Mohon tunggu...
Mustaqim
Mustaqim Mohon Tunggu... Desainer - Bismillah

Mustaqim Saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kartini Tak Ingin Terkenal

19 April 2017   07:22 Diperbarui: 19 April 2017   19:13 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
RA Kartini, Kardinah dan Roekmini (WIKIMEDIA COMMONS/GPL FDL)

TAK INGIN JADI TERKENAL

Hari Kartini yang jatuh setiap tanggal 21 April seyogianya menjadi refleksi bagi kita untuk meneladani karakter sosok perempuan seperti Kartini. Tidak hanya untuk kaum perempuan saja, tetapi juga kaum laki-laki perlu meneladani kepribadian positif dari Kartini.

Hari Kartini memang identik dengan sosok perempuang pejuang, namun Kartini sendiri adalah pejuang yang tidak ingin dikenal banyak orang. Untuk melihat pandangan ini, salah satu rujukan yang masyhur tentang uraian Kartini adalah buku Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer, awalnya empat jilid tetapi dua jilid hilang dan sisanya digabung menjadi satu jilid.

Sebagai sosok yang dikenal sebagai seorang pengarang, Kartini adalah pengarang yang tidak ingin dikenal. Sebuah majalah terbitan Nederland pernah berkali-kali meminta Kartini agar tulisannya diterbitkan. Namun, Kartini tetap menolak. Walaupun redaksi mengijinkan agar namanya dibuang, tetapi Kartini yakin bahwa tulisannya akan tetap bisa dikenali.

Dalam suratnya kepada Estelle Zeehandelaar yang dikutip oleh Pramoedya dalam bukunya tersebut, Kartini pun menulis: “sungguh membosankan; aku tak suka disebut-sebut, dalam hubungan dengan tulisan-tulisanku, lebih tidak suka lagi kalau aku hanya mendengar pujian semata, bah!” Walaupun dalam hati Kartini sangat menginginkan menulis di media, karena alasan itu pula ia menolak.

Pernah sekali Ayah Kartini mengijinkan tulisannya diumumkan dalam De Echo dengan nama samaran “Tiga Saudara”. Namun demikian, banyak orang pun segera tahu bahwa tiga saudara tersebut adalah Kartini beserta saudaranya: Kardinah dan Rukmini. Tulisannya itu adalah kisah waktu Kartini bersaudara beserta Ayahnya mengunjungi pesta besar di Semarang.

Tentu saja Kartini merasa sebal dengan hal itu karena ia ingin tidak ada orang yang tahu kalau ia memainkan pena. Kartini pun sebal menjadi buah bibir banyak orang. Namun demikian, dengan publikasi-publikasi tulisannya, Kartini semakin mendapat kemasyhuran sekalipun itu tidak ia inginkan.

Aksi (Narsitik) di Media Sosial

Sumber Gambar: http://wallpapersonthe.net
Sumber Gambar: http://wallpapersonthe.net

Hal yang dikhawatirkan sekarang adalah kesulitan untuk melahirkan sosok-sosok perempuan pejuang seperti Kartini apabila kita hanya pandai beraksi di media sosial saja. Tentu perilaku ini berbeda sekali dengan masa hidup Kartini yang walaupun tidak ada teknologi media sosial (medsos), Kartini tetap tidak ingin dikenal oleh banyak orang.

Teknologi medsos yang telah berkembang sedemikian pesat mengijinkan semua orang untuk berekspresi secara bebas di dunia maya. Pertemanan dalam jaringan medsos menjadi tidak terbatas; jenisnya beragam dan salurannya pun semakin bertambah.

Media-media semacam facebook, twitter, Instagram, BBM, line, whats app, dan seterusnya tentu memudahkan semua orang untuk berkomunikasi, bertukar pikiran, informasi, sampai berbagai informasi terkait aktivitas-aktivitas kecil yang dilakukan oleh diri sendiri. Tidak jarang pula, ekspresi diri yang terkadang hanya aksi pamer kecantikan/kegantengan juga tidak luput untuk dibagikan. Pengunggahan foto diri ke media sosial menjadi penanda ingin dilihat, ingin dikenal, dan harapan timbal balik berupa tanda jempol beserta komentar-pujian.

Sekali publish, baik itu foto maupun tulisan, segera semua orang yang menjadi teman dapat tahu. Bahkan, apabila hal itu menarik dan unik, orang-orang bisa saling membagikannya ke berbagai media tersebut. Informasi bisa menjadi viral dan segera setelah itu, orang bisa menjadi artis dadakan.

Kita bisa cek beranda Facebook atau Instagram misalnya, seakan semua orang saling berebut ruang perhatian. Penonjolan eksistensi diri dan aksi narsis di media sosial menjadi pekerjaan yang semakin banyak dilakukan oleh generasi muda sekarang. Melansir dari laman trendtek.republika.co.id (2017), penelitian yang dilakukan kandidat Doktor klinik Psikologi dari Case Western Reserve University, Joshua Grubbs membuktikan bahwa generasi milenial adalah generasi yang paling narsis.

Hal ini memang menunjukan bahwa kita (juga termasuk saya) mayoritas memiliki mental narsitik, ingin dilihat, dipuji, dan mendapat kemasyhuran (terkenal) karena kebaikan yang kita lakukan.

Tidak jarang pula kita akan melihat sebagian orang mengunggah foto diri saat melakukan kegiatan semacam aksi sosial. Bukan berarrti memperlihatkan aksi ke dunia maya adalah hal yang tidak baik, tindakan ini pun bisa menarik simpati dan menggugah kesadaran mereka yang belum ikut beraksi. Akan tetapi, apabila pengunggahan ke media sosial hanya sebatas untuk unjuk diri, maka bisa terjerumus pada budaya narsitik dan penonjolan eksistensi diri belaka.

Kisah gugurnya perjuangan Bu Patmi yang ikut menolak pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng adalah teladan bagi kita. Bu Patmi adalah sosok perempuan pejuang yang tidak mementingkan aksi-aksi di media sosial belaka, tetapi ia bersama ibu-ibu lainnya adalah pejuang yang harus melakukan tindakan nyata.

Bu Patmi dikenal, dikenang, karena aksi perjuangannya yang nyata. Bercermin pada kehidupan Kartini, kemasyhuran Kartini juga dibangun dengan perjuangan. Inilah yang perlu jadi teladan bagi kita sekarang, bukan hanya sekadar pandai berdandan dan berpose di depan kamera semata. Kita pun tahu bahwa para pahlwan nasional bisa dikenang setiap tahun juga karena perjuangannya yang mati-matian, dengan kesakitan dan air mata.

Keikhlasan dan ketulusan seharusnya menjadi modal utama bagi siapa saja yang berjuang untuk mengegakkan kebenaran, keadilan, dan menebarkan benih-benih kasih-sayang. Tentu tidaklah patut apabila kita melakukan aksi perjuangan, tetapi hanya untuk sekadar ingin unjuk diri atau unjuk kekuatan kelompok belaka. Tindakan ini memang bisa menarik perhatian, simpati, atau dukungan para netizen di dunia maya. Akan tetapi, apabila terlalu banyak berorientasi pada harapan ini, maka aksi-aksi tersebut bisa menjadi aksi unjuk gigi semata. (Kan malu, kalo giginya ompong plus warnanya kuning karena jarang disikat)

Orang bisa dikenal karena karya dan perjuangannya. Kemasyhuran Kartini juga didapat karena karya-karya tulisannya. Para pahlawan yang gugur, sebgaimana Bu Patmi pun menjadi banyak dikenal karena aksi perjuangannya. Akan tetapi, proses untuk berkarya dan berjuang itu memang butuh landasan ketulusan dan keikhlasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun