Lazimnya sebuah lagu kebangsaan biasanya akan memberikan aura lain buat yang mendengarkannya. Aura berupa jiwa nasionalisme serta sifat patriotik yang menggelora selalu  mengiringi saat kita menyanyikannya bahkan tak jarang airmata ini berkaca-kaca melihat Merah Putih berkibar dengan gagahnya. Namun tak jarang pula, sebagian orang ada yang begitu apatis dengan lagu kebangsaan negrinya. Agak ironis memang kedengarannya.
Momen-momen saat dimana jiwa nasionalisme serta sifat patriotik begitu menggelora biasanya muncul saat "euforia kolosal" pada sebuah peristiwa yang menggugah hati dan perasaan kita.
Dalam dunia olahraga masih melekat kuat diingatan saya, saat bulir-bulir airmata pebulutangkis Susi Susanti mengalir deras diwajahnya saat diperdengarkannya lagu kebangsaan Indonesia Raya seusai pengalungan medali emas tunggal putri Olimpiade Barcelona.
Inilah medali emas pertama yang disumbangkan atlet Indonesia diajang sekelas olimpiade dan yang lebih membanggakannya lagi berhasil menyandingkan medali emas lewat nomor tunggal lainnya yaitu tunggal putra lewat Alan Budikusuma yang sekarang telah menjadi pasangan abadinya Susi Susanti.
Momen keharuan yang mendalam Susi Susanti terekam kuat lewat media televisi yang menayangkannya saat itu. Saya sendiri yang ikut menonton lewat layar kaca tak kuasa ikut "mewek", haru biru melihat seorang atlet yang berjuang dengan sekuat tenaganya berusaha mengibarkan bendera Merah Putih untuk menunjukkan pada bangsa-bangsa lain, inilah bangsaku ! Inilah negriku !
Masih didunia olahraga, momen berikutnya yang selalu membawa keharuan saat dinyanyikannya lagu Indonesia Raya adalah saat Timnas sepakbola memainkan pertandingan home-nya di stadion GBK.
Walau prestasi yang didapat sangat berbanding terbalik dengan olahraga bulutangkis, namun rasanya "koor kolosal" dari sekian puluh ribu penonton yang memadati Stadion GBK, seakan melupakan raihan-raihan buruk dari anak-anak Timnas dalam beberapa dekade ini.
Aura keharuan dari dua cabang olahraga diatas sesungguhnya punya makna yang berbeda menurut penulis.
Keharuan yang pertama (cabang bulutangkis), bisa diartikan sebagai keharuan yang mendalam karena kebanggaan merasa negrinya mampu berdiri sejajar bahkan mengungguli bangsa-bangsa yang lainnya.
Sementara itu aura keharuan yang kedua (cabang sepakbola), bisa diartikan sebagai keharuan yang didalamnya mungkin bersifat kesedihan. Kesedihan karena Timnas selalu gagal dan gagal menuai prestasi yang membanggakan hingga akhirnya selalu akrab dengan segala cibiran dan celaan yang menerpanya.
Pada akhirnya sebuah lagu kebangsaan (Indonesia Raya) mampu menyentuh relung-relung jiwa anak bangsanya yang peka dengan keadaan bangsanya yang sudah "merdeka" selama 68 tahun ini.