TAK INGIN JADI TERKENAL
Hari Kartini yang jatuh setiap tanggal 21 April seyogianya menjadi refleksi bagi kita untuk meneladani karakter sosok perempuan seperti Kartini. Tidak hanya untuk kaum perempuan saja, tetapi juga kaum laki-laki perlu meneladani kepribadian positif dari Kartini.
Hari Kartini memang identik dengan sosok perempuang pejuang, namun Kartini sendiri adalah pejuang yang tidak ingin dikenal banyak orang. Untuk melihat pandangan ini, salah satu rujukan yang masyhur tentang uraian Kartini adalah buku Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer, awalnya empat jilid tetapi dua jilid hilang dan sisanya digabung menjadi satu jilid.
Sebagai sosok yang dikenal sebagai seorang pengarang, Kartini adalah pengarang yang tidak ingin dikenal. Sebuah majalah terbitan Nederland pernah berkali-kali meminta Kartini agar tulisannya diterbitkan. Namun, Kartini tetap menolak. Walaupun redaksi mengijinkan agar namanya dibuang, tetapi Kartini yakin bahwa tulisannya akan tetap bisa dikenali.
Dalam suratnya kepada Estelle Zeehandelaar yang dikutip oleh Pramoedya dalam bukunya tersebut, Kartini pun menulis: “sungguh membosankan; aku tak suka disebut-sebut, dalam hubungan dengan tulisan-tulisanku, lebih tidak suka lagi kalau aku hanya mendengar pujian semata, bah!” Walaupun dalam hati Kartini sangat menginginkan menulis di media, karena alasan itu pula ia menolak.
Pernah sekali Ayah Kartini mengijinkan tulisannya diumumkan dalam De Echo dengan nama samaran “Tiga Saudara”. Namun demikian, banyak orang pun segera tahu bahwa tiga saudara tersebut adalah Kartini beserta saudaranya: Kardinah dan Rukmini. Tulisannya itu adalah kisah waktu Kartini bersaudara beserta Ayahnya mengunjungi pesta besar di Semarang.
Tentu saja Kartini merasa sebal dengan hal itu karena ia ingin tidak ada orang yang tahu kalau ia memainkan pena. Kartini pun sebal menjadi buah bibir banyak orang. Namun demikian, dengan publikasi-publikasi tulisannya, Kartini semakin mendapat kemasyhuran sekalipun itu tidak ia inginkan.
Aksi (Narsitik) di Media Sosial
Hal yang dikhawatirkan sekarang adalah kesulitan untuk melahirkan sosok-sosok perempuan pejuang seperti Kartini apabila kita hanya pandai beraksi di media sosial saja. Tentu perilaku ini berbeda sekali dengan masa hidup Kartini yang walaupun tidak ada teknologi media sosial (medsos), Kartini tetap tidak ingin dikenal oleh banyak orang.
Teknologi medsos yang telah berkembang sedemikian pesat mengijinkan semua orang untuk berekspresi secara bebas di dunia maya. Pertemanan dalam jaringan medsos menjadi tidak terbatas; jenisnya beragam dan salurannya pun semakin bertambah.
Media-media semacam facebook, twitter, Instagram, BBM, line, whats app, dan seterusnya tentu memudahkan semua orang untuk berkomunikasi, bertukar pikiran, informasi, sampai berbagai informasi terkait aktivitas-aktivitas kecil yang dilakukan oleh diri sendiri. Tidak jarang pula, ekspresi diri yang terkadang hanya aksi pamer kecantikan/kegantengan juga tidak luput untuk dibagikan. Pengunggahan foto diri ke media sosial menjadi penanda ingin dilihat, ingin dikenal, dan harapan timbal balik berupa tanda jempol beserta komentar-pujian.