Mohon tunggu...
Mustaqim
Mustaqim Mohon Tunggu... Desainer - Bismillah

Mustaqim Saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kartini, Multatuli, dan Humanisme Mahasiswa

28 Maret 2017   09:44 Diperbarui: 9 Agustus 2022   08:37 1036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Edit Penulis

Sebuah karya dari Multatuli disebut oleh Pramoedya dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja. Dalam salah satu karya Multatuli, Minnebrieven, Kartini mendapat kalimat-kalimat yang menggoncangkan: “Orang Jawa dianiaya. Aku harus menyetopnya. Dan: Tugas manusia adalah menjadi manusia.” Kalimat ini mengesankan kesadaran Kartini pada rasa humanisme terhadap rakyatnya sebagai pemahaman akan kesamaan antarsesama manusia.

Berbicara mengenai humanisme menarik kaitannya dengan tokoh Multatuli. Begitu pula dengan Pram, ketika berbicara mengenai Multatuli, dengan tegas ia katakan, “seorang politikus tidak mengenal Multatuli, praktis tidak mengenal humanisme secara modern, dan seorang politikus tidak mengenal Multatuli, bisa menjadi politikus yang kejam.”

Nilai-nilai humanisme berarti juga pemahaman akan kesamaan di antara sesama manusia. Ia tidak hanya dibangun melalui bangku pengajaran. Namun, pemahaman itu juga harus dibangun sejak dalam kesadaran diri manusia sendiri. Apalagi ketika sudah mencapai tahap pendidikan sekolah tertinggi (kampus), pemahaman itu harus menjadi pijakan utama.

Jika tidak, maka akibat yang terjadi adalah kesalahpahaman dalam memandang hubungan antara diri sendiri dan orang lain. Contoh tragisnya adalah kasus yang pernah menggemparkan pada tahun lalu, yakni pembunuhan dosen yang dilakukan oleh mahasiswanya sendiri. Bahkan, tidak jarang pula kita temui kasus-kasus penganiayaan dan pembunuhan antarsesama mahasiswa.

Akan tetapi, persoalannya adalah bagaimana mahasiswa bisa memahami kesamaan di antara sesama manusia? Alih-alih paham akan kesamaan antarsesama mahasiswa, memahami prinsip diri sendiri saja sulit. Ini bisa terlihat dari hal-hal yang sepele, misalnya: buang sampah sembarangan, mencontek, kebiasaan copas(copy-paste), tidak jujur, dan sederet kebiasaan seringkali kita anggap sebagai “adat-kebenaran”. Sehingga jangan heran kalau nanti kasus tenar seperti korupsi akan semakin banyak bermunculan.

Era sekarang tidak seperti masa feodalisme yang mengekang kehidupan Kartini. Masa itu, ia tidak diperkenankan untuk hidup secara wajar dan akrab bersama rakyat di luar rumahnya yang dikelilingi oleh tembok besar. Namun, mengapa Kartini bisa memahami nilai-nilai humanisme dan kesetaraan kepada rakyatnya? Bahkan dalam suratnya, ia bangga disebut satu nafas dengan mereka.

Jika kita mau membaca lebih dalam buku Panggil Aku Kartini Saja,pemahaman Kartini pada rakyatnya lebih banyak dipengaruhi oleh karya-karya dari Multatuli. Tidak sedikit pula surat-suratnya yang bercerita tentang Multatuli dengan salah satu karyanya yang terkenal adalah novel yang berjudul Max Havelaar. Dan tentu, pemahaman ini tidak bisa diperoleh tanpa proses pembacaannya yang kuat pada karya-karya Multatuli.

Eduard Douwes Dekker atau dengan nama pena Multatuli (dari bahasa latin yang berarti “banyak yang sudah aku derita”) adalah  tokoh dari Belanda yang pernah bekerja sebagai asisten residen lebak. Dari karya Max Havelaar, Mulatuli berhasil mengungkap kebobrokan praktik kolonialisme Belanda pada masyarakat pribumi, sehingga menjadi pembangkit kesadaran-nasionalisme para tokoh pribumi untuk melawan.

Sejarah juga memperlihatkan adanya kesalahpahaman misi yang dibawa oleh aktor penjajah. Mereka memandang bahwa praktik kolonialisme yang dilakukan adalah misi untuk kebaikan demi kesejahteraan bangsanya. Akan tetapi, prinsip mereka tidak memahami nilai humanisme dan kesamaan antarsesama manusia, sehingga bertindak sewenang-wenang.

Multatuli adalah “tokoh pembela dari lawan” yang membawa misi humanitas. Ini dibuktikan dengan perlawananan kritiknya yang ditujukan pada bangsanya sendiri. Ia paham mana yang “benar” dan “salah”, sesuai dengan nuraninya. Begitu pula dengan Karrtini, ia paham akan penderitaan yang dirasakan oleh rakyatnya dari proses membaca dan pemahaman intuitif (hati-nuraninya).

Proses Membaca

Kita perlu belajar pada Multatuli dan Kartini. Sebagaimana pernyataan Pramoedya bahwa pemahaman nilai-nilai humanisme itu ada dengan mengenal Multatuli. Minimal mau untuk membaca. Kartini mengenal Multatuli juga dengan proses membaca. Proses pembacaan Kartini yang kuat, membentuk karakter pemahamannya pada rakyat, juga pemahaman terhadap kesetaraan dan humanisme.

Sebagaimana disampaikan dalam Quantum Reading (2015) bahwa membaca buku itu melibatkan banyak aspek: to think (berpikir), to feel (merasakan), dan juga to act (melakukan). Kebiasaan membaca inilah yang seharusnya sudah menjadi tradisi kuat pada diri setiap mahasiswa. Membaca, menulis, berdiskusi harus menjadi aktvitas dominan, baik dalam pembelajaran, maupun aktivisme pergerakan.

Karena dengan banyak berdiskusi kita memperoleh banyak perspektif baru dalam memahami karakter, sifat dan sikap dari setiap anggota diskusi. Berkumpul dengan rekan-rekan, saudara, dalam perkumpulan dialektis menjadi arena untuk memahami satu sama lain. Akan tetapi, jika hal ini tidak didukung dengan bahan bacaan yang memadari, maka perbincangan itu pun menjadi kurang bergizi, bahkan bisa terselewengkan menjadi forum ngrumpi.

Membaca saja juga tidak cukup, kita perlu berbagi dan diskusi dengan orang lain. Ada orang yang pintar, gemar membaca, tapi hanya disimpan untuk dirinya sendiri. Ada pula orang suka diskusi, banyak omong, tapi bahan yang diomongkannya kurang baik, bahkan menjadi suka ngomongin orang. Bahkan, ada pula yang tidak kedua-duanya, menjadi pendiam, tidak suka membaca, juga tidak suka diskusi.

Inilah yang menjadi penghambat bagi kita untuk bisa memahami kesamaan antarsesama mahasiswa. Keseimbangan dalam tradisi literer (membaca, menulis, dan berdiskusi) perlu dibangun dalam setiap diri mahasiswa. Minimal bisa memahami dan mengerti antarindividu sebagai mahasiswa, sehingga bisa menutup lubang kesempatan bagi tumbuhnya perasaan-perasaan minder,gengsi, dan prasangka-prasangka buruk.

Dunia mahasiswa adalah dunia yang penuh dengan kompleksitas. Jenisnya pun beragam. Ada mahasiswa yang sibuk belajar saja; ada yang sibuk dengan aktivisme kemahasiswaannya, bahkan ada pula mahasiswa berjenis hewan kupu-kupu jalan (kuliah pulang, kuliah pulang, jalan-jalan). Namun demikian, tidak sedikit yang mampu menjadi ketiga-tiganya.

Akan tetapi, apapun itu jenisnya, bagaimana kita bisa menjadi sosok-sosok seperti Kartini dan Multatuli yang memperjuangkan rakyatnya dari penindasan kekuasaan, kalau kita saja tidak paham akan kesamaan mereka sebagai sesama manusia? Alih-alih paham, membaca saja, kita pun malas.

 Duh Gusti, ampuni hamba-Mu ini..

Wallahua’alam..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun