Mohon tunggu...
Igon Nusuki
Igon Nusuki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Akademisi MD UGM

Saya adalah mahasiswa pascasarjana di Universitas Gadjah Mada. Berkomitmen untuk mengembangkan pengetahuan yang dapat memberikan dampak positif, serta berkontribusi pada kemajuan Indonesia melalui karya tulis juga inovasi praktis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kepemimpinan Jender dalam Berbagai Organisasi: Pendekatan Sosial dan Budaya

17 Desember 2024   04:45 Diperbarui: 17 Desember 2024   04:45 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari perspektif sosial dan budaya, ini mencerminkan pengaruh budaya patriarki yang masih mendalam dalam banyak masyarakat. Dalam budaya patriarki, pemimpin secara tradisional dipandang sebagai figur laki-laki yang dominan, sementara perempuan sering kali dianggap lebih cocok untuk peran pendukung atau pengasuh. Oleh karena itu, perempuan sering kali dibatasi oleh norma yang menilai mereka tidak cukup kuat atau kompeten untuk memegang posisi kepemimpinan yang strategis. Budaya ini telah mengakar di banyak sistem sosial, mulai dari keluarga, tempat kerja, hingga struktur pemerintahan, yang memperburuk kesenjangan dalam hal kepemimpinan.

Meski banyak negara dan organisasi telah mengimplementasikan kebijakan afirmatif untuk meningkatkan representasi perempuan dalam politik dan pemerintahan, penerapannya sering kali terhambat oleh norma sosial yang sudah mendalam. Norma-norma ini terus membatasi perempuan dalam mencapai kesetaraan jender dalam dunia politik dan pemerintahan.

Tantangan dalam Sektor Swasta: Hambatan Sosial dan Budaya dalam Organisasi

Di sektor swasta, tantangan yang dihadapi perempuan juga cukup besar, meskipun dalam bentuk yang sedikit berbeda. Salah satu tantangan utama di sektor swasta adalah kurangnya akses perempuan ke jaringan profesional yang kuat. Jaringan ini sering kali berperan penting dalam memberi kesempatan untuk promosi atau kesempatan kerja di posisi puncak. Dalam banyak kasus, jaringan tersebut masih didominasi oleh laki-laki, yang secara tidak langsung menghambat perkembangan karier perempuan. Selain itu, budaya kerja yang tidak fleksibel dan menuntut komitmen penuh waktu menjadi hambatan bagi perempuan yang harus mengelola tanggung jawab keluarga dan pekerjaan.

Laporan dari Catalyst (2021) menyebutkan bahwa meskipun lebih banyak perempuan yang masuk ke dunia kerja, hanya sekitar 29% dari posisi eksekutif di perusahaan-perusahaan besar Fortune 500 yang dipegang oleh perempuan. Ini menunjukkan bahwa kesenjangan jender dalam posisi kepemimpinan di sektor swasta masih signifikan, meskipun ada upaya dari beberapa perusahaan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif.

Hambatan ini, dari perspektif sosial dan budaya, terkait erat dengan peran tradisional perempuan sebagai pengasuh dalam keluarga. Dalam banyak budaya, perempuan masih dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas urusan rumah tangga, sementara laki-laki dianggap lebih cocok untuk mengejar karier profesional. Dengan budaya kerja yang kurang fleksibel dan menuntut jam kerja panjang, perempuan sering kali harus memilih antara keluarga dan karier, yang sering kali membuat mereka harus mengorbankan peluang untuk naik ke posisi lebih tinggi. Selain itu, fenomena "glass ceiling" atau langit kaca, yang menghalangi perempuan untuk naik ke posisi eksekutif meskipun mereka memiliki kemampuan yang setara, mencerminkan bagaimana struktur kekuasaan yang ada dalam organisasi sangat dipengaruhi oleh norma-norma sosial yang mendalam.

Reformasi Kebijakan dan Perubahan Budaya: Perspektif Sosbud untuk Kepemimpinan Inklusif

Untuk mengatasi tantangan ini, reformasi kebijakan dan perubahan budaya sangat diperlukan. Di sektor publik, kebijakan afirmatif dan program pelatihan kepemimpinan bagi perempuan merupakan langkah awal yang efektif untuk membuka lebih banyak peluang bagi perempuan. Di sektor swasta, perusahaan harus menciptakan kebijakan yang mendukung fleksibilitas, seperti kebijakan kerja dari rumah atau jam kerja yang lebih fleksibel, agar perempuan dapat mengimbangi tanggung jawab pekerjaan dan keluarga.

Namun, perubahan yang lebih mendalam harus dilakukan di level budaya. Organisasi perlu memandang kesetaraan jender sebagai nilai yang esensial, bukan hanya sebagai kewajiban atau tugas yang dipaksakan. Untuk mencapai hal ini, dibutuhkan pendekatan yang lebih holistik, termasuk edukasi tentang kesetaraan jender yang harus dimulai dari usia dini dan diperkuat di tempat kerja. Pemahaman yang lebih baik tentang kontribusi yang dapat diberikan oleh pemimpin perempuan dapat membuka peluang bagi terciptanya lingkungan yang lebih inklusif. Oleh karena itu, perubahan budaya yang menyeluruh dan partisipatif akan menjadi kunci dalam mencapai kepemimpinan yang inklusif dan menghasilkan kinerja yang lebih baik di sektor publik maupun swasta.

Kesimpulan

Kepemimpinan jender memainkan peran yang sangat penting dalam menciptakan organisasi yang inovatif, inklusif, dan berkelanjutan. Meskipun ada banyak kemajuan yang dicapai dalam hal kesetaraan jender dalam kepemimpinan, tantangan besar berupa stereotip, hambatan struktural, dan bias budaya masih menjadi penghalang bagi perempuan untuk mencapai posisi puncak dalam organisasi. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih besar, baik dari sektor publik, swasta, maupun masyarakat, untuk menciptakan kebijakan yang mendukung, serta melakukan perubahan budaya yang dapat membuka ruang bagi perempuan untuk menunjukkan kemampuan kepemimpinannya secara maksimal. Dengan langkah-langkah ini, kita dapat berharap menciptakan dunia kerja yang lebih setara dan inklusif, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan berkembang, tanpa terhambat oleh bias jender.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun