Mohon tunggu...
I Gusti Ngurah Krisna Dana
I Gusti Ngurah Krisna Dana Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa

Satyam Eva Jayate

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada Serentak 2024: Refleksi atas Melemahnya Demokrasi di Indonesia

28 Agustus 2024   17:41 Diperbarui: 28 Agustus 2024   17:41 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: PMJ News/Ilustrasi

Pilkada serentak 2024 menjadi sorotan penting dalam konteks demokrasi Indonesia yang terus berkembang. Di satu sisi, pilkada ini merupakan wujud nyata dari praktik demokrasi yang memberikan ruang bagi rakyat untuk memilih pemimpin daerah mereka. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa proses ini justru memperlihatkan tanda-tanda melemahnya demokrasi di Indonesia. Beberapa aspek yang patut menjadi perhatian adalah politisasi birokrasi, dinasti politik, serta lemahnya kontrol masyarakat terhadap proses pemilihan.

Politisasi Birokrasi dan Oligarki Politik

Salah satu tanda melemahnya demokrasi dalam Pilkada Serentak 2024 adalah politisasi birokrasi yang semakin kentara. Birokrasi, yang seharusnya netral dan berfungsi sebagai pelayan publik, sering kali dimanfaatkan oleh elite politik untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Dalam banyak kasus, pegawai negeri sipil (PNS) dan aparatur sipil negara (ASN) kerap dipaksa untuk mendukung kandidat tertentu yang diusung oleh partai berkuasa. Hal ini tidak hanya merusak netralitas birokrasi, tetapi juga mengurangi kualitas demokrasi karena pilihan politik rakyat menjadi terdistorsi oleh kekuasaan birokrasi yang berpihak.

Selain itu, oligarki politik menjadi fenomena yang semakin mengkhawatirkan. Ketergantungan yang berlebihan pada donatur besar atau pengusaha untuk mendanai kampanye politik telah membuat demokrasi Indonesia semakin terkekang oleh kepentingan ekonomi segelintir orang. Keterlibatan mereka dalam proses pilkada tidak hanya mempersempit ruang bagi calon independen, tetapi juga memperkuat status quo kekuasaan elit.

Selanjutnya adalah fenomena dinasti politik juga menjadi ancaman nyata bagi demokrasi Indonesia. Pilkada Serentak 2024 bukan tidak mungkin akan kembali diwarnai oleh kemunculan kandidat-kandidat yang berasal dari keluarga elite politik yang sudah lama berkuasa. 

Praktik dinasti politik ini bukan hanya mencerminkan ketidakadilan dalam akses terhadap kekuasaan, tetapi juga mengindikasikan bahwa demokrasi kita tengah menghadapi kemunduran. Ketika politik dikuasai oleh segelintir keluarga, kesempatan bagi masyarakat luas untuk berpartisipasi secara adil dalam proses politik menjadi semakin sempit.

Lebih dari itu, dinasti politik cenderung menghasilkan pemimpin yang lebih fokus pada mempertahankan kekuasaan daripada memperjuangkan kepentingan rakyat. Hal ini dapat mengakibatkan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, melainkan lebih menguntungkan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Selanjutnya, salah satu ciri utama demokrasi yang sehat adalah adanya kontrol masyarakat terhadap jalannya pemerintahan, termasuk dalam proses pemilihan pemimpin. Namun, Pilkada Serentak 2024 justru menunjukkan indikasi melemahnya kontrol dan partisipasi masyarakat dalam proses politik. Rendahnya tingkat partisipasi pemilih di berbagai daerah, yang sering kali dipengaruhi oleh ketidakpercayaan terhadap proses politik dan kandidat yang ada, mencerminkan krisis kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi.

Selain itu, lemahnya peran masyarakat sipil dan media dalam mengawasi jalannya pilkada juga menjadi catatan penting. Ketika kontrol masyarakat terhadap proses politik melemah, ruang bagi manipulasi, kecurangan, dan penyalahgunaan kekuasaan menjadi semakin terbuka lebar. Hal ini tentu saja akan berdampak pada kualitas demokrasi yang semakin menurun.

 Tantangan Demokrasi di Tengah Teknologi Informasi

Teknologi informasi dan media sosial seharusnya menjadi alat untuk memperkuat demokrasi dengan memperluas akses informasi bagi masyarakat. Namun, dalam konteks Pilkada Serentak 2024, teknologi ini justru kerap disalahgunakan untuk menyebarkan disinformasi, hoaks, dan propaganda politik yang menyesatkan. Informasi yang tidak benar dan sering kali bias ini telah mempengaruhi preferensi pemilih dan memperburuk polarisasi di masyarakat. Ketika masyarakat terjebak dalam pusaran informasi yang tidak akurat, kemampuan mereka untuk membuat keputusan yang rasional dalam proses pemilihan menjadi terganggu.

Meskipun terdapat berbagai tantangan dalam Pilkada Serentak 2024, bukan berarti tidak ada harapan untuk memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memperkuat institusi-institusi demokrasi, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), untuk memastikan proses pemilihan yang jujur dan adil. Selain itu, perlu ada upaya yang lebih serius untuk memberantas praktik politik uang dan korupsi dalam pemilihan.

Partisipasi masyarakat juga harus didorong, tidak hanya sebagai pemilih, tetapi juga sebagai pengawas proses demokrasi. Pendidikan politik yang baik, serta peran media yang lebih objektif dan independen, sangat diperlukan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya keterlibatan mereka dalam proses politik.

Pilkada Serentak 2024 seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat demokrasi, bukan malah menjadi ajang yang memperlihatkan kemundurannya. Dengan kesadaran bersama dan komitmen untuk memperbaiki sistem politik, kita dapat mewujudkan demokrasi yang lebih sehat dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun