertambangan Indonesia yang telah dirancang justru diserang dari bermacam pihak mulai dari penggugatan, pengucilan hingga level permintaan penghapusan.
Pada tahun 2020, kebijakan hilirisasi Indonesia digugat oleh Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tak sampai disitu, produk hilirisasi Indonesia yang masuk di Amerika Serikat juga “dikucilkan” dengan alasan kurang hijau. IMF (International Monetary Fund) juga menyatakan bahwa kebijakan larangan ekspor nikel Indonesia perlu dipertimbangkan ulang atau secara singkat dihapuskan. Bahlil Lahadalia, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), menilai bahwa aksi-aksi tersebut merupakan upaya internasional untuk menghambat Indonesia menjadi negara maju.