Mohon tunggu...
Igon Nusuki
Igon Nusuki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Akademisi MD UGM

Saya berkomitmen untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dapat memberikan dampak positif dan berkontribusi pada kemajuan Indonesia melalui aktifitas menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Refleksi Hari Ibu: Peran Ibu dalam Diskursus Gender

24 Desember 2024   00:04 Diperbarui: 25 Desember 2024   00:22 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Ibu di Indonesia, yang diperingati setiap 22 Desember, memiliki makna yang lebih dari sekadar ungkapan kasih sayang kepada para ibu. Perayaan ini berakar pada Kongres Perempuan Indonesia pertama yang berlangsung pada tahun 1928 di Yogyakarta. Kongres tersebut bukan hanya sekadar pertemuan, melainkan momentum penting bagi perempuan Indonesia untuk memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk kesetaraan dalam pendidikan, politik, dan peran sosial. Hari Ibu pada awalnya dirancang sebagai simbol perjuangan perempuan untuk membebaskan diri dari keterbatasan yang diciptakan oleh sistem patriarki.

Namun, seiring berjalannya waktu, makna Hari Ibu sering kali mengalami penyempitan. Banyak masyarakat yang hanya memaknainya sebagai hari penghormatan tradisional kepada ibu dalam lingkup domestik. Pemaknaan ini sering kali mengabaikan esensi sejarahnya sebagai bagian dari perjuangan gender. Dalam konteks modern, Hari Ibu perlu dilihat tidak hanya sebagai bentuk penghormatan, tetapi juga sebagai refleksi kritis terhadap peran ibu dalam berbagai dinamika sosial dan gender.

Dalam diskursus gender, ibu memiliki peran yang lebih luas dibandingkan sekadar menjadi pengasuh dan penjaga keluarga. Mereka juga memiliki posisi strategis sebagai penggerak perubahan sosial. Sebagai individu yang mendidik generasi penerus, ibu memiliki potensi besar untuk menanamkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender. Artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana peran ibu diposisikan dalam narasi budaya, tantangan yang mereka hadapi dalam dunia kontemporer, dan bagaimana ibu dapat menjadi agen penting dalam mewujudkan kesetaraan gender.

Sejarah dan Representasi Ibu dalam Diskursus Gender

Hari Ibu di Indonesia lahir dari semangat perjuangan perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dalam pendidikan, politik, dan hak-hak sipil. Kongres Perempuan Indonesia pertama pada tahun 1928 menjadi tonggak sejarah penting dalam menegaskan posisi perempuan dalam masyarakat. Kongres ini menyuarakan pentingnya perempuan untuk mendapatkan akses pendidikan yang setara dan peran aktif dalam membangun bangsa. Namun, dalam perjalanan sejarah, makna perjuangan ini sering kali bergeser menjadi penghormatan seremonial kepada peran ibu dalam lingkup domestik.

Dalam budaya tradisional Indonesia, ibu seringkali diposisikan sebagai "tiang negara," sebuah metafora yang mencerminkan ekspektasi besar terhadap peran mereka dalam menjaga stabilitas keluarga. Narasi ini menempatkan ibu sebagai penjaga nilai-nilai moral dan tradisional yang menjadi fondasi keluarga. Di sisi lain, peran ini juga sering kali terjebak dalam sistem patriarki yang membatasi ruang gerak ibu dalam kehidupan publik. Perempuan yang memilih untuk berkarier atau terlibat aktif dalam masyarakat sering kali menghadapi stigma sosial karena dianggap mengabaikan peran domestik mereka.

Namun, dalam wacana modern, peran ibu mulai mengalami perubahan yang signifikan. Ibu tidak lagi dipandang semata-mata sebagai penjaga rumah tangga, tetapi juga sebagai individu yang memiliki kontribusi penting dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam dunia kerja, banyak ibu yang kini berperan sebagai tulang punggung ekonomi keluarga. Di ranah pendidikan, ibu berperan dalam mendidik anak-anak menjadi generasi yang lebih peka terhadap ketidaksetaraan gender. Di bidang politik, ibu yang aktif dapat menjadi inspirasi bagi perempuan lain untuk turut serta dalam pengambilan keputusan yang berdampak luas.

Transformasi ini menunjukkan bahwa peran ibu tidaklah statis. Dalam konteks yang terus berkembang, ibu memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan sosial. Namun, tantangan yang dihadapi tetap ada, termasuk tekanan dari ekspektasi tradisional dan keterbatasan dukungan dari masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada perubahan narasi tentang peran ibu agar mereka dapat menjalankan peran yang lebih inklusif dan setara.

Peran Ibu dalam Tantangan Gender Kontemporer

Di era modern, ibu menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Beban ganda atau double burden menjadi isu utama, di mana ibu harus menyeimbangkan peran domestik dengan tanggung jawab profesional. Dalam konteks masyarakat Indonesia, ekspektasi sosial masih cenderung memprioritaskan peran ibu sebagai pengasuh utama, meskipun banyak ibu kini juga menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.

Beban ganda ini tidak hanya melibatkan waktu, tetapi juga energi emosional yang terkuras akibat tuntutan untuk "sempurna" di kedua peran tersebut. Ibu sering kali diharapkan mampu menjalankan tanggung jawab rumah tangga dengan baik, mendidik anak, sekaligus sukses dalam karier mereka. Harapan yang berlebihan ini dapat memengaruhi kesehatan mental ibu, termasuk munculnya stres dan rasa bersalah karena merasa tidak mampu memenuhi standar yang tinggi tersebut.

Selain itu, ibu sering kali berada di garis depan dalam mendidik anak-anak untuk menjadi generasi yang lebih peka terhadap isu-isu kesetaraan gender. Dalam banyak keluarga, ibu memainkan peran utama dalam memberikan nilai-nilai kepada anak-anak mereka. Namun, tanpa dukungan yang memadai dari pasangan, keluarga besar, maupun lingkungan sosial, tanggung jawab ini menjadi beban yang berat. Dukungan dari pasangan, baik dalam bentuk pembagian tugas domestik maupun dukungan emosional, sangat diperlukan untuk menciptakan keseimbangan yang sehat bagi ibu.

Pekerjaan domestik yang dianggap "tak terlihat" juga menambah kompleksitas tantangan ini. Dalam banyak kasus, kontribusi ibu dalam pengasuhan dan pekerjaan rumah tidak mendapatkan pengakuan yang setara dengan pekerjaan profesional yang dilakukan di luar rumah. Pandangan masyarakat yang masih memandang pekerjaan domestik sebagai tugas "alami" perempuan turut memperkuat beban yang mereka tanggung.

Selain itu, ibu menghadapi tantangan diskriminasi gender dalam dunia kerja. Banyak ibu yang mengalami hambatan dalam pengembangan karier karena anggapan bahwa peran domestik mereka mengurangi kemampuan atau komitmen di tempat kerja. Kebijakan perusahaan yang tidak ramah keluarga, seperti kurangnya fleksibilitas waktu kerja atau cuti melahirkan yang memadai, juga menjadi penghalang bagi ibu untuk mengoptimalkan peran profesional mereka.

Namun, di tengah tantangan ini, banyak ibu yang menunjukkan ketangguhan luar biasa. Mereka tidak hanya mampu mengelola rumah tangga, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan di tempat kerja dan masyarakat. Dengan pengakuan yang tepat, ibu dapat menjadi teladan bagi generasi mendatang dalam menunjukkan bahwa peran domestik dan profesional dapat berjalan berdampingan.

Diskusi: Narasi Baru tentang Ibu dalam Gender Equality

Menciptakan narasi baru tentang ibu memerlukan pendekatan yang inklusif dan progresif. Narasi ini harus mengakui bahwa peran ibu tidak terbatas pada pengasuhan dan domestikasi, tetapi juga sebagai individu dengan potensi besar untuk berkontribusi dalam masyarakat.

Salah satu langkah penting adalah mendorong konsep berbagi tanggung jawab dalam keluarga, di mana peran pengasuhan anak dan pekerjaan domestik tidak hanya menjadi beban ibu, tetapi juga tanggung jawab bersama dengan pasangan. Dengan pembagian tugas yang adil, ibu dapat memiliki lebih banyak waktu dan energi untuk mengembangkan diri, baik secara profesional maupun pribadi. Hal ini juga membantu menciptakan model keluarga yang lebih setara, di mana anak-anak dapat belajar pentingnya kolaborasi dan tanggung jawab bersama.

Perspektif feminisme memberikan pandangan bahwa ibu memiliki hak untuk mengejar karier dan aspirasi pribadi tanpa kehilangan identitas sebagai pengasuh. Masyarakat perlu memahami bahwa ibu memiliki hak untuk memilih peran yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka, tanpa terikat pada norma-norma sosial yang membatasi.

Pendidikan gender sejak dini juga memainkan peran penting dalam membentuk generasi yang lebih memahami kesetaraan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan pembagian tugas yang adil cenderung lebih menghargai peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Selain itu, program pendidikan dan kampanye kesadaran tentang kesetaraan gender dapat membantu mengurangi stigma yang sering kali melekat pada ibu yang memilih jalur profesional atau sebaliknya.

Dengan mengubah narasi ini, masyarakat dapat memberikan ruang yang lebih luas bagi ibu untuk berkembang tanpa tekanan dari ekspektasi sosial yang kaku. Selain itu, lingkungan kerja yang lebih inklusif, seperti fleksibilitas waktu kerja dan cuti parental yang setara, juga dapat memberikan dampak besar dalam mendukung ibu untuk menjalankan peran mereka secara lebih seimbang.

Refleksi dan Rekomendasi

Hari Ibu seharusnya dimaknai sebagai momen refleksi yang mendalam tentang peran ibu dalam masyarakat, bukan hanya sebagai perayaan seremonial. Peran ibu yang sering dianggap sebagai simbol pengorbanan dan keteladanan dalam keluarga perlu dipandang lebih jauh sebagai agen perubahan yang berdaya. Ibu bukan hanya sebagai individu yang merawat dan mendidik anak, tetapi juga sebagai pilar yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan sosial-ekonomi keluarga, bahkan bangsa. Oleh karena itu, Hari Ibu seharusnya menjadi momen untuk menilai sejauh mana masyarakat menghargai dan memberikan kesempatan yang setara bagi ibu dalam berbagai aspek kehidupan, baik itu dalam dunia kerja, pendidikan, maupun dalam ranah sosial.

Dalam konteks ini, peran pemerintah dan organisasi masyarakat sangat penting untuk menciptakan kebijakan yang mendukung keseimbangan peran antara pekerjaan dan keluarga. Salah satu langkah yang perlu diambil adalah dengan mengimplementasikan kebijakan cuti parental yang inklusif, yang tidak hanya memberikan kesempatan bagi ibu, tetapi juga bagi ayah untuk berbagi tanggung jawab dalam merawat anak. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi tekanan yang sering dialami oleh ibu untuk menjalankan peran ganda, yaitu sebagai pekerja sekaligus sebagai ibu rumah tangga. Selain itu, fleksibilitas kerja menjadi hal yang penting agar ibu dapat menjalankan kewajibannya di rumah dan di tempat kerja tanpa merasa terbebani.

Selain itu, program pendidikan gender yang menekankan pada kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan perlu ditingkatkan. Kampanye kesadaran tentang pentingnya berbagi tanggung jawab domestik, seperti dalam merawat anak dan pekerjaan rumah tangga, juga dapat memberikan dampak yang besar dalam menciptakan kesetaraan gender. Dengan pendekatan ini, Hari Ibu dapat menjadi lebih dari sekadar perayaan, tetapi sebagai ajakan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan seimbang.

Kesimpulan

Peran ibu dalam diskursus gender adalah topik yang kompleks dan penuh tantangan. Di satu sisi, ibu dihadapkan pada ekspektasi tradisional, sementara di sisi lain, mereka memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan. Hari Ibu dapat menjadi momen penting untuk merenungkan bagaimana kita, sebagai masyarakat, dapat mendukung ibu dalam mewujudkan peran yang lebih setara dan inklusif.

Dengan mengubah narasi tentang peran ibu, kita tidak hanya menghormati jasa mereka, tetapi juga membuka jalan menuju masyarakat yang lebih adil dan setara. Mari kita maknai Hari Ibu sebagai momentum perjuangan bersama untuk kesetaraan gender.

Referensi

Agustinus, A. (2024, Desember 23). Melawan Bayang-bayang Patriarki, Menghormati Peran Ibu yang Tak Tergantikan. Kompasiana.

Benera, L. (2003). Gender, development, and globalization: Economics as if all people mattered. Routledge.

Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Desa, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Bantul. (2024, Desember 23). Hari Ibu, Bagaimana Sebenarnya Kiprah Perempuan di Indonesia? Bantulkab.go.id.

Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. (2024, Desember 23). Pendidikan, Gender, dan Kesetaraan. Filsafat.ugm.ac.id.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. (2016, Desember 22). Peringatan Hari Ibu, Yohana: Peran dan Kontribusi Perempuan Tidak Dapat Dipungkiri Lagi. Setkab.go.id.

Waring, M. (1988). If women counted: A new feminist economics. Harper & Row.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun