Oleh: Muhammad Sholihin*
Memotret perilaku politik masyarakat akhir-akhir ini, melahirkan seperangkat pertanyaan. Terlebih, ketika seorang ibu dan anaknya (pendukung presiden Jokowi) mendapatkan perlakuan yang tidak selayaknya dari sebagian rakyat yang mengidentifikasi diri sebagai pengusung tagar  "2019 Ganti Presiden." Seketika jagad media sosial ribut, dan lengkap dengan respon yang emosional---penuh dengan luapan amarah. Dalam kondisi seperti ini sangat sulit mencari perspektif yang berjarak dari persoalan. Bahkan pandangan moral yang dikemukan pun terkontaminasi luapan amarah.
Memang tak gamblang memberikan penilaian secara objektif terhadap pilihan politik, bahkan kaum yang mentasbihkan dirinya sebagai penjaga moral---profesor, akademikus, dan kalangan sofis, jika menyelami pilihan politik, tak jarang terkontaminasi dan akhirnya menjebakkan diri pada subjektifitas 'rasa' suka atau tidak suka. Dalam kondisi ini, untuk mendapatkan mata air jernih pikiran sangatlah sulit. Semua air perspektif sudah tercemar anasir-anasir politik dukung-mendukung. Inilah realitas Indonesia hari ini. Kendati demikian, perspektif bagaimana pun bentuknya mestilah dibaca, dan direnungi secara sehat. Lebih baik lagi, jika dibaca dalam ruang sunyi, sambil memberikan ruang bagi akal sehat dan nurani bertanya.
"Bagaimana tagar-tagar politis (misal #2019GantiPresiden, atau #2019TetapJokowi) dimaknai?" memahami ini perlu ditelisik genealogi munculnya dua kubu ini dalam jagad politik di Indonesia, dewasa ini. Komposisi dua kubu ini jelas tidaklah terlalu berbeda dengan friksional politik di tahun 2014. Mereka yang berkeinginan menganti presiden, umumnya berasal dari kelompok yang dulu tidak memberikan suara bahkan antipati dengan Jokowi. Kendati sekarang, sebagian komposisinya bertambah dengan individu yang merasa tidak puas dengan Jokowi.
Sebaliknya, kelompok rivalitas, muncul dari pemilih setia Jokowi, dan ditambah dengan individu yang mulai menunjukkan rasa suka dengan kerja-kerja Jokowi. Hanya saja, dua kelompok ini memiliki suasana kebatinan yang berbeda, atau warna psikologis yang tak sama. Deborah B. Gould (2016) mengistilahkan hal itu dengan "emosi", dimana sebuah gerakan politik [apapun wujudnya] berasal dari emosi yang berbeda. Emosi yang khas akan menyatukan, mempertemukan hingga merangsang orang untuk melakukan tindakan politik yang sama. Dalam ranah ini, beradu tagar ini layak dipahami.
Emosi kelompok yang ingin menganti Jokowi sebagai presiden, agaknya terbentuk dari perasaan kolektif yang nyaris sama. Misalnya, kecewa karena Jokowi tidak berhasil dalam banyak aspek ekonomi; sosial; dan hukum. Sementara, emosi kelompok rivalitas terhadap kontra-Jokowi, lebih didorong oleh fanatik; rasa puas terhadap keberhasilan kerja Jokowi dalam membangun infrastruktur. Berbeda emosi, akan berbeda dalam merespon reaksi. Satu kelompok larut dalam kecewa, sehingga akan mudah terusik jika ada yang berbeda. Satu kelompok lagi, larut dengan rasa puas, sehingga lebih easy going menyikapi reaksi. Â
Demikian, hal yang menarik ketika dipersoalkan di sini adalah respon publik, terutama kelompok yang berseberangan secara azali dari kelompok tagar ganti presiden. Misalnya, berbagai sarjana yang sejak awal tidak mampu menjaga netralitas, seketika menghamburkan kalimat kekecewaan; kutukan; bahkan kata-kata sarkasme, yang justeru tidak mendinginkan, melainkan memantik api baru gesekan opini. Salahkah? Tentu tidak salah, karena tidak satupun manusia yang dapat objektif dalam memproduksi opini, kendati berdiri diatas puluhan data sebagai pendukung dalil yang dikemukakan.
Limbak dari pada hal di atas, kehadiran seorang ibu dan anak yang terjebak kerumunan, dan mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan adalah potret keluguan. Ia tidak mengerti apa-apa, dan tak pandai dalam membaca medan dimana ia harus berdiri dan hadir. Barangkali, ia merasakan ketika masuk ke dalam kerumunan berbeda dengan kerumunannya, dirinya akan aman-aman saja. Padahal, kerumunan yang ia masuki sudah berbeda dalam hal emosi dengan kerumunan dimana ia harusnya bergabung.Â
Maka, kesalahan memilih untuk hadir akan berdampak buruk bagi dirinya. Dalam konteks ini, maka politik kerumunan dan lengkap dengan emosi yang mendasarinya juga naif jika harus dihadapkan pada jerat hukum. Dalam kondisi ini, idealnya warga negara yang menjatuhkan diri dalam politik dukung-mendukung memiliki kecerdasan dalam memilih kehadiran. "Sudah jelas ada api, mengapa justeru terjun ke dalam pusaran api." Apakah ini keluguan, atau justeru kenaifan?
Demikian ada hal yang lebih mengelikan, yakni ketika ada partai politik atau kelompok pendukung kekuasaan yang beramai-ramai mengadukan dan berusaha mempidanakan kelompok kerumunan yang bertindak atas dasar emosi yang geli; antipati dengan kekuasaan yang saat ini bertahta. Pertanyaan yang layak diajukan adalah: "apakah upaya hukum tersebut murni sebagai wangsit akal sehat, atau sebagai upaya kapitalisasi moment, dan mendulang dukungan?" Tentu menjawab hal ini perlu memahami watak dari nalar politik yang selalu dimainkan dan menggerakkan aktor politik---individu ataupun partai politik.