Mohon tunggu...
Ihdina Sabili
Ihdina Sabili Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I am an ordinary woman with a high dream

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Review Mantra Asmara (Usman Arrumy)

13 April 2015   12:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:10 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cinta adalah suatu anugerah abstrak yang dikaruniakan Tuhan kepada seluruh makhluk-Nya yang bernafas, makhluk hidup, meskipun yang tak berakal sekalipun. Dan puisi adalah sebuah bahasa, ungkapan rasa, alat komunikasi, yang memilki nilai lebih pada sisi keindahan. Bagi mereka yang menggemari dunia perpuisian, semakin abstrak puisi itu, akan dianggap semakin indah, semakin rumit diterjemahkan puisi itu, maka semakin bernilai lebih bagi mereka. Akan tetapi tetaplah sebagai bahasa, alat komunikasi, maka semakin komunikatif puisi tersebut, maka itulah yang lebih baik.

Usman Arrumy, seorang manusia biasa, yang memiliki hati dan nurani pula, sedang bertaburan cinta mungkin? Iya, entah pernah, sedang, ataupun akan, semua manusia mengalami itu. Bagi Arrumy, puisi adalah bahasa paling tepat dalam menyuarakan bisikan hati nuraninya yang bergelimang asmara. Dan cinta sebagai anugerah suci nan mulia maka menjadi sangat berharga dan istimewa segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Mulai dari pelakunya, sasarannya, bahasanya, kisahnya, hingga benda-benda kecil yang menjadi kenangan dalam perjalanannya. Oleh karena itu lahirlah judul MA bagi 70 puisi pilihan Arrumy yang dalam kelahirannya mengalami proses sangat panjang dan berliku ini.

Jika seorang awam disuguhi buku ini, tanpa terlebih dahulu mengenal secara pribadi pada Arrumy, mengenali jenis tulisannya, dan memahami alur kisah hidupnya, maka dengan membaca MA ini akan tergelitik dan menebak-nebak apa yang sesungguhnya ingin disampaikan Arrumy melalui 70 puisi ini dari lubuk hatinya. Tanpa pula membaca antologi puisi Arrumy sebelumnya, seperti Qutub Cinta ataupun lainnya. Oleh karena itu dalam hal ini saya posisikan saya sebagai orang awam tersebut, supaya dalam menguraikan hal ini tidak terjadi subyektifitas.

Himpunan kertas berukuran 13 x 19 cm yang berjumlah 146 halaman ini boleh dikatakan sebagai kamus hati, atau lebih tepatnya kamus cinta. Tentunya tidak secara keseluruhan, hanya sebagian. Karena dalam seluruh rangkaian kehidupan, kisah yang tertuang dalam 70 puisi disini hanyalah sebagian kecil yang sialnya disetujui dan disepakati oleh para pembaca. Dari situlah saya berani memberi nama kamus, bukankah kamus itu sebuah patokan yang dipercaya orang secara umum mampu memberikan definisi bahasa tertentu dan menjawab pertanyaan-pertanyaan pada otak manusia?

Dari ke-70 puisi yang dipilih Arrumy dalam MA ini semuanya tidak tercantum hari, tanggal ataupun tahun penciptaannya, lalu apakah kita sebagai pembaca akan mengiyakannya jika saja suatu saat Arrumy menyatakan bahwa puisi-puisi ini ia tulis saat ia berusia 7 tahun? Tentu tidak? Lalu tidak ingatkah kalian jika seorang seniman seringkali berbuat sesuatu yang di luar akal kita manusia biasa? Sekali lagi saya tekankan, seniman atau penyair hanyalah manusia biasa, bukan nabi, bukan wali, mereka mungkin memiliki kemampuan lebih dalam memainkan bahasa dan aksara, memiliki rekaman lebih banyak tentang diksi dan definisi, memiliki lebih rumit pola pikir dan olah rasa, akan tetapi di luar semua, ia juga manusia bermata dua sebagaimana kita semua.

Kembali pada isi MA, saya sepakat dari 70 puisi ini memang diurutkan sesuai abjad, mulai dari Angin hingga Zieisme, namun entah disadari atau tidak oleh Arrumy, urutan ini secara tidak langsung akan menggiring pola pikir pembaca untuk merangkai makna yang mereka tangkap dari runtutan ini, tentunya bagi mereka yang membacanya runtut, karena tak jarang pula pembaca yang membacanya sesuka hatinya, entah dari memilih judul-judul yang baginya baru dan unik, atau asal membuka dengan acak lalu halaman yang terbuka itulah yang ia baca terlebih dulu, namun sekali lagi, jika kita membacanya urut sesuai yang tersaji pada daftar isi, maka akan membentuk sebuah rangkaian kisah tersendiri yang disimpulkan pembaca. Karena buktinya pada antologi Arrumy sebelumnya, Qutub Cinta, puisi-puisinya tidak terurut sesuai abjad, tentunya hal ini di luar masalah teknis oleh pihak editor atau penerbit.

Bahasa Arrumy yang lugas dalam berpuisi, memberi nilai lebih dalam kemampuannya bertutur melalui jenis seni yang satu ini. Karena puisi adalah kebebasan, maka sebagai penyair muda, ia merasa seluruh isi hatinya akan dengan indah dan sempurna tercurahkan melalui puisi ini. Bagi mereka para pembaca setia tulisan demi tulisan goresan tangan dan tarian jari milik Arrumy akan lebih mudah mengenali gaya bahasa pria asal jawa tengah yang satu ini. Sederhana, ringan, dan indah, membuat puisi-puisinya cukup mudah dipahami, terlebih bagi mereka yang tengah jatuh cinta atau juga putus cinta, karena dari 70 puisi di MA ini kesemuanya menafsirkan akan hal itu.

Pilihan judul dengan diksi baru membuat pembaca bertanya-tanya dan penasaran, seperti apakah isi puisi itu jika judulnya demikian. Semisal ‘Fosforisma’ siapa yang akan menyangka jika kata itu diambilnya dari baris pertama isinya, tanpa mewadahi seluruh isi dan makna puisi itu, tapi justru disitulah nilai pemaknaannya. Semisal lagi pada judul ‘Kwatrin Strainme’ dan ‘Kwatrin Tsuroysme’ dan beberapa judul lainnya, yang apakah dalam isi puisinya terdapat kata itu? Tentu tidak harus. Bahkan sebagian besar puisinya tidak mengandung judulnya secara gamblang tertera. Oleh karena itu dalam membaca puisi, tak cukup sekedar sekali membaca akan mampu menerka dan menangkap maksud dan isi dari penyairnya, karena untuk melahirkan satu judul bagi seorang penyair adalah sebuah perjuangan tersendiri. Bahkan Arrumy pada antologi sebelumnya telah menaruh puisi berjudul ‘Yin-Yang’ akan tetapi isi yang dia jabarkan berbeda. Pada ‘Yin-Yang’ di MA ini ia lebih berani menggunakan keterbukaan bahasa, istilahnya dlomirnya telah di-dlohir-kan.

Saya takkan berbicara banyak tentang maksud isi dari puisi-puisi di dalam MA ini, karena saya khawatir subjektifitas saya akan muncul dan mendominasi penilaian saya, saya hanya akan memberi beberapa kalimat kesimpulan tentang cinta. Cinta adalah perasaan yang suci dan mulia, semakin rapi dia dijaga, semakin subur dia tumbuh, dan cinta yang telah tumbuh subur dan berbalas akan semakin dalam dia terjaga dalam lubuk hati, sehingga untuk menumpasnya takkan sanggup dengan sekali tebas, baik melalui perkataan maupun perbuatan paling kejam pun. Karena jika cinta telah mencapai lapisan hati paling dasar, apa yang mampu menghapusnya, membersihkannya, menyingkirkannya? Selain takdir Tuhan? Cinta akan hadir sebagai kekuatan, banyak hal positif akan lahir karena adanya cinta, namun cinta juga mampu menjadi penyulut kehancuran, jika akal dan hati tak mampu terkendalikan dengan baik, maka cinta justru menjadi penyebab kegagalan hidup seseorang. Dan cinta yang tulus, sekali lagi, tidak menunggu balasan, imbalan, dan sebagainya. Karena hanya dengan dirasakannya cinta itu, telah merupakan anugerah terindah pada hati manusia.

Jika kita telaah melalui judul, hanya 6 dari 70 judul puisi pada MA yang secara gamblang merujukkan makna puisi pada obyek tertentu, lalu adakah dari pembaca awam mampu menafsirkan dengan sempurna makna puisi-puisi cinta tersebut? Bermula dari Angin I, Arrumy terlebih dahulu memberikan nafas awal pada pembaca tentang apakah makna cinta, bagaimana hakikatnya, dan bentuk kemurniannya. Akan tetapi jika kita globalkan secara keseluruhan 70 puisi ini ia dedikasikan kepada seseorang, entah manusia, entah wanita, entah yang ia cinta, entah yang ia tak bisa berpaling darinya, maka itu sudah tentu salah besar. Karena pada MA ini, Arrumy ingin memberikan pesan pada pembaca secara khusus dan pada manusia secara umum, bahwa cinta hakiki hanya milik Tuhan, dan anugerah paling suci ini, hanya Dia yang berhak. Pesan ini tersirat pada ‘Asmara Loka’ dan ‘Ayat Cinta’.

Pada keadaan tertentu, cinta memiliki beragam warna yang mampu diterjemahkan dalam berbagai macam waktu, bahasa, benda, peristiwa, dan suasana. Dan Arrumy telah berusaha menyajikannya dengan gayanya. Jika cinta menjadi sebuah analogi suatu apa, rabalah dari ‘Batu’, ‘Buku’, ‘Cendera Mata’, ‘Fosforisma’, ‘Moksa’, ‘Petir’, dan ‘Seruling’. Dan jika cinta ia terjemahkan dalam peristiwa maka kau mungkin menemukannya pada ‘Dari Ujung Jalan’, ‘Genderang Gendam’, ‘Sinkope Kenangan’, dan beberapa lain sebagainya. Dalam ‘Denyut Hari’ ia mencoba membuat alur waktu tentang cinta dalam sehari. Dan jika hendak dihitung, dari ribuan kata yang ia gunakan pada MA ini, hanya satu kata selain cinta yang mendominasi otaknya saat menyusun aksara ini, yakni Rindu. Seperti halnya ia menggamblangkan si dia sebagai objek pada judul, ia juga menyajikan 6 judul mengandung ‘Rindu’ diantara 70 isi MA ini. Lain halnya dengan ‘Cinta’, 14 judul mengandung ‘Cinta’, maka sepakatkah kalian jika di awal tulisan saya tadi kemukakan bahwa MA ini selayaknya Kamus Cinta, karena pembaca akan temukan Ayat, Detak, Dibisiki, Fatwa, Huruf, Kata, Lambang, Nafas, Rahasia, Sabda, Sangkala, Senyawa, Titah, dan Ziarah tentang CINTA.

Jika ditilik dari latar tempat yang dipilih Arrumy, ternyata dia tidak melulu menghadirkan Pare sebagai saksi tempat ia menyepuh cintanya, ia juga mencoba merasakannya di Kairo, Mediterania, Montaza, dan Utopia. Hal ini tentunya melewati proses yang tidak mudah bagi seorang Arrumy dalam mendudukkan dirinya pada latar-latar tersebut. Pada ‘Dendam Kamasutra’ ia mencoba latar kehidupan dengan sisi lain dengan menokohkan para Dewa, pendekar dengan serangkaian kisahnya masing-masing.

Meski MA ini lahir pada April 2014, tapi 70 isinya memiliki waktu kelahiran yang beragam, ada yang telah lahir sejak puluhan bulan yang lalu dan melalui berbagai proses, dan ada pula yang telah berdiam diri pada otak dan hati Arrumy sekian lamanya, karena puisi tidak sekedar menyuarakan isi hati, puisi juga membawa pesan dan kisah penuh misteri, tidak melulu mengisahkan sang penyairnya akan tetapi juga hasil pengamatan terdalam sang penulis akan fenomena kehidupan yang ia temui, rasakan, rumuskan, dan simpulkan.

Jika kalian belum menemukan apa itu hakikat cinta, maka berhati-hatilah saat membaca MA, karena jika perenungan panjang kalian lakukan sembari menelusurinya, cinta akan dengan sendirinya memeluk dari segala arah.

Sekian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun