Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengembalikan Kejayaan Kopi Purbalingga

12 Desember 2018   11:23 Diperbarui: 12 Desember 2018   11:45 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kopi (sumber : super adventure)

Kopi bagi orang Indonesia bukanlah hal yang baru. Masyarakat Nusantara telah mengenal kopi lebih dari 320 tahun lamanya. 

Pada tahun 1696, tanaman kopi Arabica (Coffee Arabica L.) yang berasal dari Kannur-Malabar, India dibawa ke Jawa atas anjuran Wali Kota Amsterdam Nicolas Witsen dan komandan tentara Belanda di Malabar Andrian van Ommen sebagai tanaman perkebunan hingga sekarang. Kopi dibawa sebagai salah satu komuditas perkebunan yang dikelola VOC.

Wilayah Purbalingga yang waktu itu sebagai bagian dari wilayah Karesidenan Banyumas juga sudah mulai mengenal kopi. 

Dalam laporan yang dibuat oleh Hallewijn disebutkan bahwa di Distrik Kertanegara, Purbalingga, penduduk nya telah menanam tanaman kopi walaupun tidak disebutkan dari mana mereka pertama kali memperoleh bibit tanaman kopi tersebut. (Hallewijn, Overzigt der Land Beschrijving van Banjoemas in het Algemeen, 1831).

Setelah VOC runtuh dan masuk di era tanam paksa pada masa Gubernur Jenderal Van Den Bosch, Purbalingga yang memiliki lahan yang subur dan iklim yang cocok tak luput dari sasaran, komuditas utamanya tentu saja kopi selain teh dan kina. 

Tanaman kopi arabika yang ditanam penduduk Purbalingga sebelum masa tanam paksa itu diistilahkan dengan nama "Kopi Manasuka". 

Kopi Manasuka adalah tanaman kopi yang ditanam di pekarangan serta kebun sekitar rumah sehingga orang Belanda manamakan kopi yang mereka tanam dengan istilah paggerkoffij.

Paggerkoffij atau kopi pager dan kopi kebun ini sebenarnya bukan sebagai tanaman utama dan tidak disiapkan lahan khusus serta biasanya dekat dengan pemukiman penduduk. Tanaman kopi ini ditanam berdampingan dengan tanaman lain, baik tanaman industri maupun tanaman bahan pangan. Jenis kopi berikutnya adalah kopi hutan.

Data Statistik Kopi Era Tanam Paksa di WIlayah Karesidenan Banyumas (Dok. Ruang Kopi Purbalingga)
Data Statistik Kopi Era Tanam Paksa di WIlayah Karesidenan Banyumas (Dok. Ruang Kopi Purbalingga)
Data Statistiek der Residentie Banjoemas yang dilansir oleh pemerintah Hindia tahun 1836 menunjukkan bahwa di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Purbalingga itu sudah terdapat sekitar 10.010.00 batang pohon kopi pager, kopi hutan dan kopi kebun baik pohon muda maupun pohon produktif. 

Angka itu merupakan yang terbesar di wilayah Karesidenan Banyumas saat itu sehingga Purbalingga bisa dikatakan sebagai produsen kopi terbesar di wilayah Banyumas dan sekitarnya.

Gardu Jaga Tanam Paksa di Desa Tlahab Lor, Kec, Karangreja (Dok. TACB Purbalingga)
Gardu Jaga Tanam Paksa di Desa Tlahab Lor, Kec, Karangreja (Dok. TACB Purbalingga)
Jejak sejarah era Cultuurstelsel salah satunya masih terdapat di Kecamatan Karangreja.

 Sampai saat ini masih ada dua buah bangunan atau yang lebih umum disebut dengan istilah  gardu jaga yang berdiri di tepian jalan raya di wilayah Kecamatan Karangreja, satu gardu berdiri di Jl.Goa  Lawa, Desa Siwarak dan satunya lagi berdiri di Desa Tlahab Lor, tepatnya di tepi jalan provinsi yang menghubungkan wilayah Purbalingga dan Pemalang.

Gardu itu merupakan pos penjagaan yang dibangun pemerintah Hindia Belanda untuk mengawasi perkebunan, salah satunya perkebunan kopi yang ada di wilayah Karangreja dan sekitarnya.

Selain gardu terdapat pula peninggalan lain berupa lahan yang khusus disiapkan untuk perkebunan kopi yang ada di Desa Siwarak bagian tengah yang dinamakan dengan Koffie Centraal atau Sentra Kopi atau oleh penduduk lokal disebut  sebagai Kopi Santri.

 Namun karena kurang baiknya manajemen produksi, serangan wabah karat  daun dan masuknya penjajah Jepang ke Indonesia, sentra perkebunan kopi ini tidak pernah berkembang seperti yang diharapkan. 

Jumlah ini turun lebih drastis akibat mewabahnya penyakit Hemileia vastatrix atau karat daun yang menyerang tanaman kopi, terutama tanaman yang ditanam pada ketinggian di bawah 1100 mdpl.

Saat ini, berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten Purbalingga total luas lahan yang ditanami pohon Kopi Robusta di kabupaten Purbalingga mencapai 1.467,8 hektare, dengan hasil produksi pada tahun 2016 mencapai 537,791 ton. Sedangkan lahan yang ditanami pohon Kopi Arabika hanya 57,55 hektare dengan jumlah produksi sebesar 13,922 ton.

Industri Kopi Menggeliat

Kopi saat ini menjadi komoditi yang seksi. Industri kopi berkembang pesar yang dalam dunia kopi disebut sebagai Third wave coffee (kopi gelombang ketiga) yang ditandai dengan munculnya kepedulian para peminum kopi, terhadap apa yang mereka minum.

 Jadi sudah bukan barang baru lagi jika para peminum dan peracik kopi yang tergolong kritis ini berani mengeluarkan tenaga dan materi lebih demi menelusuri asal usul kopi mereka.

 Sangat berbeda dengan first wave coffee (kopi gelombang pertama) yang menjagokan kopi instan atau sachet, dan second wave coffee (kopi gelombang kedua) yang mulai membuka wawasan tentang whole coffee bean dan fresh roasted coffee.

Pada gelombang ketiga seperti saat ini, proses produksi kopi menjadi hal yang transparan dan tak jarang menjadi nilai tambah yang dijual oleh para petani maupun produsen. Para konsumen dengan mudah mampu mengetahui dari mana sebuah biji kopi berasal, bagaimana biji tersebut diproses dan kelak dengan apa kopi tersebut disajikan. 

Di era ini istilah single origin mulai muncul. Asal mula kopi adalah salah satu faktor paling penting di era "Gelombang Ketiga" sekaligus menandai bahwa industri kopi telah berubah.

Budaya minum kopi saat ini sudah mewabah. Peminum kopi pun sudah mulai peduli darimana asal kopi, bagaimana kopi diproses sampai bagaimana cara menyeduh kopi yang mereka nikmati. Kedai, cafe, warung yang menyajikan kopi dengan cara generasi ketiga tumbuh dan berkembang dimana-mana.

kopikalitas-5c108ca3bde57529e90289d2.jpg
kopikalitas-5c108ca3bde57529e90289d2.jpg
Gelombang perkembangan industri kopi juga sampai di Purbalingga. Saat ini, Industri Kopi di Purbalingga tumbuh dan berkembang pesat. 

Pada sektor hulu, petani di desa-desa mulai peduli proses budidaya dan pasca panen yang baik. Kemudian, pengolahan kopi pun mulai tumbuh sehingga petani tidak hanya menjual biji kopi basah tetapi sudah diolah menjadi green bean, roast bean bahkan kopi bubuk. Pada sektor hilir, cafe-kedai-warung kopi juga tumbuh pesat. Mereka kini tak menyajikan kopi sachet tetapi kopi lokal Purbalingga dengan berbagai teknik penyajian. 

Sayangnya, perkembangan kopi dari hulu ke hilir di Purbalingga masih relatif tertinggal dibandingkan daerah lain. Padahal jika berkaca pada sejarah, Purbalingga memiliki rekam jejak sebagai sentra kopi berkualitas.

Untuk itu perlu upaya semua stakeholder, mulai dari pelaku usaha kopi dari hulu ke hilir, swasta, pemerintah dan pihak lainnya untuk bergandengan tangan dan berjuang bersama untuk mengembalikan kejayaan Kopi Purbalingga.

Semoga hal itu bisa tercapai sehingga nantinya tidak hanya di cafe namun di warung dan dapur-dapur masyarakat Purbalingga yang dijual atau disajikan adalah kopi lokal Purbalingga. Kopi Purbalingga harus menjadi tuan di rumahnya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun