Proses transisi yang dialami oleh pemuda dari domain pendidikan ke domain kerja, sampai kepada domain keluarga atau rumah tangga tidaklah berjalan sendiri di ruang hampa. Namun, baik pemuda maupun domain perkawinan selalu terkait dengan aspek struktur dan kultur yang lebih luas, dengan kata lain, transisi pemuda selalu bersifat relasional dan interseksional. Faktor-faktor tersebut antara lain: generasi, kelas sosial, gender, ras dan etnis (White, Wyn dan Robards dalam Rahadianto, 2020).Â
Artinya bahwa proses perpindahan dari masa pendidikan, masa kerja, kemudian smapai dengan pernikahan yang dialami oleh pemuda sangat dipengaruhi oleh konstruksi sosial seperti budaya, nilai dan norma, serta lingkungan tempat mereka berada. Sehingga, bagaimana pemuda menjalankan masa hidupnya dalam ketiga domain tersebut akan sangat bergantung pada bagaimana masyarakat dan lingkungannya memaknai realitas objektif dan juga bagaimana pemuda itu sendiri menginternalisasi nilai-nilai dalam realitas tersebut.
Kemudian, jika dilihat dari perspektif generasi, pembahasan tentang kepemudaan menjadi sesuatu yang sangat kompleks dan komprehensif. Sebab, dalam membahas pemuda dalam perspektif generasi, berarti juga membahas tentang proses transisi yang dikaitkan dengan konteks sosiohistrois. Dalam perspektif ini, pemuda tidak hanya dilihat dalam kategori usia (muda) saja, melainkan juga mencoba untuk meletakkan konsep pemuda di tengah konteks sosiohistoris dan lokasi sosial.Â
Dengan kata lain, konteks sosiohistoris dan lokasi sosial tertentu membentuk nilai, kepercayaan dan pandangan hidup sebuah generasi, bagaimana generasi tertentu kesulitan memahami generasi yang lain serta bagaimana proses pertentangan antar generasi tersebut berlangsung (Sutopo, 2014).
Pemuda dalam perspektif generasi selalu berkaitan dan dipengaruhi oleh konstruksi sosial masyarakat generasi tempat mereka berada. Dengan kata lain, pemuda dari satu generasi ke generasi lain bisa saja memiliki definisi, batasan, maupun pandangan terhadap realitas objektif yang berbeda, tergantung dari konstruksi sosial masyarakat generasinya. Artinya, konsep pemuda dalam suatu generasi sangat dipengaruhi oleh berbagai hal seperti sosiohistoris, ekonomi, maupun politik yang berkembang di masanya yang menaungi masyarakatnya.Â
Hal ini menimbulkan konsekuensi logis berupa implikasi terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kepemudaan, termasuk dalam hal pendefinisian tentang pemuda itu sendiri. Akibatnya, konstruksi akan apa yang dinamakan pemuda tidaklah sama dari waktu ke waktu namun justru makna dari pemuda itu sendiri mengalami perubahan (Sutopo, 2014). Hal ini kemudian menyebabkan terjadinya perbedaan pemaknaan maupun pengalaman secara sosial antara pemuda dari generasi yang satu dengan pemuda dari generasi yang lain. Sebab, dalam konteks ini, konsep tentang pemuda tidak dianggap sama dari generasi ke generasi, karena sangat bergantung pada konstruksi sosial yang berkembang pada generasi mereka masing-masing.
 Perspektif yang ketiga dalam memahami pemuda ialah perspektif budaya kaum muda. Dalam perspektif ini, pmuda digambarkan sebagai objek sekaligus subjek budaya, juga pencipta sekaligus penikmat budaya. Perspektif ini kemudian mencoba untuk melihat bagiamana masyarakat mengkonstruksikan kebudayaan kaum muda umumnya dengan cara pelabelan. Artinya, budaya kaum muda cenderung diknostruksikan dan dilabeli oleh masyarakat terhadap budaya tertentu, seperti kegemaran terhadap budaya Barat misalnya.Â
Namun di sisi lain, dalam perspektif ini pemuda juga mengidentifikasi dan mengkonstuksikan nilai budayanya sendiri. Dengan kata lain, di saat masyarakat mengkonstuksikan budaya kaum muda, di saat yang sama pula kaum muda mengkonstruksikan dan mengidentifikasi budayanya sendiri, kecenderungan mereka terhadap budaya yang seperti apa dan bagaimana. Perspektif budaya menitikberatkan pada aspek subjektif dan preferensi pada topik-topik yang dekat dengan kehidupan kaum muda seperti gaya hidup, konsumsi dan juga subkultur (Sutopo, 2016).
Berbicara tentang perspektif budaya kaum muda dalam konteks Indonesia sebenarnya merupakan sesuatu yang dilematis. Di satu sisi kaum muda "diarahkan" untuk masuk ke dalam budaya global dengan berbagai konsekuensinya, namun di sisi lain mereka dimarjinalkan dari kultur global itu sendiri. Dengan berkelanjutannya globalisasi ekonomi dan budaya serta kecenderungan pada perpanjangan masa muda, makin banyak pemuda di Indonesia yang tumbuh dalam sebuah sistem referensi global budaya dan gaya hidup pemuda berbasis konsumen. Ironisnya, globalisasi memasukkan mereka ke dalam budaya dan konsumerisme kaum muda, tetapi pada saat yang sama mengesampingkan mereka dari situ karena posisi ekonomi marjinal mereka (Comaroff dan Comaroff, 2005).
Dari uraian tentang ketiga perspektif dalam memahami kaum muda (perspektif transisi, generasi, dan budaya), kita kemudian dapat menarik benang merah yang membedakan antara ketiga perspektif tersebut, meskipun pada hakikatnya pemaknaan terhadap ketiga perspektif tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat fixed (kemungkinan akan mengalami perubahan maupun perkembangan). Untuk merumuskan perbedaan di antara ketiganya, tentu kita harus kembali pada konsep dasar ketiga perspektif tersebut.Â
Pertama, bahwa perspektif transisi dimaknai sebagai suatu proses perpindahan secara linier yang dialami oleh kaum muda. Perpindahan tersebut mencakup tiga domain utama, yakni domain pendidikan, domain pekerjaan, dan domain keluarga atau perkawinan. Dalam konteks ini, pemuda dipandang dalam ruang lingkup kajian makro, di mana proses yang dialami oleh pemuda diasumsikan memiliki kesamaan dalam tiga domain ini.