Seingatku teks pelajaran sejarah pada masa SMA dulu menyebutkan bahwa kerajaan pertama di Jawa adalah Tarumanegara yang letaknya di Jawa Barat kini. Kerajaan itu berdiri sekira abad ke 4 Masehi dengan raja terkenalnya bernama Purnawarman. So, Anda mungkin akan kaget jika disebutkan bahwa kerajaan tertua di Pulau Jawa bukanlah Tarumanegara melainkan sebuah kerajaan bernama Galuh yang letaknya ada di Lereng Gunung Slamet. Galuh diperkirakan berdiri pada abad ke 1 Masehi dan sebab 'ketuaaan'nya, kerajaan itu diberi nama Galuh Purba.
Kerajaan Galuh Purba disebut oleh seorang sejarawan Belanda W.J. van der Meulen, SJ dalam bukunya 'Indonesia di Ambang Sejarah' (1988). Â Van der Meulen adalah seorang misionaris Katholik, juga pendidik yang berasal dari Ordo Societas Jesus (Serikat Yesus). Keahlian pendidikannya di bidang filsafat dan sejarah. Ia adalah pengajar di Yayasan Loyola Semarang dan mendidikan Program Studi Sejarah Univesitas Sanata Dharma.
Menurutnya, para pendiri Kerajaan Galuh Purba merupakan pendatang yang berasal dari Kutai, Kalimantan Timur pada zaman pra Hindu atau sebelum terbentuknya Kerajaan Kutai Kertanegara. Mereka masuk melalui Cirebon, lalu berpencar di pedalaman dan mengembangkan peradaban di sekitar Gunung Cermai, Gunung Slamet, dan Lembah Sungai Serayu.
Mereka yang menetap di sekitar Gunung Cermai mengembangkan peradaban Sunda. Sedang yang berada di Gunung Slamet berinteraksi dengan penduduk setempat dan kemudian mendirikan Kerajaan Galuh Purba. Konon, inilah kerajaan yang menjadi induk serta menurunkan para penguasa raja-raja di Jawa.
Galuh Purba tumbuh dan berkembang menjadi kerajaan yang besar dan disegani. Menurut van der Meulen, hingga abad ke-6 M wilayah kekuasaannya cukup luas meliputi daerah Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Kedu, Kulonprogo dan Purwodadi.
Kerajaan itu mengalami pasang surut. Prasasti Bogor menyebut pamor Galuh Purba mengalami penurunan saat Syailendra menunjukkan eksistensi wangsanya. Selain itu, juga berkembang kerajaan dan kadipaten di berbagai pelosok Jawa dengan pemimpin yang sebenarnya masih berkerabat. Semuanya menggunakan nama Galuh. Ada Kerajaan Galuh Rahyang dan Galuh Kalangon yang lokasi di Brebes, ibukota di Medang Pangramesan.
Kemudian, Galuh Lalean di Cilacap dengan ibukota di Medang Kamulan, Galuh Tanduran di Pananjung dengan ibukota di Bagolo, Galuh Kumara lokasi di Tegal dengan ibukota di Medangkamulyan, Galuh Pataka lokasi di Nanggalacah ibukotanya Pataka. Lalu ada Galuh Nagara Tengah di Cineam beribukota Bojonglopang, Galuh Imbanagara di Barunay (Pabuaran), ber ibukota di Imbanagara dan Galuh Kalingga lokasi di Bojong beribukota di Karangkamulyan
Lalu, atas berbagai sebab, Kerajaan Galuh Purba kemudian berpindah ke Kawali (dekat Garut sekarang) dan mengganti namanya menjadi Galuh Kawali.
Pada saat yang sama muncul juga kerajaan-kerajaan yang cukup besar, di timur ada Kerajaan Kalingga sedangkan di wilayah barat berkembang Kerajaan Tarumanegara yang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Salakanegara. Ini semakin menggerogoti eksistensi dan wilayah Galuh Purba, bahkan, pada saat Purnawarman menjadi Raja Tarumanegara, kerajaan Galuh Kawali menjadi bawahannya.
Namun saat Purnawarman lengser dan digantikan Raja Candrawarman, pamor Galuh Kawali kembali menanjak. Sampai pemerintahan Raja Tarusbawa Wretikandayun, Raja Galuh Kawali menyetakan kemerdekaanya dari Tarumanegara dan mendapat dukungan dari Kerajaan Kalingga. Lalu kerajaan ini mengubah kembali namanya menjadi Kerajaan Galuh, dengan pusat pemerintahan di Banjar Pataruman. Kerajaan Galuh inilah yang di kemudian hari berkembang menjadi Kerajaan Pajajaran.
Para bangsawan dari Kerajaan Galuh, Kalinga dan Tarumanegara ini kawin-mawin sehingga muncul Dinasti Sanjaya. Hasil perkawinan itulah yang melahirkan raja-raja di Tanah Jawa. Oleh karena itu, bisa dibilang Galuh Purba dari Lereng Gunung Slamet inilah induk dari kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Jejak 'ketuaan' Galuh Purba bisa terlihat dalam kajian Eugenius Marius Uhlenbeck yang ditungkan dalam bukunya : "A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura" (1964) yang menyiratkan bahwa rumpun Bahasa Banyumasan lebih tua dibandingkan dari sub bahasa yang digunakan oleh masyarakat di Pulau Jawa lainnya. Bahasa Ngapak inilah yang ditengarai digunakan oleh masyarakat Kerajaan Galuh Purba. Kini, bahasa bercorak Banyumasan terbagi dalam sub dialek Banten lor, sub dialek Cirebon / Indramayu, sub dialek Tegalan, sub dialek Banyumas, dan sub dialek Bumiayu (peralihan Tegalan dengan Banyumas).
Lalu, di manakah tepatnya pusat Kerajaan Galuh Purba?
Kajian Van der Meulen tidak menyebut lokasi tepat, hanya menyebut di sekitar wilayah Gunung Slamet. Hal itu berarti kemungkinan bisa di wilayah yang kini masuk Banyumas, Brebes, Tegal, Pemalang atau Purbalingga.
Jadi, memang belum ada catatan pasti, namun setidaknya di Purbalingga kabupaten yang wilayahnya berada di lereng Gunung Slamet ditemukan dua prasasti, yaitu Prasasti Cipaku dan Prasasti Bukateja yang diperkirakan berasal dari sekira abad ke 5. Sementara di wilayah lereng Gunung Slamet lain, belum ditemukan prasasti.
Prasasti Cipaku berada di Dukuh Pangebonan, Desa Cipaku, Kecamatan Mrebet yang tertulis dalam Huruf Pallawa berbahasa Sansekerta. Sementara Prasasti Bukateja yang terbuat dari emas saat ini disimpan di Museum Leiden, Belanda.
Kemudian, selain itu juga ditemukan berbagai macam artefak seperti phalus, menhir, lingga yoni, arca dan beberapa peninggalan bersejarah era pra Hindu sampai Hindu-Budha di Purbalingga. Hal ini membuktikan daerah Purbalingga sudah dihuni peradaban pada era tersebut.
Hal itu diperkuat dengan beberapa folklore di masyarakat yang menunjukkan kedekatan bangsawan Sunda dengan wilayah yang ada di Purbalinga. Mereka banyak menyepi ke wilayah panginyongan itu. Misalnya, Syeh Jambu Karang, pendiri Perdikan Cahyana dan diakui sebagai salah satu leluhur Wong Purbalingga adalah pangeran dari Kerajaan Pajajaran bernama Raden Mundingwangi. Petilasannya yang ada di Gunung Ardi Lawet, Desa Panusupan, Kecamatan Rembang masih dikeramatkan hingga kini.
Lalu, ada banyak nama tempat juga dekat dengan Bahasa Sunda, misalkan ada Sungai Ideng (hideung = hitam), Sungai Kahuripan (hurip = hidup), Onje (honje = kecombrang = bunga burus), Gunung Cahyana dan lainnya. Ada juga Legenda Suku Pijajaran atau Wong Alas Carang Lembayung di masyarakat sekitar hutan pegunungan utara Purbalingga yang dipercaya merupakan prajurit pengawal Raden Munding Wangi.
Kemudian, kompleks Goa Lawa / Lava, Desa Siwarak, Kecamatan Karangreja ada petilasan yang dipercaya berhubungan dengan tokoh-tokoh dari Kerajaan Pajajaran. Pertama, ada tumpukan batu yang disebut sebagi lokasi Pertapaan Prabu Siliwangi. Kedua, ada Gua Ratu Ayu yang dihuni oleh Endang Murdiningsih dan Endang Murdaningrum, dua putri Prabu Siliwangi. Mereka berdua ditemani tiga ekor maung, berwarna hitam, putih dan kuning.
Pertautan antara Tokoh-tokoh Pajajaran dengan wilayah-wilayah di Gunung Slamet serta kisah yang melingkupinya tersebut menandakan adanya hubungan yang cukup erat. Mereka datang ke wilayah 'Bumi Panginyongan' bukan tanpa maksud, Bisa jadi mereka 'pulang kampung' ke tanah leluhurnya.
Catatan : Jejak kerajaan Galuh Purba dibahas dalam diskusi Historia Perwira dengan tema 'Galuh Purba : Kerajaan Tertua di Jawa ada di Purbalingga?' yang berlangsung di Kedai Pojok Purbalingga, Minggu malam (27/03/2022). Catatan ini merupakan intisari materi yang disampaikan penulis di mana menjadi salah satu pemantik pada diskusi tersebut.
Sumber :
Â
Buku 'Indonesia di Ambang Sejarah' karya W.J. Van der Meulen, SJ (1988)
Artikel Hasan Kurniawan 'Gunung Slamet dan Sejarah kerajaan Galuh Purba' yang bisa dibaca di sini https://daerah.sindonews.com/berita/861144/22/gunung-slamet-dan-sejarah-kerajaan-galuh-purba
Artikel Widodo Nugroho 'Menurut Van der Meulen Gunung Slamet Pusat kerajaan Galuh Purba' yang bisa dibaca di sini https://www.widodogroho.com/2018/05/menurut-van-der-meulen-gunung-slamet.html
Artikel Arti dan Pengertian Galuh yang bisa dibaca di sini https://bhumigaluhpurba.blogspot.com/2015/06/arti-atau-pengertian-galuh.html
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI