Mohon tunggu...
Mustaqim
Mustaqim Mohon Tunggu... Desainer - Bismillah

Mustaqim Saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kartini Tak Ingin Terkenal

19 April 2017   07:22 Diperbarui: 19 April 2017   19:13 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekali publish, baik itu foto maupun tulisan, segera semua orang yang menjadi teman dapat tahu. Bahkan, apabila hal itu menarik dan unik, orang-orang bisa saling membagikannya ke berbagai media tersebut. Informasi bisa menjadi viral dan segera setelah itu, orang bisa menjadi artis dadakan.

Kita bisa cek beranda Facebook atau Instagram misalnya, seakan semua orang saling berebut ruang perhatian. Penonjolan eksistensi diri dan aksi narsis di media sosial menjadi pekerjaan yang semakin banyak dilakukan oleh generasi muda sekarang. Melansir dari laman trendtek.republika.co.id (2017), penelitian yang dilakukan kandidat Doktor klinik Psikologi dari Case Western Reserve University, Joshua Grubbs membuktikan bahwa generasi milenial adalah generasi yang paling narsis.

Hal ini memang menunjukan bahwa kita (juga termasuk saya) mayoritas memiliki mental narsitik, ingin dilihat, dipuji, dan mendapat kemasyhuran (terkenal) karena kebaikan yang kita lakukan.

Tidak jarang pula kita akan melihat sebagian orang mengunggah foto diri saat melakukan kegiatan semacam aksi sosial. Bukan berarrti memperlihatkan aksi ke dunia maya adalah hal yang tidak baik, tindakan ini pun bisa menarik simpati dan menggugah kesadaran mereka yang belum ikut beraksi. Akan tetapi, apabila pengunggahan ke media sosial hanya sebatas untuk unjuk diri, maka bisa terjerumus pada budaya narsitik dan penonjolan eksistensi diri belaka.

Kisah gugurnya perjuangan Bu Patmi yang ikut menolak pembangunan pabrik semen di pegunungan Kendeng adalah teladan bagi kita. Bu Patmi adalah sosok perempuan pejuang yang tidak mementingkan aksi-aksi di media sosial belaka, tetapi ia bersama ibu-ibu lainnya adalah pejuang yang harus melakukan tindakan nyata.

Bu Patmi dikenal, dikenang, karena aksi perjuangannya yang nyata. Bercermin pada kehidupan Kartini, kemasyhuran Kartini juga dibangun dengan perjuangan. Inilah yang perlu jadi teladan bagi kita sekarang, bukan hanya sekadar pandai berdandan dan berpose di depan kamera semata. Kita pun tahu bahwa para pahlwan nasional bisa dikenang setiap tahun juga karena perjuangannya yang mati-matian, dengan kesakitan dan air mata.

Keikhlasan dan ketulusan seharusnya menjadi modal utama bagi siapa saja yang berjuang untuk mengegakkan kebenaran, keadilan, dan menebarkan benih-benih kasih-sayang. Tentu tidaklah patut apabila kita melakukan aksi perjuangan, tetapi hanya untuk sekadar ingin unjuk diri atau unjuk kekuatan kelompok belaka. Tindakan ini memang bisa menarik perhatian, simpati, atau dukungan para netizen di dunia maya. Akan tetapi, apabila terlalu banyak berorientasi pada harapan ini, maka aksi-aksi tersebut bisa menjadi aksi unjuk gigi semata. (Kan malu, kalo giginya ompong plus warnanya kuning karena jarang disikat)

Orang bisa dikenal karena karya dan perjuangannya. Kemasyhuran Kartini juga didapat karena karya-karya tulisannya. Para pahlawan yang gugur, sebgaimana Bu Patmi pun menjadi banyak dikenal karena aksi perjuangannya. Akan tetapi, proses untuk berkarya dan berjuang itu memang butuh landasan ketulusan dan keikhlasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun