Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah populasi terbanyak di dunia. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2020 ialah sebanyak 269,6 juta jiwa. Hal ini menjadikan Indonesia menempati posisi ke-4 sebagai Negara dengan jumlah populasi terbanyak di dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Dari jumlah tersebut, mayoritas penduduk Indonesia didominasi oleh pemuda (kaum muda). Berdasarkan data dari BPS, pada tahun 2020, jumlah penduduk usia muda (usia 15-39 tahun) berjumlah sebanyak 110,2 juta jiwa.Â
Namun di sisi lain, penetapan rentang usia tersebut sebagai usia muda tentu sangat subjektif, meskipun tidak sepenuhnya salah. Sebenarnya, dalam menetapkan atau mendefinisikan usia kaum muda, Negara melalui dalam UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan Pasal 1 ayat (1) telah menetapkan bahwa pemuda ialah warga Negara Indonesia yang berusia 16-30 tahun. Namun, penetapan rentang usia pemuda oleh UU ini tidak disertai alasan atau argumentasi mengapa rentang usia tersebut yang dikatakan sebagai usia muda.
Terlepas dari pemnbahasan tentang usia kaum muda yang memiliki banyak versi dan pendapat di dalamnya, pembahasan atau kajian tentang kepemudaan merupakan isu menarik yang selalu menjadi topik hangat untuk diperbincangkan. Secara historis, pemuda khsususnya yang ada di Indonesia telah menjadi bagian penting dalam sejarah peradaban bangsa, bahkan sebelum Indonesia merdeka.Â
Peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, dan gerakan reformasi 1998 yang merupakan persitiwa penting dan bersejarah bagi Negara Indonesia telah mencatat sumbangsih dan peran besar para pemuda di dalamnya.Â
Kemudian, peristiwa gerakan penolakan berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU) pada tahun 2019 yang dilakukan serentak di berbagai daerah di Indonesia  juga merupakan salah satu gerakan besar yang diinisiasi oleh mahasiswa yang menjadi bagian dari pemuda. Dari berbagai rentetan peristiwa sejarah tersebut, kita kemudian bertanya, sebenarnya bagaimana masyarakat atau lingkungan sosial mendefinisikan pemuda? Atau sebaliknya, bagaimana pemuda mendefinisikan diri mereka sendiri di tengah masuyarakat atau lingkungan sosialnya?
Berbicara tentang pemuda, artinya kita juga berbicara tentang konstruksi sosial yang berkembang di tengah masyarakat terkait dengan kepemudaan itu sendiri. Artinya, perbincangan tentang konteks pemuda juga akan mengiris pembahasan tentang bagaimana masyarakat dan pemuda menginternalisasikan nilai-nilai objektif tentang konsep kaum muda. Subjek pemuda tak terlepas dari hasil konstruksi pengetahuan, baik yang merepresentasikan kepentingan negara, pasar maupun pemuda itu sendiri sebagai aktor sosial.Â
Ia juga terpapar oleh gelombang pengaruh yang berasal dari berbagai arah: global, nasional maupun lokal (Azca dan Rahadianto, 2012). Namun, jika berbicara tentang konsep pemuda dalam konteks perjalanan historisnya, (Jones dalam Azca dan Rahadianto, 2012) mendapati sekurangnya dua ambiguitas. Pertama, kecenderungan untuk menggambarkan pemuda dan kepemudaan dalam citra paradoks: dipujikan namun sekaligus dipersalahkan, dianggap sebagai pahlawan namun sekaligus sebagai bajingan. Kedua, istilah pemuda atau, youth merujuk pada dua makna, yakni sebagai "seseorang" (sejenis dengan penyebutan anak [child] atau "dewasa" [adult]) dan sebagai bagian dari perjalanan usia (sejenis  dengan penyebutan "masa kanak" [childhood] dan "masa dewasa" [adulthood]).
Untuk memahami tentang konsep kepemudaan, terdapat tiga perspektif utama dalam mengkaji permasalahan ini, yakni perpsektif transisi, perspktif generasi, dan perspektif budaya. Dalam perspektif transisi, pemuda dimaknai sebagai proses perpindahan menuju dewasa dengan melewati tiga institusi sosial, yakni instistusi keluarga, pendidikan, dan kerja. Perspektif ini mencoba untuk memandang proses menjadi muda merupakan proses perjalanan linier yang stabil, di mana mereka akan berhasil menyelesaikan pendidikannya, mendapatkan pekerjaan yang layak, kemudian membina rumah tangga yang harmonis. Dari sudut pandang yang berbeda,pendekatan konstruksi sosial melihat bahwa transisi pemuda tidak terlepas dari konteks sosial di mana dia hidup serta merupakan hasil objektivasi antara aspek subjektif maupun objektif yang terjadi secara dialektis dalam masyarakat (Sutopo dan Meiji, 2014).
Perspektif transisi kemudian menekankan ketiga domain tersebut (pendidikan, pekerjaan, dan keluarga) sebagai domain perpindahan yang akan dialami oleh kaum muda. Pendidikan, kerja, dan perkawinan menjadi "peristiwa kehidupan" yang penting bagi  kaum  muda untuk menuju masa kedewasaan (Rahadianto, 2020).
 Secara konstruktif, pemuda yang berada pada domain pendidikan cenderung dipandang sebagai orang yang masih bergantung kepada orang tua, belum mandiri secara finansial maupun psikologis. Bukan hanya itu, mereka yang berada pada domain ini juga mengidentifikasikan diri mereka dengan pandangan yang sama. Sementara itu, pemuda yang berada pada domain kerja dianggap sebagai pemuda yang sudah mandiri secara finansial, ketergantungan kepada orang tua sudah mulai berkurang dan sangat minim.Â
Sedangkan, pemuda yang sudah berada pada domain keluarga atau sudah memiliki rumah tangga secara sosial ditekankan untuk mandiri secara finansial maupun psikologis. Kini statusnya bukan hanya seorang pemuda yang melekat pada dirinya, melainkan juga sebagai pasangan hidup bagi orang lain bahkan juga sebagai orang tua. Sehingga, beban materil maupun psiskis yang ditanggung sangat berat yang menyebabkan pemuda pada domain ini sangat krusial.