Jika melihat prinsip tata ruang adat tersebut, jelas masyarakat adat kasepuhan dilarang untuk membangun rumah di lereng-lereng terjal. Lahan yang mempunyai kemiringan curam juga tidak disarankan untuk menjadi areal persawahan. Namun, rupanya keterbatasan lahan dan desakan kebutuhan hidup mendorong maraknya pemanfaatan lahan yang tidak sesuai penggunaannya secara adat maupun kaidah konservasi untuk pemukiman dan sawah (Koran Kompas, Kamis, 03/01/18).
Hal itu pun diakui oleh Abah Asep Nugraha, sesepuh adat Sirnaresmi. Menurutnya, warga minim pilihan ditengah meningkatnya kebutuhan penduduk akan sandang dan papan. Kampung Cimapag, kata Abah, merupakan kampung perluasan yang dibuka pada 1941 dan baru mulai tahun 1960-an warga mengolah lereng diatas pemukiman itu sebagai sawah.Â
Lahan yang diajarkan leluhur ditanami bambu atau tanaman keras namun dijadikan sawah itulah yang kemudian longsor dan menimbulkan bencana di malam tahun baru 2019.
Kejadian ini, semestinya kita jadikan kaca benggala, alam mempunyai cara sendiri untuk menjaga keseimbangan. Para leluhur sudah memberikan petuah, petunjuk dan pedoman untuk hidup yang harmonis serta selaras dengan alam. Kita, sebagai generasi penerus sebaiknya bijak dan menghormati kearfian lokal yang diturunkan para leluhur.
Mari bersama jaga lingkungan, alam dan hutan kita untuk masa depan yang lebih baik.
Nyoreang Alam Katukang, Nyawang Anu Bakal Datang
Salam Lestari!
Lestari Alamku, Lestari Hutanku, Lestari Indonesiaku
(Gunanto ES, E14101055)
Gunanto ES, E14101055
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H