Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kali Ilang Kedunge antara Ramalan Jayabaya dan Degradasi Lingkungan

18 September 2023   12:34 Diperbarui: 18 September 2023   13:27 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu suasana di Bioskop Misbar, Taman Kota Purbalingga menjadi hangat. Ada puluhan pemerhati lingkungan lintas komunitas di kota itu ngobrol gayeng pada gelaran diskusi bertajuk 'Kali Ilang Kedunge'. Hal itu menyorot fenomena degradasi lingkungan dan kekeringan yang masif terjadi di Purbalingga akhir-akhir ini.

"Diskusi ini terselenggara karena kepedulian kita adanya kasus kekeringan yang meluas akhir-akhir ini," kata penggagas acara Kris Hartoyo Yahya dari Forum Purbalingga Hijau pada diskusi yang berlangsung Minggu malam (17/09/2023).

Kekeringan yang meluas, kata Tokoh Tionghoa yang akbrab dipanggil Kris Hauw itu, ditengarai karena adanya degradasi lingkungan yang terjadi. Menurutnya, kerusakan alam tentu akan berdampak berbagai bencana, pada musim penghujan semakin mudah banjir dan longsor, jika musim kemarau mudah kekeringan. Hal ini, kata dia, perlu menjadi kepedulian bersama.

Tema diskusi 'Kali Ilang Kedunge' menyitir ramalan Prabu Jayabaya, Raja Kadiri pada abad 12. Ia memprediksi dengan kewaskitaanya bahwa masa depan akan datang kehancuran di mana salah satu ciri-cirinya, Kali Ilang Kedunge, yang artinya kurang lebih "sungai yang kehilangan lubuknya".

Peserta Diskusi Kali Ilang Kedunge (Dok. Panitia)
Peserta Diskusi Kali Ilang Kedunge (Dok. Panitia)

Perwakilan Perhimpunan Pegiat Alam (PPA) Gasda Gunanto menyampaikan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) per 16 September 2023 yang menyebut bahwa kekeringan terjadi pada 58 desa di 13 kecamatan. Artinya kekeringan hampir terjadi di setiap kecamatan yang ada di Purbalingga.

BPBD dan lintas organisasi / komunitas telah menyalurkan 583 tangki air  setara dengan 2.680.000 liter air untuk 1937 KK yang terdampak dengan jumlah 7403 jiwa. "Jumlahnya akan lebih banyak tentu karena jangkauan bantuan yang terbatas. Ada masyarakat secara mandiri mencari air," kata Gunanto yang menjadi moderator diskusi.

Ketua Komunitas Pegiat Alam Mayapada Rully Suyitno menyebutkan, pecinta alam dan lintas komunitas sudah banyak melakukan kegiatan konservasi, seperti penanaman pohon, bersih sungai, pemeliharaan mata air, pendataan juga sosialisasi dan edukasi. "Kami butuh dukungan dan kolaborasi yang lebih baik dengan seluruh stakeholder agar kegiatan tidak dilaksanakan sporadis tetapi komprehensif dan berkelanjutan," katanya.

Sarwanto, selaku Koordinator Pos Penyuluh Kehutanan (Posluhut) Cabang Dinas Kehutanan (CDK) Wilayah VII Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Jawa Tengah menyatakan degradasi lingkungan memang terjadi. Banyak penggundulan, perusakan dan peralihan lahan hutan menjadi peruntukan lainnya yang kurang bernilai konservasi.

Untuk itu, Sarwanto mengajak semua pihak berkolaborasi dalam kerangka memperbaiki kerusakan lingkungan, salah satunya dengan penanaman. Pihaknya, siap memfasilitasi jika ada kebutuhan bibit juga berkoordinasi dalam penanaman.

'Kali Ilang Kedunge', Sebuah Kenyataan

Budayawan Agus Sukoco menyatakan tema diskusi ini memang relevan dengan kejadian yang terjadi. Menurutnya, 'Kali Ilang Kedunge' memang sebuah kenyataan. "Banyak lubuk sungai yang menjadi tempat bermain di saat saya kecil sekarang sudah tidak ada lagi," katanya.

Menurutnya, perlu perubahan paradigma budaya untuk memperbaiki lingkungan. Misalnya, menempatkan sungai sebagai halaman depan yang harus dijaga. Ia menyebutkan ada konsep dalam Budaya Jawa 'Memayu Hayuning Bawono', yang artinya 'mempercantik kecantikan bumi'. "Dengan demikian, kita ditugaskan bukan hanya menjaga tetapi mempercantik bumi yang sudah cantik," katanya.

Agus Sukoco juga mengajak menumbuhkan kembali kearifan masyarakat jaman dahulu yang sangat menghormati lingkungan. "Dulu, kita sangat menghormati air sebagai sumber penghidupan sehingga (tuk) mata air, belik (sendang), kedung (lubuk) selalu dijaga, mari hal itu kita lestarikan kembali," ajaknya

Pemantik Diskusi (Dok. Panitia)
Pemantik Diskusi (Dok. Panitia)

Yudhia Patriana, pengawas Perumda Tirta Perwira menyatakan pihaknya mengelola 17 mata air dan tentunya terpengaruh dengan keadaan lingkungan. Oleh karena itu, tentu saja pihaknya membuka lebar-lebar kolaborasi dalam pelestarian lingkungan.

Sementara, Kepala Dinas Pertanian Mukodam menyebutkan kerusakan lingkungan juga berdampak terhadap produktivitas pertanian. Pihaknya, berupaya untuk menyarankan petani praktek-praktek budidaya tanaman yang lebih ramah lingkungan.

Tindak Lanjut

Pemantik Diskusi (Dok. Panitia)
Pemantik Diskusi (Dok. Panitia)

Diskusi berlangsung sampai tengah malam dengan hasil kongkrit disepakati aan dilakukan aksi dalam waktu dekat ini. Pecinta alam dan lintas komunitas sepakan untuk melanjutkan pelaksanakan program konservasi seperti penanaman bersama, bersih sungai, pemeliharaan mata air, edukasi juga melakukan langkah-langkah advokasi untuk menyentuh tataran kebijakan yang lebih berwawasan lingkungan. "Tentunya dengan kolaborasi, koordinasi yang lebih baik dan melibatkan semua pihak," pungkas Kris Hartoyo.

Ustadz Amir Abdilah dari Djuguran Ngaji yang menutup dengan tausiyah dan doa menyebutkan bahwa melestarikan alam, termasuk sumber mata air merupakan tugas agama. Nabi Muhammad SAW dalam hadist disebutkan melarang untuk penggunaan air berlebihan, bahkan dikala wudhu. "Wudhu dengan air berlebihan nabi kita juga tidak menyarankan dan menyebut hal yang makruh," katanya.

Kemudian, Al Quran sudah menyebutkan dalam Surat Al Mu'minun ayat 18 yang artinya : "Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya. Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya".

Jika ditafsirkan bahwa Allah SWT menurunkan air hujan dari langit sesuai kadar kebutuhan makhluk, tidak terlalu banyak hingga merusak, dan tidak pula sedikit hingga tidak mencukupi. Lalu, air hujan itu menetap di bumi dalam bentuk aliran sungai dengan lubuknya, danau, mata air, agar manusia dan seluruh hewan bisa memanfaatkannya. Namun, Tuhan juga berkuasa melenyapkannya sehingga kalian tidak mengambil manfaat darinya.

"Jadi, kita kita diberikan anugerah air untuk memanfaatkannya dengan baik, namu juga diwajibkan menjaganya. Jika dholim terhadap lingkungan, termasuk sumber air, maka akan datang bencana," pungkasnya. //

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun