Mohon tunggu...
I Gusti Ayu Agung Sonia Shafna
I Gusti Ayu Agung Sonia Shafna Mohon Tunggu... Akuntan - Accountant

Bali

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengendus Budaya Patriarki terhadap Perempuan Bali dalam Media

30 Agustus 2024   11:21 Diperbarui: 11 September 2024   10:34 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbicara mengenai Bali, kata pertama yang terlintas adalah keindahan alamnya. Memang tidak dipungkiri jika hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang berkunjung ke Bali. Namun menelisik keindahan alamnya semakin mendorong minat wisatawan untuk melihat bagaimana budaya Bali. Perayaan tradisi serta agama yang sangat mencolok semakin mengikat ketertarikan wisatawan untuk selalu datang ke Bali. 

Budaya Bali masih kental di tengah arus revolusi jaman yang semakin mengikis bahkan menggeser adat-adat lama. Namun terkhususnya budaya patriarki di Bali telah menjadi subjek yang menarik dalam berbagai berita. Budaya ini memainkan peran penting dalam mengatur peran dan posisi perempuan dalam masyarakat Bali. Perempuan di Bali sering digambarkan dalam peran domestik dan subordinat, dengan laki-laki yang memegang peran sebagai kepala keluarga dan penghasil utama. Hal ini tercermin dalam adat istiadat dan tradisi yang masih kental di Bali.

Budaya patriarki ini juga menekankan pentingnya melahirkan anak laki-laki sebagai penerus keturunan dan warisan keluarga, sehingga perempuan diharapkan untuk menikah dan memiliki anak laki-laki untuk melanjutkan tradisi keluarga. Dalam konteks media, budaya patriarki ini tercermin dalam representasi perempuan yang seringkali bersifat stereotip dan diskriminatif. Perempuan digambarkan sebagai karakter yang lemah dan tidak berdaya, sedangkan laki-laki digambarkan sebagai kuat dan berdaya. Hal ini dapat menyebabkan diskriminasi gender dan memperburuk kondisi sosial dan ekonomi perempuan

Stereotip Pernikahan

Mengambil cuitan dalam novel Tarian Bali karya Oka Rusmini yang menggambarkan ketimpangan sosial yang terjadi antara perempuan bali dengan laki-laki. Novel ini bercerita secara kompleks bagaimana kehidupan perempuan Bali dalam adat istiadat serta sistem kasta. Hal ini terlihat bagaimana kaum sudra memandang perempuan yang lahir dari kasta brahmana. Dalam sistem kasta di Bali kaum brahmana merupakan kaum yang tertinggi sedangkan kaum sudra menjadi kaum yang paling rendah. Pernikahan di Bali masi menuntut untuk perempuan bisa menikah setara, arti kata “setara” ini yaitu pihak laki-laki memiliki kasta yang sama dengan perempuan. 

Bagaimana penilaian kasta ini berlangsung? Ya tentunya ini terjadi secara turun-temurun dimana kasta didapatkan dari lahir yang sudah menjadi simbol dimasyarakat. Perempuan yang memiliki kasta tinggi sangat dilarang untuk “nyerod” menikahi pria dari kasta lebih rendah. “Telaga dibuang oleh keluarga Griya (keluarga Brahmana) dan tidak diberikan bekal apapun, ia harus meninggalkan kasta, keluarga, pelayan dan barang-barang mewah yang dimilikinya selama ini” (Luthfi, 2022) dalam Kumparan.com. 

Kutipan yang terdapat dalam novel nyata adanya dimana perempuan Bali yang memilih untuk menikah dengan kasta lebih rendah akan menerima penolakan keras dari keluarganya bahkan bisa dibuang. Budaya ini seperti menyudutkan pihak perempuan Bali untuk selalu bisa menjaga kastanya dengan konsekuensi yang tinggi. Pada hakikatnya pernikahan merupakan keputusan universal masing-masing orang baik perempuan maupun laki-laki. Namun, dalam konteks Bali, pernikahan tidak dapat dilepaskan dari adat istiadat yang telah menjadi bagian integral dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Meski menjadi pukulan besar terhadap hakikat perempuan Bali, namun tidak sedikit yang masih menghormati dan menjalani tradisi ini dengan penuh keyakinan.

Keturunan Laki-Laki

Dalam budaya patriarki tentunya anak laki-laki sangat diharapkan kehadirannya ditengah keluarga. Hal ini tidak lepas karena laki-laki akan menjadi sosok sentral dalam organisasi sosial. Perempuan Bali dituntut untuk bisa memberikan anak laki-laki yang nantinya menjadi penerus keluarga. “Anak lelaki mendapat keistimewaan (privilege) dalam keluarga adat Bali khususnya dalam pewarisan konon karena kapasitas-kapasitas yang dijalani di dalam relasi keluarga dan sosialnya” (Mantra, 2011) dalam Bale Bengong. 

Melihat kutipan ini mengapa hanya perempuan yang dituntut untuk melahirkan anak laki-laki? Bukankah masalah keturunan adalah tanggung jawab suami dan istri? Mengapa hanya perempuan yang disalahkan jika tidak bisa memberikan anak laki-laki? Tidak mengelak atas pertanyaan ini bahwa sejatinya perkara anak adalah tanggung jawab suami istri, namun hal ini tidak lantas menggembur stigma yang sudah melekat dimasyarakat bagaimana budaya patriarki ini masuk ke setiap aspek kehidupan. Perbedaan gender yang terjadi membuka celah munculnya kesenjangan antara perempuan dan laki-laki.

Kepemimpinan Perempuan Bali

Sumber mengatakan bahwa “Banyak adat budaya patriarki di Indonesia, yang mengekang hak wanita menjadi pemimpin dan memimpin” (Srik, 2022) dalam Bale Bengong. Bias gender yang terjadi dalam kepemimpinan di Bali sangatlah menyala dimana terkhusus hanya diperuntukan untuk kaum laki-laki, kemudian apakah perempuan tidak memiliki hak yang sama untuk berkesempatan memimpin? Pertanyaan ini khususnya muncul mengingat bahwa perempuan Bali tentunya memiliki potensi yang sama dengan laki-laki dalam memimpin. 

Namun tidak dipungkiri jika stigma dalam masyarakat sudah mandarah daging dengan mengangkat filosofi bahwa hanya kaum laki-laki saja yang berpotensi untuk menjadi pemimpin. Filosofi yang dipegang ini seperti meruntuhkan kesempatan perempuan Bali untuk maju, selain itu tamparan keras melihat kenyataan bahwasannya perempuan Bali dikatakan hanya menjadi “bunga natah” di rumah. Hal ini berkaitan jika nanti saatnya menikah perempuan akan menjadi hal milik dari keluarga laki-laki.

Perkembangan jaman memang ditandai dengan majunya sejulah teknologi yang mampu mempermudah pekerjaan manusia. Namun tidak dipungkiri dengan majunya jaman belum tentu mampu menggerus budaya atau adat istiadat yang memang sudah mandarah daging di tengah masyarakat. Sepertinya perkembangan ini tidak mampu menembus sisi integral masyarakat sehingga budaya yang telah dianut susah untuk dihilangkan meski nilai-nilai tersebut bertolak belakang dengan kemajuan jaman. 

Masa emansipasi Wanita telah lama dikumandangkan oleh para pahlawan, meskipun pada kenyatannya hingga saat ini bias gender masih kerap terjadi diberbagai elemen lapisan masyarakat tidak terkecuali Bali. Rangkupan diatas mengungkap tabir sisi kelam perempuan Bali yang harus tunduk dengan adanya stereotip budaya patriarki yang sudah dianut turun-temurun. Diperlukan berbagai macam upaya serta kesadaran dari berbagai pihak untuk meminimalkan stigma yang menyedihkan ini. Kesetaraan gender tentunya sudah digaungkan oleh seluruh negara di dunia, harapannya semua orang memiliki hak yang setara dalam seluruh aspek urusan ekonomi sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun