Kopi bagi orang Indonesia bukanlah hal yang baru. Masyarakat Nusantara telah mengenal kopi lebih dari 320 tahun lamanya.Â
Pada tahun 1696, tanaman kopi Arabica (Coffee Arabica L.) yang berasal dari Kannur-Malabar, India dibawa ke Jawa atas anjuran Wali Kota Amsterdam Nicolas Witsen dan komandan tentara Belanda di Malabar Andrian van Ommen sebagai tanaman perkebunan hingga sekarang. Kopi dibawa sebagai salah satu komuditas perkebunan yang dikelola VOC.
Wilayah Purbalingga yang waktu itu sebagai bagian dari wilayah Karesidenan Banyumas juga sudah mulai mengenal kopi.Â
Dalam laporan yang dibuat oleh Hallewijn disebutkan bahwa di Distrik Kertanegara, Purbalingga, penduduk nya telah menanam tanaman kopi walaupun tidak disebutkan dari mana mereka pertama kali memperoleh bibit tanaman kopi tersebut. (Hallewijn, Overzigt der Land Beschrijving van Banjoemas in het Algemeen, 1831).
Setelah VOC runtuh dan masuk di era tanam paksa pada masa Gubernur Jenderal Van Den Bosch, Purbalingga yang memiliki lahan yang subur dan iklim yang cocok tak luput dari sasaran, komuditas utamanya tentu saja kopi selain teh dan kina.Â
Tanaman kopi arabika yang ditanam penduduk Purbalingga sebelum masa tanam paksa itu diistilahkan dengan nama "Kopi Manasuka".Â
Kopi Manasuka adalah tanaman kopi yang ditanam di pekarangan serta kebun sekitar rumah sehingga orang Belanda manamakan kopi yang mereka tanam dengan istilah paggerkoffij.
Paggerkoffij atau kopi pager dan kopi kebun ini sebenarnya bukan sebagai tanaman utama dan tidak disiapkan lahan khusus serta biasanya dekat dengan pemukiman penduduk. Tanaman kopi ini ditanam berdampingan dengan tanaman lain, baik tanaman industri maupun tanaman bahan pangan. Jenis kopi berikutnya adalah kopi hutan.
Angka itu merupakan yang terbesar di wilayah Karesidenan Banyumas saat itu sehingga Purbalingga bisa dikatakan sebagai produsen kopi terbesar di wilayah Banyumas dan sekitarnya.