Kita hidup di era kebebasan informasi. Semua orang bebas membuat, menyebar, dan mencari informasi. Apapun medianya, baik informasi positif maupun negatif, keduanya bergelut tanpa peduli dampak yang ditimbulkan. Informasi menjadi bahan perburuan sekaligus perdebatan yang seringkali menjadi perpecahan masyarakat, tidak jarang pula perpecahan keluarga, bahkan perpisahan dua orang kekasih. Kondisi yang demikian tentu menjadikan dunia informasi seakan jahat.
Kita juga hidup di era demokrasi digital. Apapun menjadi pikiran dan perasaan adalah sebuah kebebasan untuk disampaikan. Media utamanya tidak lain adalah media sosial atau yang lazim disebut medsos. Pikiran dan perasan adalah sebuah hak asas yang butuh saluran media dan perlindungan.
Akan tetapi, medsos melahirkan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi media ini menjadi penanda kemajuan dan menjadi sarana yang positif untuk kebermanfaatan hidup manusia. Di sisi lain, pemanfaatan medsos seringkali dihantui oleh aksi-aksi kejahatan, berupa berita bohong (hoax), tuturan kebencian, fitnah, isu-isu SARA, dan lain sebagainya.
Medsos bagaikan alatnya Doraemon yang sering dipakai Nobita untuk menjahili musuh teman-temanya. Tidak jarang, alat itu berakhir dengan “senjata makan tuan”. Alat yang seharusnya memberikan manfaat, justru berulah menjadi keonaran dan ancaman terhadap ketentraman sosial dan ketertiban masyarakat.
Sedemikian kuatnya aksi kejahatan medsos, sampai-sampai pemerintah pun ikut andil mengeluarkan kebijakan. Upaya pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) telah melakukan pemblokiran terhadap situs-situs daring yang diyakini bermuatan berita hoax, isu-isu SARA, dan radikalisme.
Bahkan, untuk membantu mengurangi arus informasi yang dapat mengancam keamanan nasional dan ketertiban masyarakat itu, pemerintah membentuk Badan Siber Nasional. Namun, apakah upaya ini mampu mengatasi akar permasalahan yang sejatinya adalah pribadi kita sendiri yang mudah sekali baper, sensitif, iri, dan segenap sifat negatif lainnya.
Keterampilan bermedia sosial sejatinya adalah kemampuan dalam literasi digital. Kemampuan ini tidak lain adalah kemampuan untuk membaca dan menulis (informasi) dengan memanfaatkan peranan bahasa dan sarana digital. Perkara informasi itu benar atau salah, baik atau buruk, adalah masalah kepribadian dan kebiasaan pembaca sendiri.
Di sinilah akar masalah itu muncul. Ketika menulis informasi negatif, mengirimnya melalui media sosial, kemudian disebarkan dan dibagikan secara berulang-ulang melalui media sosial, dengan cepat pula pandangan negatif itu tumbuh dalam pandangan umum masyarakat. Di sinilah solusi awal itu seharusnya diupayakan.
Akan lebih baik, pemahaman literasi digital ini perlu dilihat sejak langkah pertama ketika membaca informasi. Membaca informasi digital memang tidak sama dengan membaca informasi di media cetak, dibutuhkan kewaspadaan agar tidak mudah larut dan terkecoh oleh informasi negatif yang bermuatan hoax, isu SARA, fitnah, dan sebagainya.
Metafungsi
Ada tiga makna penting yang perlu dipahami ketika membaca informasi di medsos, yakni medan informasi, partisipan yang terlibat, dan sarana yang digunakan. Dalam studi Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) disebut sebagai tiga makna metafungsional. Ini adalah salah satu teori linguistik (ilmu mengenai bahasa) yang sebenarnya, menurut saya, dapat diterapkan sebagai potensi-alternatif untuk mewaspadai informasi di medsos.
Informasi yang terdapat dalam medsos ini disebut juga sebagai wacana. Adapun wacana dalam LSF adalah bahasa (baik lisan maupun tulis) yang sedang melakukan kegiatan di dalam konteks situasi dan konteks kultural (Santosa, 2011:11). Praktiknya untuk melihat konteks situasi informasi berita, pembaca perlu meninjau praktik penggunaan bahasanya.
Walaupun tidak sepenuhnya mampu mengungkap kebenaran, setidaknya kita bisa waspada dan dapat memahami informasi itu secara utuh. Makna metafungsi bahasa yang pertama adalah makna ideasional (medan). Makna ideasional adalah makna yang merepresentasikan pengalaman (eksperensial) dan logika.
Makna ideasional sederhananya adalah medan informasi yang meliputi aktivitas yang terjadi. Makna ini terealisasi dalam sistem transitivitas dan sistem klausa. Namun, lebih mudahnya pemahaman pertama ketika membaca adalah perlunya memahami medan infromasi itu, apakah ada indikasi hoax, atau isu-isu lainnya.
Makna kedua adalah makna interpersonal (pelibat). Makna ini menggambarkan partisipan yang terlibat dalam peristiwa kebahasaan. Pemahaman partisipan ini meliputi peran dari pemberi pesan (orang pertama), penerima pesan (orang kedua), ataupun orang ketiga yang dibicarakan di dalam teks (wacana berita itu).
Pemahaman interpersonal akan memperlihatkan kepada pembaca, apakah wacana tersebut ditujukan untuk pembaca atau memang secara khusus ditujukan kepada pihak tertentu. Isinya juga akan terlihat apakah itu pemberitahuan, memuji, membenarkan, atau justru menyalahkan, menghina dan seterusnya.
Makna terakhir adalah tekstual atau sarana penggunaan bahasa. Dalam telaah LSF akan direalisasikan dalam sistem temadan rema. Sederhananya, dipahami sebagai fokus informasi (tema) yang disampaikan. Pemahaman tema ini penting mengingat pesan yang disampaikan diwujudkan dalam struktur teks wacana.
Ketiga makna metafungsional tersebut adalah teori yang dikembangkan oleh M.A.K Halliday, bisa dibaca dan dipelajari lebih detail dalam bukunya (1994) yang berjudul An Introduction to Functional Grammar. Akan tetapi, aplikasi sederhananya telah digambarkan seperti penjelasan di atas, yakni berupa medan, pelibat, dan sarana.
Namun demikian, sebagai seorang muslim, perkara yang tidak kalah penting bagi kita adalah literasi digital dengan berlandaskan iqra bismirabbikal ladzi khalak.Membaca hendaknya dilandasi ‘dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan,’ yakni berlandaskan dengan ketuhanan dan sifat-sifat positif yang menyertainya. Artinya, landasan ketuhanan menjadi pijakan dalam membaca, sekaligus sebagai sarana untuk mengenal Tuhan. Landasan ini pula yang harus menjadi prinsip kewaspadaan agar tidak sembarang membagikan artikel atau berita, apakah itu bermanfaat atau justru memecah-belah persatuan?
Selain medsos, kita hendaknya juga tidak melupakan landasan informasi dari media pers yang justru lebih bertanggungjwab dan resmi. Jangan sampai kita menambah kekhawatiran para pedagagan koran eceran itu karena pelangganya sudah malas membaca dan beralih ke medsos.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H