Tulisan ini kita mulai dengan sebuah pertanyaan, pernahkah kita terkicuh oleh perilaku orang yang nampaknya baik dan benar tapi sebenarnya tidak?. Hingga pada akhirnya, setelah kita memberikan segalanya, kita jatuh tersungkur dan menyesali atas apa yang telah kita berikan. Coba tanya pada diri kita, flash back, “apa persepsi kita pada saat sebelum memberikan segalanya? “. Kemungkinan besar mempunyai persepsi yang positif.
Persepsi adalah sebuah proses pemberian MAKNA pada STIMULUS yang ada disekitar kita. Makna dapat berarti nilai-nilai dan pandangan. Sedangkan stimulus dapat menjelma dalam berbagai macam bentuk mulai dari visual (gambar, foto, dll) hingga audio (suara, musik, dll). Setiap hari kita dihadapkan dengan berbagai macam stimulus, seperti TV, radio, tulisan di kompasiana, koran, Facebook, dst. Stimulus hanya tinggal stimulus dan tidak dapat dibedakan antara yang satu dan lainnya jika ia tidak diberikan makna atau arti.
Sebagai contoh, surat terbuka Tasniem Fauzia mengundang lebih dari 500 orang yang mencerca dirinya. Mengapa ini bisa terjadi ?, karena Tasniem dimaknai (dipersepsikan) sebagai ancaman bagi elektabilitas Jokowi. Cacian dan makian hanyalah sebuah bentuk eksternalisasi dari hasil memaknai surat tersebut. Oleh karena itu benda-benda dan objek disekitar hanyalah onggokan yang tak ada guna, jika kita tidak memberikan makna pada mereka – persepsi.
Mari membuka nurani dan persepsi…!
Orang seperti apa yang disenangi oleh masyarakat timur, khususnya Indonesia?. Sebagai masyarakat yang bersifat komunal (lawan dari individualistis), orang yang bersahaja dan suka bergaul dengan masyarakat, adalah orang yang mempunyai pandangan positif di kalangan masyarakat. Membangkitkan rasa suka (positif), bukan semena-mena timbul begitu saja. Pada dasarnya, ada sebuah proses kompleks yang terjadi di otak manusia dalam hitungan detik. Hingga akhirnya emosi itu timbul setelah otak memberikan makna .
Jokowi telah booming setelah menjadi media darling, karena selalu di proyeksikan sebagai seorang sosok yang bersahaja dan dekat dengan masyarakat bawah. Tapi mari kita lihat melalui kaca mata psikologi, bagaimana memproyeksikan jokowi sebagai sosok yang ahli blusukan dapat mempengaruhi emosi masyarakat indonesia. Hingga akhirnya banyak orang mau menobatkannya sebagai orang nomor satu di negeri yang telah dilanda bermacam durjana.
Stimulus nya disini adalah Jokowi (yang menjadi objek untuk dimaknai) dan nilai yang selalu dikaitkan dengan jokowi adalah dekat dengan rakyat dan bersahaja. Salah satu mekanisme otak dalam menyerap informasi adalah dengan metode asosiasi (associative method). Metode ini ditemukan secara scientific oleh seorang physiologist asal Rusia, Ivan Pavlov. Ia melakukan eksperimen dengan anjingnya. Penemuannya adalah hal yang tidak disengaja. Singkat cerita ia menemukan bahwa anjing belajar untuk mengasosiasikan antara bunyi bel dan makanan. Anjing akan menganggap bahwa begitu ada bunyi bel, maka makanan akan datang. Walaupun kenyataannya tidak selalu seperti itu. Hasil penemuan ini kemudian ditransfer ke dalam kinerja otak manusia. Rupanya ditemukan juga bahwa otak manusia menyerap informasi dengan metode asosiasi.
Oleh karena itu, dengan selalu ditampilkan di media bahwa jokowi adalah tipe orang yang sederhana dan dekat dengan masyarakat bawah, adalah sebuah penerapan metode asosiasi dengan tujuan menimbulkan emosi yang positif pada Jokowi. Konsekuensi yang diharapkan adalah jokowi dipilih sebagai RI 1.
Tapi tidak cukup sampai disitu, peng-asosiasian tersebut pun akan dapat berjalan dengan efektif ketika ia terus di expose berkepanjangan ke dalam kepala manusia. Inilah yang membuat otak semakin “percaya” bahwa informasi tersebut memang benar adanya.
Mengkampanyekan bahwa jokowi adalah seorang sosok yang memang sederhana dan bersahaja, tentu saja bukan sebuah tindakan yang selamanya benar. Otak manusia ketika di bombardir terus-menerus dengan sebuah informasi, walaupun informasi itu tidak benar. Maka otak akan percaya bahwa hal itu adalah kebenaran. Inilah salah satu kelemahan kinerja otak dalam menyerap informasi. Tapi bukan berarti manusia tidak punya kendali atas hal itu.
Mengapa tuhan menciptakan demikian ? agar memudahkan manusia untuk tetap bertahan hidup semenjak lahir hingga dewasa. Anak yang baru terlahir tidak mungkin berpikir keras dan mencerna hal-hal rumit yang bersifat logik. Karena segala sesuatu yang dimilikinya masih lemah, termasuk seonggok protein di balik tempurungnya (baca-otak). Oleh karena itu, otak diciptakan dengan setelannya (hukum alam - natural law), cukup dengan melihat beberapa kali , maka otak dapat merekam,mengenali, dan memahami informasi tersebut. Hukum alam otak ini masih tetap terus terbawa hingga akhir hayat.
Kelakuan alamiah otak ini dapat dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan bisnis, iklan, bahkan politik sekalipun. Inilah yang terjadi dengan sosok jokowi, dimana para tim sukses mempermainkan prinsip kerja alamiah otak dengan membombardir otak masyarakat indonesia dengan gambaran bahwa jokowi adalah sosok yang layak untuk dijadikan pemimpin.
Kita telah memahami sedikitnya bagaimana sebuah persepsi itu dibangun, maka kita harus segera sadar bahwa jika informasi selalu diberitakan hal yang positifnya saja, maka hal itu perlu diwaspadai. Ada sebuah indikasi dimana telah terjadi sebuah proses penggiringan opini publik; agar jokowi dapat diterima dengan emosi yang positif yang berawal dari persepsi. Dengan tujuan akhir, jokowi dipersepsikan dan dipilih untuk dijadikan presiden. Dalam mencerna informasi yang baik, kita harus berani membuka diri sendiri untuk melihat sisi lain dari seorang jokowi. Bukan hanya satu sisi positif yang selalu ditampilkan media-media saja.
Jika jokowi selama ini hanya diproyeksikan sebagai sosok yang sederhana dan tidak menghambur-hamburkan uang. Pernahkah kita mendengar berita bahwa jokowi duduk disebuah pesawat jet pribadi bersama anis baswedan yang harga sewanya mencapai ratusan juta per hari ?. Pernahkah kita melihat dan mendengar bahwa pembuatan video, yang di dalamnya jokowi makan dengan orang tua, telah menghabiskan dana ratusan juta juga?. Tentunya hal ini tidak pernah diberitakan secara masal. Karena ia akan mendongkrak persepsi banyak kalangan.
Mungkin tidak semua dari kita pernah duduk di kelas psikologi. Tapi setidaknya mulai detik ini kita telah sedikit memahami cara otak kita bekerja dalam mencerna informasi. Semoga kita semua memahai arti penting persepsi. Sekali lagi saya katakan, bahwa yang terpenting dalam memenangkan pemilu bukan pencoblosannya tapi mempermainkan persepsi masyarakatnya. Pencoblosan hanyalah akibat dari sebuah sebab (mempunyai persepsi yang positif terhadap calonnya).
Jika tulisan ini sedikit menyentuh persepsi anda, maka segeralah kita mengatakan pada diri kita "Wahai jiwa dan otak yang terlelap, bangunlah...!".
Lalu tanyakan pada diri sendiri: “Benarkah persepsi saya telah tergiring ?” .
Jika kita masih tetap sulit untuk terjaga, maka tanyalah pada kerabat dan kawan disekitar kita, "Benarkan Jokowi telah menggiring opini publik, termasuk diri kita ?".
Jika teman kita masih tetap tidak bisa menjawab. Maka tanyalah hati nurani anda. Tapi jika hati nurani tidak juga bisa memberikan jawaban, maka angkatlah bendera setengah tiang. Sebagai tanda atas kematian hati nurani anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H