Mohon tunggu...
Igon Nusuki
Igon Nusuki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Akademisi MD UGM

Saya berkomitmen untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dapat memberikan dampak positif dan berkontribusi pada kemajuan Indonesia melalui aktifitas menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi diantara Tuduhan Korupsi dan Kejahatan Terorganisir oleh Dunia Internasional

2 Januari 2025   10:15 Diperbarui: 3 Januari 2025   15:56 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah hiruk-pikuk kemajuan yang terus digembar-gemborkan, Indonesia kembali menjadi sorotan dunia internasional.

Kali ini, laporan dari Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) memunculkan nama mantan Presiden Joko Widodo sebagai salah satu pemimpin dunia yang korup.

Tidak ada yang lebih ironis daripada negara yang katanya sedang menuju "Indonesia Maju" justru mendapat penghargaan tidak resmi sebagai sarangnya para koruptor.

Artikel ini bertujuan untuk menyajikan kritik tajam dan sarkastis terhadap situasi ini, menggali realitas pahit yang menyelimuti negeri tercinta ini.

(Sumber: News.detik.com)
(Sumber: News.detik.com)

"Anti-Korupsi" di Era Jokowi: Mitos atau Fakta?

Ketika Jokowi pertama kali terpilih sebagai presiden 2014, ia diusung serta di citrakan sebagai simbol perubahan.

Seorang pria sederhana dan baik hati dari Solo yang membawa harapan bagi rakyat. Namun, harapan itu perlahan memudar, digerus oleh kenyataan.

Di bawah pemerintahannya, banyak keputusan kontroversial diambil, mulai dari pelemahan KPK hingga penunjukan pejabat dengan latar belakang bermasalah.

Terus, kita diharapkan tetap percaya bahwa ini adalah "era anti-korupsi." Ironis, bukan?

Jokowi (kiri), Wiliam Ruto (atas tengah), Hasina (bawah kiri), Bola Ahmed Tinubu (atas kanan) dan Gautam Adani (kanan bawah). Foto: Repro Seskab
Jokowi (kiri), Wiliam Ruto (atas tengah), Hasina (bawah kiri), Bola Ahmed Tinubu (atas kanan) dan Gautam Adani (kanan bawah). Foto: Repro Seskab

Salah satu kasus yang menjadi perdebatan ialah pengangkatan HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung. Seorang figur yang memiliki hubungan erat dengan partai politik besar, tentu saja, "demi profesionalisme."

Dan jangan lupakan drama pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri, yang sempat ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK sebelum "ajaibnya" dibebaskan. Sebuah keajaiban hukum yang hanya mungkin terjadi di negeri ini.

OCCRP dan Metodologi-nya

Infografis: Fakta.com/Bhimo Bhirawa dan Putut Pramudiko 
Infografis: Fakta.com/Bhimo Bhirawa dan Putut Pramudiko 

Laporan OCCRP mungkin tidak sempurna, tetapi setidaknya mereka memiliki keberanian untuk mengatakan sesuatu yang tidak ingin kita dengar. Mereka menilai Jokowi berdasarkan polling online.

Tentu, metode ini bisa dikritik, tetapi mari kita akui, bahkan tanpa laporan inipun, aroma korupsi sudah menyengat di setiap sudut negeri.

Jadi, apakah benar kita perlu dan harus terlalu sibuk mempertanyakan metodologi dari lembaga ini, atau kita harus mulai membersihkan rumah sendiri yang sudah lama dikotori oleh para pejabat tidak bertanggungjawab serta tidak bermoral itu.

Kemajuan yang Membanggakan?

Mari kita lihat apa yang disebut "kemajuan" di era Jokowi. Infrastruktur? Luar biasa, tetapi siapa yang sebenarnya diuntungkan? Berapa banyak proyek yang didanai oleh utang luar negeri, dengan bunga yang terus menumpuk? 

Dan, lebih penting lagi, berapa banyak pejabat yang mungkin mendapatkan "bonus" dari setiap proyek? Kita tidak bicara tentang konstruksi jembatan; kita bicara tentang konstruksi sistem yang melanggengkan korupsi.

Infrastruktur besar-besaran seperti jalan tol dan bandara memang tampak megah, tetapi siapa yang benar-benar menikmatinya? Rakyat kecil yang hanya bisa mengagumi dari kejauhan, atau korporasi besar yang mendapatkan konsesi?

Ingan! Orang-orang yang kurang beruntung seperti anda dan saya beserta jutaan masyarakat miskin lain, itu hanya sanggu beli tiket bus kalau berpergian jauh atau pulang kampung.

Jangan lupa juga, biaya tol yang terus naik sering kali tidak sebanding dengan kualitas layanan yang diberikan.

Tapi, tenang saja, kita selalu diberitahu bahwa ini adalah "pengorbanan untuk kemajuan dan kecintaan kita pada negeri ini."

Sementara itu, utang luar negeri terus membengkak. Dalam skema besar "kemajuan," rakyat Indonesia yang harus menanggung beban pajak untuk melunasi utang tersebut. Apakah ini yang disebut kemajuan? Mungkin kemajuan hanya relevan bagi mereka yang mendapatkan tender proyek. 

Jangan heran jika kita menemukan pejabat yang mendadak kaya raya setelah proyek selesai. Tentu saja, semua itu "kebetulan belaka, bukan korupsi ya, anda diam saja, bairkan mereka menikmati kekayaan instannya itu."

Di sisi lain, ada fenomena "lip service" dalam pengentasan kemiskinan. Anggaran besar dialokasikan, tetapi dampaknya sering kali tidak terlihat. Program-program bantuan sosial penuh dengan potensi korupsi, dari pengadaan hingga distribusi.

Siapa yang diuntungkan? Mungkin bukan rakyat kecil, melainkan segelintir oknum yang pandai "berinovasi" dalam memanfaatkan celah sistem, apa ya itu namanya? Bukan korupsi kayanya.

Realitas Korupsi di Akar Rumput

Korupsi di Indonesia bukan hanya tentang pejabat tinggi. Ini merupakan penyakit yang sudah mendarah daging hingga ke level paling bawah. Mulai dari pungutan liar di sekolah hingga suap untuk mendapatkan pekerjaan, korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Tapi jangan khawatir, pemerintah terus mengingatkan kita bahwa "Indonesia Maju" adalah tujuan kita semua. Maju ke mana? Lalu siapa yang harus bertanggungjawab? Itu pertanyaannya.

Ironi lainnya ialah pemberantasan korupsi sering kali menjadi ajang pencitraan. Operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan, tetapi pelakunya sering kali hanya "ikan kecil."

Sementara "hiu besar" tetap bebas berenang di lautan kekuasaan. Publik disuguhkan drama penangkapan, tetapi jarang sekali melihat tindak lanjut yang berarti. Apakah ini yang dimaksud dengan "komitmen anti-korupsi?"

Tanggapan Jokowi: "Buktikan!"

Sumber: Demokrazy.id
Sumber: Demokrazy.id

Presiden Jokowi menanggapi laporan OCCRP dengan tantangan: "Buktikan!" Sebuah pernyataan yang terdengar heroik, tetapi sebenarnya mengandung sarkasme tersendiri. Apakah publik harus mengumpulkan bukti korupsi, sementara sistem hukum seringkali tidak memihak mereka?

Kita semua tahu bagaimana proses hukum bekerja di negara ini: lambat, birokratis "berbelit-belit", dan seringkali berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan atau uang.

Pernyataan ini juga mencerminkan realitas yang lebih dalam: kurangnya akuntabilitas di tingkat tertinggi pemerintahan.

Bukankah seharusnya pemerintah yang bertanggung jawab untuk membuktikan bahwa mereka bersih, bukan rakyat yang harus membuktikan bahwa mereka kotor? Tapi, tentu saja, dalam dunia politik, logika sering kali tidak berlaku.

Ah sial, bagi mereka kita hanya sekumpulan orang bodoh yang harus diam dan nonton saja atau bahkan kita hanya dianggap numpang tinggal di negeri mereka, iya mereka para begundal yang menguasai negeri ini.

Anda dan saya yang hidup dalam kemalangan ini, jika tidak puas dan tidak mau nurut dengan cara mereka, pindah saja, jangan tinggal di Indonesia. Ah sialan, ini buakan sial lagi, tapi terlalu SIAL.

Kesialan ini mungkin karena nenek moyang kita bukan siapa-siapa sejak dulu jadi kita keturunannya dianggap numpang. Kapan kita jadi pemilik rumah bernama Indonesia ini?

Ah tidak, kita juga pemilik, mereka saja yang sok berkuasa atas kita, anda dan saya adalah KITA. Jadi kita akan tunjukan, Indonesia ini rumah kita bersama, bukan hanya mereka.

Demokrasi yang "Hidup"

Salah satu hal yang terus dibanggakan di era Jokowi ialah "demokrasi yang hidup."

Namun, demokrasi macam apa yang membungkam kritik dengan undang-undang ITE? Demokrasi yang menuntut warganya karena unggahan di media sosial?

Jika ini adalah definisi "hidup," maka demokrasi kita mungkin sudah di ambang koma.

Ironisnya, pemerintah sering kali menggunakan narasi "stabilitas nasional" untuk membenarkan tindakan represif.

Kritik dianggap sebagai ancaman, bukan masukan. Akibatnya, ruang publik semakin menyempit, dan rakyat semakin takut untuk bersuara.

Ilustrasi: Pukat UGM meragukan komitmen Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno dalam memberantas korupsi. (Sumber: jawapos.com) 
Ilustrasi: Pukat UGM meragukan komitmen Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno dalam memberantas korupsi. (Sumber: jawapos.com) 

Apa kita lupa sudah berapa kali sinya internet diturunkan atau di batasi kamarin-kemarin? 

Saya tidak akan lupa dengan peristiwa-peristiwa besar ini, peristiwa yang merenggut kebebasan saya dan seluruh warga negara Republik Indonesia "bangsa Indonesia."

Ya tentu saja, ini masalah besar bagi sebuah bangsa yang tegas mengatakan: KEBEBASAN IYALAH HAK SEGALA BANGSA!

Jika ini adalah arah demokrasi kita, maka mungkin sudah saatnya kita mencari definisi baru "kembali pada makna demokrasi yang sebenarnya, yaitu: liberte/kebebasan, egalite/kesetaraan, fraternite/persaudaraan." 

Kembalikan kebebasan kita sebagai warga negara republik dan bangsa yang merdeka, biarkan kita hidup setara di negeri ini, apabila kita memang bersaudara karena ibu pertiwi.


Kritik Internasional: Ancaman atau Kesempatan?

Laporan OCCRP seharusnya menjadi cermin, bukan ancaman. Namun, pemerintah dan pendukung fanatiknya seringkali merespons dengan defensif, seolah-olah kritik dari luar adalah konspirasi untuk menjatuhkan Indonesia "mudah-mudahan yang baru ini, tidak."

Padahal, ini adalah kesempatan untuk memperbaiki diri. Tetapi, tentu saja, lebih mudah untuk menyalahkan orang lain daripada mengakui kesalahan sendiri "mental pecundang dan semoga kita tidak begitu."

Respons ini juga mencerminkan mentalitas yang lebih luas, yaitu; ketidakmampuan untuk menerima kritik. Dalam dunia yang semakin terhubung, reputasi internasional merupakan aset berharga dalam diplomasi. 

Tetapi jika kita terus-menerus menyangkal masalah, maka reputasi itu akan semakin kokoh, dan bangsa kita akan di anggap sebagai bangsa yang tidak bisa belajar serta bergaul dengan negeri lain.

Bukankah lebih baik menggunakan kritik sebagai bahan evaluasi daripada sebagai alasan untuk bermain sebagai korban?

Kesimpulan: Sebuah Refleksi Pahit

Jokowi mungkin bukan satu-satunya pemimpin yang harus disorot dalam isu korupsi, tetapi namanya muncul dalam laporan OCCRP merupakan tamparan keras bagi citra pemerintahannya.

Korupsi adalah realitas yang tidak dapat diabaikan, dan laporan ini seharusnya menjadi pengingat bahwa "Indonesia Maju" tidak akan pernah tercapai tanpa pembersihan besar-besaran di semua level pemerintahan.

Pada akhirnya, artikel ini bukan hanya tentang Jokowi atau OCCRP. Ini adalah tentang kita semua: rakyat yang terlalu sering DIAM, sistem yang terlalu sering kompromi, dan negara yang terlalu sering lupa pada cita-cita pendirinya. 

Jika kita ingin benar-benar maju, mungkin saatnya berhenti menaruh harapan pada sosok "pahlawan," karena mereka semua sudah gugur demi memberi hidup yang layak bagi kita generasi baru.

Kita harus mulai membangun sistem yang tidak memberi ruang terhadap tindak korupsi bagi siapa pun yang berkuasa atau memimpin negeri tercinta ini.

Referensi

CNBC Indonesia. (2023, May 9). Nasib kuil infrastruktur Jokowi, 30% anggarannya dikorupsi. Retrieved from https://www.cnbcindonesia.com

Hukumonline. (2021). Menyoal fenomena pungli di sektor pelayanan publik. Retrieved from https://www.hukumonline.com

Human Rights Watch. (2022). Indonesia's Internet Blackouts and Free Speech Challenges in Jokowi's Era. Retrieved from https://www.hrw.org

ICW. (2021). Suap dan pungli jadi modus korupsi terbanyak pelayanan publik. Antara News. Retrieved from https://www.antaranews.com

Inilah.com. (n.d.). Utang dan korupsi saling berkejaran di era Jokowi. Retrieved from https://www.inilah.com

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2023). Mengenal tiga jenis korupsi berdasarkan skala dan paparannya. Retrieved from https://aclc.kpk.go.id

Medcom.id. (2024). Jokowi masuk nominasi pemimpin terkorup 2024 versi OCCRP. Retrieved from https://www.medcom.id

Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). (2024). Most Corrupt Leaders 2024: A critical view on governance worldwide. Retrieved from https://www.occrp.org/https://www.occrp.org/en/person-of-the-year/bashar-al-assad

Transparency International Indonesia. (2023). Indeks Persepsi Korupsi 2023: Tren Korupsi di Asia Tenggara. Retrieved from https://www.transparency.org

Universitas Widya Mataram. (n.d.). Prof. Edy: Infrastruktur Jokowi mengesankan, tapi utang dan korupsi membayangi. Retrieved from https://new.widyamataram.ac.id

Wikipedia. (n.d.). Pembatasan penggunaan internet di Indonesia 2019. Retrieved from https://id.wikipedia.org

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). (n.d.). Pembatasan akses internet: Kebijakan, batasan, dan dampaknya. Retrieved from https://ylbhi.or.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun