Mohon tunggu...
Muhammad Sholihin
Muhammad Sholihin Mohon Tunggu... -

Penikmat air putih, dan pencinta senja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dosen Impor, Kebutuhan atau Neokolonialisme Pendidikan?

16 April 2018   11:41 Diperbarui: 16 April 2018   15:01 1816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
timeshighereducation.com

Muhammad Sholihin*

 Tesis yang dapat diajukan dalam tulisan ini adalah bahwa: "upaya meng-import dosen adalah bentuk subversi neo-kolonialisme terhadap pendidikan nasional." Bagaimana tesis ini diuji? Maka, diperlukan upaya mempersoalkan nalar di balik usaha pemerintah mengimpor dosen asing untuk mengajar di Indonesia.

Nalar pemerintah mendatangkan dosen asing, didasarkan pada proyeksi mutu dan kualitas. Melalui skema world class professor,atau WCP, para profesor asing didatangkan dengan harapan agar dapat menstimulasi kapasitas dosen lokal di Perguruan Tinggi Indonesia. Tentu hal ini dengan cost atau biaya yang mahal dan tidak sedikit.

Dalam sebuah media massa, Ali Ghufron Mukti, Dirjen Sumber Daya Iptek-Dikti, mengutarakan bahwa melalui World Class Profesor, dosen asing bisa mengajar dan meneliti lebih intens di Indonesia. "Kita maunya lebih lama. Jadi bisa memberikan dampak peningkatan mutu." Ujar Ghufron.  Niat baik pemerintah ini tentu dapat dipahami, tapi belum tentu dapat dibenarkan berdasarkan prinsip politik-ekonomi dan politik pendidikan bangsa Indonesia.

Anasir awal yang dapat dibangun dari kebijakan ini adalah bahwa pemerintah tengah mengalami krisis kepercayaan diri dalam mendorong kualitas dan jangkauan keilmuan dosen di Indonesia. Krisis kepercayaan diri ini tentu disebabkan oleh common perspective yang digunakan oleh aparatur pemerintah dalam memahami persoalan.

Pemetaan pemerintah terhadap kualitas perguruan tinggi di Indonesia, barangkali telah memicu pemerintah harus meminta bantuan luar negeri, dalam membuat perguruaan tinggi Indonesia sejajar dengan universitas kelas dunia. Namun, ironisnya pemerintah terlalu jauh melompat merumuskan solusi, dan ingin sesuatu yang instan.

Maka, diimpor-lah kemudian dosen asing, agar dosen pada Perguruan Tinggi di Indonesia, tercerahkan. Belum lagi reda nada sumbang terkait kebijakan pemerintah, dalam hal ini, Kemenristik-Dikti, membebani dosen dengan publikasi internasional di jurnal Scopus. Pemerintah kembali memantik api.

Lantas, bagaimana makna yang harus diberikan pada kebijakan impor dosen ini? Merujuk pandangan yang telah diajukan oleh Dip Kapoor (2011: ix), seorang profesor Kajian Kebijakan Pendidikan di Universitas Alberta, Kanada, dengan lugas menyatakan bahwa restrukturisasi pendidikan melalui "modernizing-education" ditentukan dan dibentuk oleh politik ekonomi neo-kolonial. Titik penekanannya adalah reproduksi "cultural interest of capital" merujuk pada standar yang dibangun oleh otoritas global. 

Pertanyaannya, apakah kebijakan pemerintah Indonesia dibangun dalam kerangka ini? Barangkali, pemerintah bisa berdalih, "tidak ada hubungannya dengan agenda neo-kolonial. Ini murni sebagai ikhtiar untuk mendorong kualitas dosen dalam negeri. Serta menjadi stimulus agar dosen berbenah, dan meninggalkan tradisi homo-politicus---mengejar kekuasaan, meninggalkan fitrah sebagai homo-academicus." Dapatkan dalil ini diterima?

Argumentasi semacam itu, memang berada dalam locus nalar-instrumental. Negara pada kondisi alamiahnya, ingin mendapatkan out-put terbaik dari kompetensi dosen. Namun, ironis perguruaan tinggi bukanlah 'common good' yang bisa diberlakukan padanya nalar ekonomi. Tapi, perguruan tinggi adalah ruang-kultural dimana para homo-academicus, berkerja secara otentik sebagai seorang intelektual yang merdeka dan mandiri. 

Maka, sejatinya negara tidak elok memahami perguruan tinggi sebagai objek persaingan layaknya sebuah perusahaan, dengan indikator keberhasilan sangat materialistik dan kalkulatif. Jika yang terjadi sebaliknya, maka negara tanpa disadari akan menyeret perguruan tinggi menjadi subversi neo-kolonial, dimana corak keilmuan---aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi, yang diproduksi di perguruan tinggi di Indonesia, sangat tergantung pada eksistensi aktor-asing, dalam hal ini adalah dosen asing.

Jauh hari sesungguhnya, Edward W. Said---seorang sarjana yang sangat lantang dan garang meneriakkan naifnya hegemoni Barat terhadap Timur, telah mengisyaratkan bahwa:  "hegemoni bercorak neo-kolonial berlangsung melalui positioning superiority, atau nalar yang meletakkan segala yang bersumber dari Barat (Asing) adalah superior. 

Sementara hal yang hidup, dan mentradisi diluar itu adalah imperior." Jadi, diperlukan semacam pertukaran---pengadopsian epistemologi pengetahuan; hingga mengundang aktor asing untuk mengajarkan semangat pengetahuan Asing, misalnya Eropah. Tentu, upaya pemerintah membuat kebijakan impor dosen asing, juga layak dimantiq atau dinalar dalam logika yang dibangun oleh Edward W. Said ini.

Kebijakan impor dosen ini hanya menjadi signifiers atau penanda dari corak nalar yang sedang dibangun oleh negara dalam menjalankan pemerintahan; dan membangun masyarakat. Ketika impor dosen dianggap sebagai "resep paten" untuk mendorong meningkatnya kualitas dan kuantitas penelitian, serta berkembangnya pengetahuan melalui agen-agen intelektual asing. 

Ini mengukuhkan bahwa pemerintah terlanjur mendefinisikan dunia pendidikan tinggi Indonesia, sebatas fabrikasi keilmuaan. Lalu, dari situ negara mendapatkan subsitusi efek berupa economic valuesmelalui penemuan dari penelitian yang menerapkan applied-research. Misalnya hak paten dan hak intelektual.Apakah pendidikan tinggi sesederhana itu?

Merujuk pada pandangan Paulo Freire, dunia pendidikan---termasuk perguruan tinggi, idealnya dimaknai sebagai ruang dimana energi empowerment dan social change diaktivir. Karena itu, pendidikan tinggi harus dibangun secara deliberatif dari the culture of positivisme. 

Tawaran Paulo Freire adalah agar perguruan tinggi, idealnya, menjalankan agenda 'pedagogi-kritis'. Bukan sekadar menjalankan agenda kultural positivisme. Pandangan ini berakar dari proyek intelektual 'pedagogi-kritis' sebagaimana yang dicontohkan oleh Max Horkheimer (1937, 1972); Herbert Marcuse (1968), dan Michael Appel (1979, 2006). Hanya dengan cara menumbuhkan kritisisme ini, seperti keyakinan sarjana sosial progresif, relasi institusi pendidikan dan masyarakat yang berkeadilan akan mampu dibangun. Sehingga, para aktor intellektual di perguruan tinggi tidak selalu berada pada menara gading.

Bukan sebaliknya, dengan membuat dan mengkonstruksi para dosen hanya sibuk, dan disibukkan dengan birokrasi pengetahuan. Jika kebijakan mengimpor dosen ditujukan untuk menyibukkan para dosen dengan hal-hal birokrasi pengetahuan, maka akahkah perguruan tinggi akan [hanya] menjadi 'bengkel' teknologi? Tentu hal itu akan terjadi. Maka, luputlah perguruan tinggi dari citra sebagai ruang dimana homo-academicus diproduksi. 

Tempat pertama kali warga negara dikenalkan nilai-nilai kemanusiaan; virtue dan hakikat pengetahuan. Dengan cara itu, kelak manusia sebagai produk perguruan tinggi mampu melihat dunia secara berbeda, dan mampu memanusiakan manusia. Dan, akhirnya menjadikan pengetahuan bukan sebagai alat untuk menguasai. Tapi, sebagai instrumen untuk membuat realitas lebih manusiawi, dan mendorong raibnya relasi neo-kolonialisme di dalamnya.

Argumentasi lain yang dapat disampaikan disini adalah: "Bagaimana mungkin pemerintah mengeluarkan cost atau biaya yang sangat tinggi untuk membayar para "Agen Intelektual Asing", sementara pemerintah menutup mata dari kenyataan dimana kualitas hidup para dosen-dosen pribumi diserahkan sepenuhnya kepada kapasitas keuangan perguruan tinggi. Alhasil, berdasarkan kriteria ekonomi, secara otomatis lahir beberapa kelas dosen di dalam satu perguruan tinggi. Ada dosen yang berkecukupan karena semua hidupnya ditanggung oleh negara. 

Hingga kain kafannya pun dibiayai oleh negara. "Ada lagi kelompok dosen yang hidup dengan mengandalkan perkerjaan sampingan, seperti menjual gorengan di pasar; pulsa; atau menjadi buruh bangunan. Ada lagi dosen yang mengantungkan hidup dengan menunggu honor yang dibayarkan sekali empat bulan. Jangankan jaminan hari tua, untuk persiapan istri melahirkan pun mereka harus mencari perkerjaan lain." Mereka adalah dosen yang berkerja untuk negara. 

Padahal, dalam perspektif filsafat republikanisme, seorang warga negara yang baik itu dinilai dari tindakannya untuk negara. Pun, sebaliknya negara ideal adalah negara yang mengeluarkan serta mengupayakan seluruh energinya untuk menyejahterakan rakyat. Dalam nalar ini kemudian keadilan negara harus dipertanyakan-- keadilan seperti apa yang tengah dianut oleh negara? Allahu a'lamu bi-shawab.[]

*Penulis adalah Sekretaris Jenderal IDTN-PNS RI.

           

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun