Courtesy of ngakekia.deviantart.com
Lampu-lampu jalan mulai redup. Cahaya mentari tak begitu lama bertengger di angkasa bebas. Angin terasa mulai menjalar disetiap permukaan kulit. Seorang pria nampak terseok-seok membawa kopernya yang baru saja turun dari pesawat. Mukanya memancarkan rasa senang, gembira, dan excited yang tak tertahankan ketika menyaksikan butiran-butiran salju terjun bebas dari langit untuk pertama kali dalam hidupnya.
Udara dingin menyapanya secara perlahan seakan hendak berkawan dengan pria itu, ketika pesawat yang ia tumpangi tujuan jakarta-toronto mulai mendarat di pearson international airport. Perasaan gembira benar-benar memenuhi setiap rongga dadanya. Ia masih tak percaya ketika kakinya ia tapakan pada ibu kota negara bagian ontario itu. Udara dingin mulai ia nikmati. Ia hirup napasnya dalam-dalam, sedalam sumur yang pernah ia lihat di kampungnya dulu dimana ia tumbuh menjadi seorang remaja dewasa. Baginya terasa mimpi, karena ia selalu berkhayal untuk dapat sampai ke negeri daun maple itu. Mimpi yang selalu ada dalam setiap lipatan benaknya ketika ia berada di tengah-tengah sawah bersama 2 ekor kerbau warisan sang alharhum ayahanda.
“Assalamulaikum”, suaranya ia coba salurkan melalui telepon umum. Ia genggam erat-erat gagang telepon sambil menahan dingin yang mulai meraba kulit dadanya.
“Walaikumsalam”, jawab seorang perempuan di seberang sana.
“Aku baru mendarat di toronto sayangggggggg...........”, ia mencoba membagikan kesenangan yang tak pernah terjadi sebelumnya, kepada seorang wanita yang menanti kabar darinya semenjak pesawat membawanya melayang ke angkasa dari bandara soekarno hatta.
“Wah...pasti kamu seneng yah disana liat salju...”, balas suara perempuan itu dengan nada yang benar-benar sumringah.
“Aa, nanti kalo kesini bawain salju yah buat miri”, pinta perempuan itu sambil merengek-rengek manja yang rindu akan belaian tanganya, yang selalu ia dapatkan sebelum memejamkan mata ketika malam mulai merengkuh.
“Iya, nanti aku bawain buat kamu...spesial buat istriku tercinta...tentunya buat anak kita juga”, pria itu menjawab penuh dengan kasih sayang. Hingga miri merasa menjadi wanita yang paling dimanja sejagad raya. Benar-benar pria yang mengerti perasaan betina, eh wanita.
“Gimana kamu bawainnya nanti, a ?”, jawab miri yang semakin penasaran sekaligus menguji kesetian suaminya itu.
“Nanti aku masukin dalam termos kecil terus aku bungkus pake plastik, dimasukin dalam ransel terus aku gulung nanti pake daun maple”, jawab pria itu. Sebuah tanda dalamnya rasa cinta yang ia punya pada wanita yang selalu merasa dirinya chubby, sekalipun cermin berkata tidak. Karena cermin tidak pernah berdusta.
****
Ia nampak letih setelah melakukan penerbangan lebih dari 20 jam. Sesampainya di hotel, ia rendamkan tubuhnya di dalam air panas yang kembali memberikan kekuatan untuk dapat melanjutkan cita-cita utamanya untuk meraih gelar Doktor. Jilatan-jilatan air disetiap pori-pori kulitnya, membuatnya merasa semakin tenang dan mendapatkan kekuatan baru setelah melayang bebas diangkasa dalam waktu yang cukup lama. Aroma di sekitar tempat tinggalnya itu memberikan nuansa romantis dan agak sedikit berbeda. Ia teringat akan sesosok wajah istrinya yang lembut dan manis walaupun agak sedikit berminyak ketika cahaya lampu remang-remang mulai menyentuh. Ia merasa sepi. Benar-benar sepi. Kota kecil yang ia sambangi kini seperti kota mati. Tak banyak orang lalu lalang, yang ada hanya volume salju yang semakin bertambah. Gumpalan-gumpalan salju yang turun secara perlahan memberikan pemandangan yang membuatnya takjub. Apalagi di tambah dengan cahaya-cahaya lampu jalan yang remang-remang. Ia rebahkan dirinya di atas kasur yang empuk. Spring bed yang besar. Warnanya putih. Bed cover yang masih harum mengingatkan ia akan aroma tubuh sang miri. Ia menatap ke kanan dan ke kiri yang ada hanya tembok-tembok yang menjadi temannya yang bisu. Andaikan miri ada disisinya mungkin suasanya akan berbeda. Mungkin dingin tak lagi merangkulnya hingga larut malam.
“Aa, kapan kamu selesai studi nya disana ?”, miri menyapanya dengan nada penuh harapan.
“Miri sayang....aku berusaha sekuat tenaga agar aku bisa selesaikan studi ku ini secepatnya...agar kita bisa sama-sama lagi”, ungkap pria itu sambil menahan rasa rindunya yang semakin hebat menyesakkan setiap sudut dadanya yang agak sedikit berbulu.
“Nanti anak kita mau dikasih nama siapa yah ?”, tanya miri yang mulai bingung mencari nama yang bisa terdegar cihuyyy dikalangan orang-orang indonesia.
“Siapa yah.......hmhmhm....aku juga belum ada ide.”,jawab lelaki yang baru saja menikahinya sekitar 2 bulan sebelum keberangkatanya ke kanada demi sebuah gelar PhD.
“Pokoknya aku mau anak kita, kayak bapaknya nanti...pinter, ganteng, hitam manis, penuh jiwa seni, dan romantiss...sss...ssss..”, suara miri yang mulai terdengar kagum terhadap suaminya itu.
“Siapa dulu dong bapaknya gituh lohhhh.....DISEGANI PRIA DICARI WANITA”, tandasnya cepat.
“Aggh...kamu buat aku cemburu aja sich aa ?...disana jangan nakal yah...matanya dijaga, jangan suka melototin yang blonde-blonde atau yang brunet-brunet lo”, tukas miri yang merasa takut kehilangan dan teringat ketika dulu harus bersaing dengan mantan kekasih suaminya, Dinita Melani Anggoro.
“Sayang...aku akan buat anak kita suatu saat nanti bangga akan ayahnya yang akan meraih gelar doktor....begitu dia lahir aku akan berada disisinya...lalu aku sematkan beberapa nama-nama sang pujangga kelas atas yang pernah aku pelajari dulu. Dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk dapat mendampingimu ketika melahirkan anak pertama kita, sayang”, pria itu mencoba mencoba menguatkan kepercayaan sang istri, sambil berusaha menahan tusukan-tusukan jarum kangen yang semakin membahana disetiap rongga dadanya.
“Aku jadi inget dulu...dinita pernah bilang sama aku : Biarlah kita menjadi karang di tengah lautan, asal jangan menjadi ilalang diantara bunga-bunga”, kutip lelaki yang sangat suka menulis cerpen dan kata-kata filosofis itu.
“Kok kamu sebut-sebut dinita sih, aa ?”, miri terasa di bakar api asmara yang membuatnya menjadi cemburu. Mendengar nama dinita seperti mendengar gelegar halilintar yang tak kunjung putus selama 1.5 jam.
“Kalo itu memang bagus, yah kenapa ngga kita ambil, miri ?...maksudnya biarlah kita terpisah untuk sementara waktu walaupun rasanya memang susah, tapi layaknya karang semakin di terpa ombak maka ia akan semakin kuat....begitu juga dengan kita, semakin kita diuji maka kita akan semakin kuat...dan jangan pernah menjadi ilalang yang selalu bersama bunga-bunga indah di taman, walau kita selalu bersama dan nampak indah tapi kita tak pernah diuji, sekali cobaan besar datang maka kita akan mudah musnah dan tergulung oleh permasalahan yang ada...seperti ilalang ia akan hilang untuk selamanya ketika ditebas dan dicabut akarnya dari taman oleh tukan kebun”, pria itu mulai mengeluarkan jurus-jurus gombal rayuannya untuk meyakinkan sang istri yang semakin jablai- jarang dibelai.
“Udah ah....aku pokoknya ngga sudi...kalo kamu sebut-sebut lagi nama Dinita Melani Anggoro mantan pacarmu dulu....ih namanya kayak yang pernah ada di kasus KPK”, cibir miri agak sedikit jengkel.
“Emang nya kamu masih ada perasaan yah sama dia ??”, tiba-tiba suara istrinya terputus dan hilang. Mugkin hilang tenggelam diantara salju-salju yang semakin menumpuk dihalaman hotelnya. Pria itu lalu teranjak. Kaget, merasa sang istri marah besar.
“Astagaa...aku mimpi”, pukul 02.03 dini hari. Jarum jam masih tetap berdetak. Saling berkejaran. Hingga akhirnya ia benamkan lagi kepalanya diantara bantal-bantal yang menjadi teman tidurnya malam itu.
***
Musim dingin masih saja menyisakan percikan-percikan angin yang benar-benar terasa menguliti kulitnya yang sudah mulai kering. Beberapa bulan tinggal di negeri itu menjadikan rasa rindunya semakin terasa sakit dan menusuk-nusuk hingga ke lubuk sanubari. Ia coba selipkan dan benamkan rasa rindunya dalam-dalam agar tak lagi muncul ke permukaan. Hari-harinya ia habiskan melakukan penelitian. Ketika malam datang ia pandangi wajah sang istri yang agak sedikit fotogenik terpampang di meja belajarnya. Kini ia nantikan berita yang benar-benar menggembirakan. Ia menunggu kelahiran sang buah hati yang masih berada nyaman dan tak terusik di dalam rahim sang perempuan yang ia sunting beberapa bulan yang lalu.
“Miri....gimana hamil kamu ? Aku kangen banget nih...mau liat kamu, sekalian menunggu anak kita lahir”, suaranya ia ungkapkan lewat skype yang menjadi media utama untuk menjembatani rasa rindu yang semakin menggila.
“Iya aa, kata dokter aku akan melahirkan sekitar kurang lebih 3 minggu lagi...doain aku yah aa...walaupun kayaknya kamu ngga akan ada di sisiku”, nada miri penuh harapan yang terdengar agak sedikit sunyi dan membatin.
“Pastinya donk....aku doain kamu...aku ngga sabar nih mau ngeliat anak kita dan aku udah siapin nama yang bagus...tapi besok aku akan kasih tau kamu yah”, jawab pria itu mencoba menggembirakan hati sang istri.
****
Dari dalam kamarnya tak nampak lagi aspal-aspal jalanan. Yang ada hanya hamparan warna putih di setiap permukaan jalan. Satu dua orang sesekali nampak dari jendela kamarnya yang sudah dipenuhi salju hingga tak mengizinkan untuk mempunyai pandangan jelas ke arah luar. Diantara rasa dingin yang mencekam dan kesendirian yang selalu menghampirinya di setiap detik. Pria itu mencoba menghadirkan bayang-bayang wajah mantan ke kasihnya, Dinita Melani Anggoro, yang kini telah menjalin hubungan asmara dengan seorang expatriat kelahiran sumenep. Ia kini berdomisili di Taiwan sekaligus menjadi produser radioppidunia,Wijaya Mangkulangit Taieu.
Pria itu kini menerawang jauh menembus langit-langit kamar tinggalnya. Lalu tangannya merogoh tas kuliahnya dan mengeluarkan sebuah buku karangan Kahlil Gibran, Sang Nabi . Tiap lembaran-lembaran buku itu menyimpan berbagai kenangan manis dan pahit ketika pria itu sedang berada dipelukan Dinita Melani Anggoro. Walau kini mereka telah terpisah, tapi pria itu selalu menyimpan buku yang penuh dengan kata-kata manis dari sang pujangga kelahiran libanon itu, Kahlil Gibran. Ia buka halaman buku itu dengan acak hingga akhirnya ia terbawa pada sebuah halaman yang tertulis
“Anak-anakmu datang melalui kamu tapi bukan dari kamu”. Baris sajak itu membawa pikiranya melesat jauh terbang menembus angkasa teringat calon buah hati, hingga ia benar-benar sadar bahwa dirinya akan menjadi seorang ayah dalam hitungan minggu. Pria itu tersenyum sendiri, bangga pada dirinya, dan tak sabar untuk memberitahukan nama untuk anaknya kepada sang istri.
Suara bunyi kecil menyelinap ke telinganya pertanda ada sebuah message di Yahoo Messengger nya yang masuk. Feelingnya benar-benar tersambung. Dinita tiba-tiba masuk menenggurnya setelah bertahun-tahun menghilang semenjak ia menikahi miri.
“Hallo, apa kabar ?”, Dinita mulai menyapa sambil diakhiri dengan simbol :). Ia merasa kaget karena selama ini dinita tak pernah hadir dalam hidupnya kecuali hanya dalam fantasinya yang agak sedikit nakal.
“Kabar ku baik”, jawabnya kembali melalui yahoo messengger.
“Aku sekarang sedang di rumah sakit...menemani istri kamu melahirkan”, sambung dinita.
Tusssssss. Tiba-tiba koneksi internet pria itu terputus. Belum lagi ia sempat membalas. Sebuah tulisan bertuliskan “You are offline” sudah lagi muncul di halaman screen komputernya. Hatinya senang bukan kepalang mendengar sang buah hati baru saja terlahir ke dunia.
“Aku menjadi ayah”,ucap pria itu pada dirinya yang terkurung dalam kamar yang sepi. Sambil bersukur yang sebesar besarnya pada tuhan.
Ia belum sempat memberikan nama untuk anaknya kepada miri. Tapi ia tetap bertanya di dalam benaknya kenapa dinita tiba-tiba hadir dan memberikan kabar bahwa ia bersama sang istrinya. Ada apa ? Kenapa Dinita muncul ? Untuk apa ia ada disana ?. Perasaanya berkecamuk dan bercampur aduk. Persis seperti semen yang diaduk-aduk dengan pasir dan teringat seperti adukan make-up dinita yang amburadul ketika mereka masih menjadi sepasang sejoli. Itu dulu. Beberapa tahun yang lalu.
Hari semakin larut. Koneksi internet tetap tak dapat tersambung. Hari diluar semakin dingin. Perasaan pria itu memuncah. Senang bukan kepalang. Tersenyum sendirian di dalam kamar dan hanya mendapat balasan permukaan tembok yang tetap datar dan tak ada gelombang. Ia terlelap di atas tempat tidurnya menggengam buku dari mantan kekasihnya itu. Ia terjaga ketika malam baru saja mengganti hari. Tubuhnya dingin. Lupa menggunakan selimut tebal yang masih terlipat rapih di tempat tidurnya. Laptopnya masih menyala, lalu ia hampiri.
“You are connected”, begitu simbol yang ada di monitor laptopnya. Pertanda koneksi internetnya kembali normal. Ia klik sebuah offline message di Yahoo messengger nya
“Aku sekarang di rumah sakit...istri kamu melahirkan anak perempuan...tapi sepertinya tuhan lebih sayang dengannya...anak itu kembali dipanggil oleh yang Kuasa”, bait-bait baris offline message yang dinita kirimkan membuatnya terperanjat seperti dihempaskan dari lantai teratas menara tertinggi di dunia, Al-buruj. Air matanya tak terasa tumpah mengalir membasahi kulit wajahnya. Ia scroll lagi ke bawah pesan di offline message yang ia terima dari mantan kekasihnya itu.
“Dua setengah jam kemudian...miri juga dipanggil menghadap sang pencipta”, hatinya benar-benar remuk. Seremuk kaca yang terhempas dan hancur berkeping-keping. Buku karya Kahlil Gibran masih tergeletak di atas kasur. Dinginya salju masih tetap merambat disetiap tembok kamarnya. Malam semakin larut. Jarum jam masih tetap berdetak dan terhenti di angka 2.03 dini hari ketika ia angkat wajahnya yang menyimpan jutaan kesedihan. Kesedihan yang masih tetap terdiam disudut kamar.
Kanada
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H