BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) telah muncul sebagai kekuatan ekonomi alternatif yang menantang dominasi ekonomi Barat.
Dibentuk pada awal abad ke-21, BRICS bertujuan untuk menciptakan sistem ekonomi yang lebih inklusif dan adil, yang memprioritaskan kepentingan negara-negara berkembang.
Dalam konteks ini, keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS di bawah pemerintahan Prabowo menjadi sorotan penting dalam politik internasional.
Langkah ini bukan hanya mencerminkan pragmatisme ekonomi tetapi juga membawa implikasi ideologis yang signifikan.
Sebagai negara dengan sistem ekonomi campuran, Indonesia dihadapkan pada dinamika antara dua ideologi ekonomi besar: kapitalisme yang didukung oleh negara-negara Barat dan sosialisme yang menjadi inti dari beberapa anggota BRICS.
Artikel ini membahas latar belakang kebijakan tersebut, posisi Indonesia dalam pertarungan ideologi ekonomi, dan dampaknya terhadap masa depan ekonomi global.
BRICS sebagai Antitesis Ekonomi Barat
BRICS dibentuk dengan tujuan utama untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS dan institusi ekonomi internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, yang didominasi oleh negara-negara Barat.
Ideologi ekonomi BRICS berakar pada prinsip kolektivisme, solidaritas antarnegara berkembang, dan upaya untuk menciptakan tatanan ekonomi multipolar.Â
Salah satu inisiatif utama BRICS adalah pendirian New Development Bank (NDB), yang menawarkan alternatif pendanaan bagi proyek-proyek infrastruktur tanpa persyaratan ketat seperti yang diberlakukan oleh IMF.