Mengenang Eyang Sodriyah
Sodriyah, namanya sederhana, pendek. Aku memanggilnya Eyang Putri atau Eyang Wadon atau Eyang Jadi Wadon (Jadi, merujuk dari Eyang Kakung, namanya Ahmad Sujadi). Btw, Eyang kadang disimpelkan jadi 'Yang', romantis yaa... hihi.
Beliau, Yang aku itu, anak kedua dari tujuh bersaudara bani Ahmad Ghozali (Mbah Buyut Jali). Yang Wadon melahirkan ibuku, anak pertama. Aku anak pertama dari ibuku, alias cucu pertama. Jadi, mahfum kalau aku paling disayang yaa.. hehe.
Masa kecilku sebagian besar di tempat eyang. Sebab, pas masih bayi, saat ibuku ngajar, aku dititipkan ke eyang. Katanya kecilnya aku lucu, imut, cerewet, pinter... tapi suka sakit-sakitan sehingga agak rewel dan kalau nangis sampai tidak bunyi. Untuk biar bunyi lagi, katanya aku dicelupkan ke bak air.. abis dicelup, bunyi lagi nangisnya... nggak tahu tuh metode dari mana, aku juga nggak inget momen itu, jadi ya percaya aja..
Aku juga sering sesak nafas, batuk. Eyang putri yang sering membuatkanku 'tibar' semacam ramuan dari berbagai macam rempah. Selain untuk obat juga penangkal sawan atau tolak bala.
Pas sudah sekolah dasar, sekolahku pun dekat dengan Rumah Eyang sehingga kalau pulang aku mampir dulu sambil menunggu ibu selesai ngajar. Ktemu lagi sama eyang.
Biasanya eyang masak besar karena anaknya banyak. Paling berkesan adalah saat kita makan bersama di tampah (nampan bundar dari bambu), nasi dan lauk pauk jadi sata di situ dan kita duduk melingkar.
Menunya sederhana, yaitu, nasi, kadangkala nasi jagung, ikan asin, sambal dan lalap daun singkong (ini yang tidak pernah ketinggalan), urab, oseng sayur 1 atau 2 macam, kadangkala tahu, tempe atau telor dadar.
Jadi, bayi sampai jaman aku SD, ya seringnya ke rumah eyang ini. Makanya, aku kenyang dimasakin, diobatin, diceritain, dinasehatin sama yang-yang ku.