Mohon tunggu...
I Gusti Ngurah Krisna Dana
I Gusti Ngurah Krisna Dana Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa

Satyam Eva Jayate

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menilai Kebebasan Sipil dan Ruang Demokrasi di Masa Pemerintahan Jokowi

22 Agustus 2024   20:13 Diperbarui: 22 Agustus 2024   20:13 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada saat sebuah negara merayakan demokrasi, konstitusi menjadi landasan fundamental yang menjaga keberlangsungan sistem politik yang sehat dan adil. Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi tidak hanya dipertahankan tetapi juga diperkuat. Di penghujung masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi), muncul pertanyaan yang semakin mendesak: apakah konstitusi dan demokrasi Indonesia sedang dijaga atau justru dirusak?

Konsolidasi Kekuatan di Akhir Masa Jabatan

Konsolidasi kekuatan di akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) merujuk pada upaya yang tampak untuk memperkuat kendali politiknya menjelang akhir masa jabatannya. Salah satu indikatornya adalah perdebatan mengenai kemungkinan perpanjangan masa jabatan presiden melalui amandemen UUD 1945, meskipun Jokowi secara tegas menolak ide tersebut. Isu ini menimbulkan kekhawatiran bahwa ada upaya terselubung untuk mengubah konstitusi demi mempertahankan kekuasaan.

Selain itu, dominasi koalisi pemerintah di parlemen telah memperlemah fungsi pengawasan legislatif terhadap eksekutif, membuat parlemen lebih cenderung menyetujui kebijakan pemerintah tanpa kritik berarti. Hal ini mengingatkan pada era Orde Baru, di mana lembaga legislatif seringkali hanya menjadi pendukung keputusan eksekutif.

Konsolidasi kekuatan ini juga terlihat dalam berbagai kebijakan dan tindakan pemerintah yang dianggap membatasi ruang demokrasi, seperti dalam pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja dan kriminalisasi terhadap aktivis. Konsolidasi kekuatan seperti ini berpotensi merusak prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya dijaga dengan ketat di akhir masa jabatan presiden.

Demokrasi dan Peran Parlemen

Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), peran parlemen dalam demokrasi Indonesia menjadi sorotan karena adanya kekhawatiran mengenai melemahnya fungsi pengawasan legislatif terhadap eksekutif. Di bawah dominasi koalisi pendukung pemerintah, parlemen cenderung lebih mudah menyetujui kebijakan yang diajukan oleh pemerintah tanpa perdebatan kritis yang mendalam.

Keadaan ini menyebabkan fungsi checks and balances, yang seharusnya menjadi pilar utama dalam sistem demokrasi, menjadi lemah. Parlemen seharusnya memainkan peran sebagai pengawas yang kuat terhadap tindakan eksekutif untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Namun, jika parlemen terlalu tunduk pada kehendak eksekutif, hal ini dapat menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan dan merusak mekanisme demokrasi.

Contoh nyata dari fenomena ini adalah proses pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, yang banyak dikritik karena kurangnya transparansi dan keterlibatan publik dalam proses legislasinya. Parlemen seolah-olah berfungsi sebagai "stempel" untuk kebijakan pemerintah, yang mengingatkan pada praktik di masa Orde Baru. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa demokrasi Indonesia sedang berada di persimpangan, di mana peran parlemen yang seharusnya independen dan kritis justru terancam oleh dominasi eksekutif.

Kebebasan Sipil dan Ruang Demokrasi

Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), kebebasan sipil dan ruang demokrasi menjadi isu penting yang banyak dibahas. Meskipun Jokowi dikenal sebagai presiden yang fokus pada pembangunan dan reformasi ekonomi, terdapat beberapa kekhawatiran mengenai penyempitan kebebasan sipil dan ruang demokrasi yang terjadi selama masa jabatannya.

Kebebasan sipil, termasuk kebebasan berpendapat dan berkumpul, adalah aspek penting dari demokrasi yang sehat. Namun, di bawah pemerintahan Jokowi, beberapa tindakan dianggap membatasi kebebasan tersebut. Salah satu contohnya adalah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang menuai protes besar-besaran dari berbagai elemen masyarakat. Proses pengesahan undang-undang ini dianggap tidak transparan dan cepat, yang mengakibatkan tuduhan bahwa pemerintah tidak memberikan ruang yang cukup bagi partisipasi publik dan kritik.

Selain itu, terdapat kasus kriminalisasi terhadap aktivis dan jurnalis yang mengkritik pemerintah. Misalnya, beberapa aktivis lingkungan dan jurnalis yang mengungkapkan masalah-masalah kebijakan atau penanganan isu-isu tertentu menghadapi ancaman hukum atau intimidasi. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kebebasan berpendapat dan kebebasan pers sedang terancam, yang seharusnya menjadi hak fundamental dalam sistem demokrasi.

Begitu juga dengan ruang demokrasi di era Jokowi juga mengalami perubahan signifikan. Salah satu contohnya adalah adanya upaya untuk memperkuat kontrol pemerintah terhadap organisasi masyarakat sipil dan lembaga-lembaga independen. Pemerintah telah melancarkan kebijakan yang memperketat regulasi terhadap organisasi non-pemerintah, yang dapat membatasi kemampuan mereka untuk beroperasi secara bebas dan efektif.

Pelemahan lembaga-lembaga antikorupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga merupakan isu krusial. Undang-Undang yang mengubah struktur dan kewenangan KPK pada 2019 memicu kritik karena dianggap melemahkan independensi lembaga tersebut. KPK yang dulunya memiliki kekuatan besar untuk memberantas korupsi kini menghadapi pembatasan kewenangan, yang berpotensi meningkatkan tingkat korupsi dan merusak kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan.

Secara keseluruhan, meskipun pemerintahan Jokowi telah mencatat beberapa pencapaian dalam pembangunan dan reformasi ekonomi, ada kekhawatiran yang sah mengenai penyempitan kebebasan sipil dan ruang demokrasi. Pembatasan kebebasan berpendapat, pengaturan ketat terhadap organisasi masyarakat sipil, dan pelemahan lembaga-lembaga antikorupsi dapat menandakan bahwa aspek-aspek penting dari demokrasi Indonesia sedang menghadapi tantangan. Memastikan bahwa kebebasan sipil dan ruang demokrasi tetap terjaga adalah kunci untuk menjaga kesehatan demokrasi di masa depan.

Salah satu isu yang menjadi sorotan selama masa pemerintahan Jokowi adalah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perubahan terhadap Undang-Undang KPK yang dilakukan pada 2019 dianggap sebagai langkah mundur dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK, yang dulunya merupakan lembaga independen dengan kekuatan besar untuk menindak pelaku korupsi, kini kehilangan sebagian besar kewenangannya.

Korupsi adalah salah satu ancaman terbesar bagi demokrasi. Ketika lembaga-lembaga yang bertugas memberantas korupsi dilemahkan, maka peluang bagi korupsi untuk merajalela menjadi semakin besar. Ini berdampak buruk tidak hanya pada pemerintahan yang bersih tetapi juga pada kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi itu sendiri.

Masa Depan Demokrasi Pasca-Jokowi

Dengan semakin dekatnya akhir masa jabatan Jokowi, muncul pertanyaan besar: bagaimana masa depan demokrasi Indonesia setelah Jokowi? Indonesia telah melalui berbagai tahapan dalam proses demokrasinya, dari masa transisi pasca-Orde Baru hingga kini. Namun, tantangan yang dihadapi tidak semakin mudah.

Generasi pemimpin berikutnya harus mampu menjaga dan memperkuat prinsip-prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan sejak Reformasi 1998. Mereka perlu memastikan bahwa konstitusi tetap menjadi landasan yang kokoh untuk menjaga hak-hak rakyat dan mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan di tangan eksekutif.

Di akhir masa jabatan Jokowi, konstitusi dan demokrasi Indonesia berada pada persimpangan jalan. Ada banyak capaian positif yang telah diraih, terutama dalam hal pembangunan dan reformasi ekonomi. Namun, di sisi lain, ada pula tanda-tanda kekhawatiran bahwa demokrasi dan konstitusi sedang diuji.

Dalam sistem demokrasi, kekuasaan tidak boleh dibiarkan terkonsentrasi pada satu tangan, dan konstitusi tidak boleh diubah hanya untuk kepentingan politik jangka pendek. Keberhasilan masa depan demokrasi Indonesia akan sangat ditentukan oleh bagaimana negara ini mengatasi tantangan-tantangan tersebut dan apakah para pemimpin berikutnya dapat melanjutkan perjuangan untuk demokrasi yang kuat dan konstitusi yang dihormati.

Sebagai warga negara, penting bagi kita untuk terus memantau, mengkritisi, dan berpartisipasi dalam proses politik. Demokrasi bukanlah sistem yang sempurna, tetapi dengan konstitusi yang kuat dan rakyat yang aktif, kita bisa memastikan bahwa demokrasi tetap menjadi sistem yang terbaik untuk memastikan keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan bagi semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun