Mohon tunggu...
Igon Nusuki
Igon Nusuki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Akademisi MD UGM

Saya berkomitmen untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dapat memberikan dampak positif serta berkontribusi pada kemajuan Indonesia melalui aktifitas menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Agenda Perubahan atau Kebohongan?

14 Desember 2024   11:11 Diperbarui: 14 Desember 2024   06:41 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Gambar: Kampanye Penuh Janji dan Tanpa Hasil (Sumber: Igon Nusuki))

"Perubahan adalah satu-satunya yang abadi," kata filsuf Heraklitos, yang mengingatkan kita bahwa perubahan adalah esensial dalam kehidupan manusia. Namun, dalam konteks politik, khususnya dalam kampanye pasangan calon (paslon) pada setiap pemilihan, kata "perubahan" sering kali berubah makna. Ia bukan lagi simbol transformasi nyata, melainkan janji yang seringkali berakhir sebagai angin lalu, tanpa hasil yang kongkret. Perubahan dalam slogan kampanye paslon kini lebih sering dilihat sebagai retorika kosong untuk meraih suara. Pertanyaan yang muncul adalah apakah ini benar-benar agenda perubahan yang dimaksud, atau sekadar taktik manipulatif untuk meraih kemenangan dalam pemilu?

Slogan Hebat, Realita Minim

Sering sekali klaim besar tentang perubahan yang dibawa oleh paslon bertentangan dengan rekam jejak mereka. Para kandidat mungkin berteriak tentang reformasi tata kelola pemerintahan dan perubahan struktural, namun bukti-bukti nyata dari program-program tersebut sangat langka. Misalnya, janji untuk meningkatkan kualitas pendidikan atau pelayanan kesehatan yang sering muncul dalam kampanye tidak disertai dengan perencanaan yang jelas atau alokasi anggaran yang memadai. Perubahan yang mereka maksudkan terkadang hanya sebatas kosmetik---seperti mengganti warna cat gedung kantor atau melakukan rotasi pejabat tanpa memperbaiki sistem secara mendasar. Ketika hal ini terjadi berulang kali, masyarakat menjadi skeptis terhadap makna sejati dari perubahan yang dijanjikan.

Konsep perubahan kehilangan arah karena tidak diikuti dengan kebijakan yang jelas dan terukur. Janji-janji manis yang terdengar dalam orasi kampanye terlampau sering hanya bertujuan untuk menarik simpati pemilih, tanpa ada rencana implementasi yang jelas. Tanpa komitmen nyata untuk perubahan, seluruh argumen paslon menjadi kabur dan kehilangan substansinya. Ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah mereka benar-benar ingin membawa perubahan, atau hanya menjual harapan palsu?

Seni Menjual Mimpi

Dalam dunia politik, kata "perubahan" sering kali digunakan sebagai alat pemasaran yang efektif. Siapa yang tidak mendambakan perubahan? Ketidakpuasan terhadap kondisi yang ada membuat janji perubahan begitu menggoda. Namun, inilah jebakannya: perubahan sebagai konsep yang sangat abstrak memberi ruang bagi para politisi untuk menjanjikan hal-hal besar tanpa harus memberikan bukti atau solusi yang nyata. Pemilih menjadi konsumen utama dalam permainan ini, disuguhi janji-janji yang lebih fantastis daripada harapan akan hadiah undian berhadiah.

Namun, meski sering kali dikecewakan oleh janji-janji kosong, masyarakat tampaknya terus percaya. Mereka terperangkap dalam retorika dan harapan kosong yang sulit dipertanyakan. Hal ini menunjukkan bahwa pemilih sering kali gagal untuk memeriksa latar belakang atau kelayakan janji yang ditawarkan. Bukannya menuntut pertanggungjawaban atau kejelasan, banyak pemilih yang terjebak dalam euforia kampanye tanpa memahami implikasi praktis dari janji-janji tersebut. Ini menciptakan siklus yang terus berulang, di mana janji kosong menjadi bagian dari strategi politik yang diterima tanpa banyak pertanyaan.

Pemilih: Korban atau Pelaku?

Apakah seluruh kesalahan terletak pada paslon yang berjanji? Sebagian besar memang iya. Namun, sebagai pemilih, kita pun memiliki tanggung jawab yang tidak kalah besar. Dalam kegembiraan kampanye, kita sering kali lupa untuk mengkritisi dan meneliti fakta-fakta yang ada. Janji-janji yang terdengar meyakinkan sering kali menutupi kurangnya substansi, dan retorika yang memikat bisa membuat kita terbuai oleh harapan semu.

Sebagai contoh, seorang calon mungkin berjanji untuk membangun rumah sakit baru di setiap kecamatan. Meskipun rencana ini terdengar luar biasa, saat ditanyakan tentang detail implementasi atau sumber dana yang akan digunakan, jawaban yang diberikan hanya senyum penuh keyakinan dan ungkapan klise "nanti kita atur." Ketika kita tidak kritis terhadap janji-janji tersebut, kita secara tidak langsung memperpanjang siklus janji kosong ini. Sebagai pemilih, kita harus memiliki kesadaran dan keinginan untuk menggali lebih dalam mengenai janji yang ditawarkan, bukan hanya menerima kata-kata tanpa adanya jaminan konkrit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun