Para sesepuh jaman dulu memang banyak yang sudah mempunyai keyakinan bahwa Bala Tentara Jepang tidak akan lama-lama di Nusantara karena adanya Ramalan Jayabaya. Ramalan itu menyebutkan akan ada 'Tentara Kate' berkulit kuning yang datang, namun hanya seumur jagung.
Akan tetapi Kuseri keras kepala, Ia tetap pada pendiriannya. Sebabnya, Kuseri sudah berkordinasi dengan simpul-simpul perlawanan PETA di daerah lain, termasuk yang paling terkenal adalah Pemberotakan PETA di Blitar yang dipimpin oleh Daidancho Supriyadi. Kuseri satu pendidikan dengan Supriyadi juga Syudanco Yasir hadibroto saat berada di Kasikang Gakko Cimahi
Jiwa Kuseri juga terketuk kala menyaksikan kekejaman Jepang yang terhadap rakyat. Banyak warga desa yang dijadikan Romusha (pekerja paksa) dan tidak kembali lagi. Kuseri juga tak rela saat wanita-wanita pribumi dijadikan pemuas nafsu tentara Jepang sebagai Jugun Ianfu yang lokalisasinya berada di belakang Kantor Kempetai Cilacap.
Tindak-tanduk negara yang mengaku 'Saudara Tua' itu sangat menggangu hati Budancho Kuseri. Terlebih, Ia kerap mengawal Shidokang, tentara asli Jepang sehingga menyaksikan langsung tindakan semena-mena mereka.
Kemudian, keyakinan akan perlawanan itu juga didorong oleh banyak berita yang berhasil disadap dari Radio Amerika dan Australia yang menyiarkan bahwa Jepang sudah mulai terdesak pasca penyerangan Pearl Harbour dan Amerika Serikat akhirnya bergabung ke Sekutu.
Akhirnya, perlawanan itu pun dimulai pada 21 April 1945. Budancho Kuseri meminta bantuan Syodancho Yasir untuk menyiapkan meriam yang bisa ditembakkan ke arah Kota Cilacap. Malam harinya, prajurit PETA yang bergabung dengan Budancho Kuseri berjumlah 215 tentara, mulai bergerak.
Budancho Kuseri dibantu oleh Darman, Soekir, Soewab, Wasiroen, Hadi, Marsan, Anwari, Mardiyono, Saryono, Sarjono, Oedi, Wirjo Soekarto, Taswan, Djemiran dan Soehoed, Masiroen dalam mengkoordinasikan pasukan perlawanan. Mereka juga didukung oleh tentara PETA dari Daidan lain di Banyumas meski tidak berada dalam satu garis komando koordinasi. Selain itu, perlawanan Kuseri juga dibantu oleh ulama, di antaranya, Kyai Bugel, Kyai Juhdi dari Rawalo dan Kyai Muhamad Sidiq dari Banjarnegara.
Mereka berhasil merampas persenjataan di gudang dan mulai melakukan perlawanan. Sasaran pertama adalah markas Keibitai (penjagaan pantai) yang terletak di sekitar Bukit Srandil. Targetnya, setelah markas tersebut dikuasai, Kuseri bermaksud mengajak Batalyon PETA Kroya yang dipimpin Daidancho Soedirman untuk bergabung dan melakukan pemberontakan yang lebih besar.
Namun, gerak mereka langsung tercium ditambah kurangnya koordinasi dan perlengkapan, perlawanan Budancho Kuseri hanya berlangsung singkat. Jepang mengerahkan kekuatan penuh untuk memadamkan perlawanan Kuseri. Pertahanan mereka di Desa Selarang diobrak-abrik, kemudian mundur ke Desa Kedondong dan masuk Hutan Jati karena didesak terus oleh Jepang.
Perlawanan Kuseri dan rekan-rekannya pun patah, Kuseri berhasil meloloskan diri ke Desa Adipala. Namun tak lama kemudian ditangkap dan bersama 18 rekannya dipenjarakan di Jakarta.