Masyarakat sekitar hutan juga seringkali berinteraksi dengan mereka. Akan tetapi, masyarakat menaruh hormat dan enggan untuk memberikan informasi kepada khalayak luas karena takut akan hal-hal mistis dan mitos yang menyelimuti mereka. "Masyarakat khawatir mereka terganggu dan terkena malapetaka jika mereka marah, sehingga enggan membagi informasi tentang mereka," katanya.
Suatu ketika, di Dusun Tundagan, Desa Watukupul pernah ada salah satu Wong Alas perempuan yang meninggal akibat makan umpan beracun untuk babi hutan. Pimpinan mereka yang dikenal dengan nama San Klonang kemudian marah dan mengancam warga. Esoknya, 35 ekor kambing milik warga ditemukan mati. "Hal seperti inilah yang mereka hindari sehingga enggan untuk bercerita mengenai Wong Alas, masyarakat tidak mau merusak harmoni dengan mereka," katanya.
Gunanto Eko Saputro, lulusan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor juga menilai jika Wong Alas alias Suku Pijajaran alias Suku Carang Lembayung kemungkinan besar merupakan masyarakat yang tinggal di pedalaman hutan Purbalingga. "Jika mencermati ciri-ciri, perjumpaan dan interaksi yang terjadi dengan masyarakat sekitar hutan, kemungkinan besar mereka memang komunitas yang tinggal di pedalaman hutan Purbalingga," katanya.
Pria yang menyelesaikan master di Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Jenderal Soedirman itu menilai berbagai informasi dan testimoni masyarakat menunjukan bahwa mereka manusia biasa. "Ada yang sampai 'magang' menjadi tukang cuci piring, mengasuh balita dan membeli sabun cuci untuk mencuci rambut, saya pikir ini aktivitas manusia biasa, bukan manusia jadi-jadian atau jin," katanya.
Hutan Koridor Siregol yang diduga menjadi hunian mereka juga masih relatif terjaga. Perbukitan tersebut yang sering disebut sebagai Amazon-nya Purbalingga itu memiliki hutan yang masih alami dengan berbagai tebing curam yang jarang dijamah manusia. "Bisa jadi mereka tinggal dikawasan tersebut, mungkin masih ada tempat tersembunyi atau gua yang bisa menjadi tempat tinggal mereka," katanya.
Lebih lanjut, Gunanto menilai asal muasal Suku Pijajaran mirip dengan Suku Baduy dan Kasepuhan yang ada di pegunungan Kendeng dan Halimun Jawa Barat. "Asalnya kok ya kebetulan sama, dari kerajaan Pajajaran yang menyingkir dan kemudian menjadi komunitas di pedalaman hutan," kata Gunanto yang pernah meneliti Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug di Pegunungan Haimun untuk skripsinya.
Oleh karena itu, kata dia, menjadi bukan kebetulan jika banyak nama tempat 'berbau' Sunda disekitar Ardi Lawet yang diduga menjadi wilayah Suku Pijajaran. Ada Sungai Kahuripan (kehidupan), Sungai Ideng atau Hideung (Hitam) dan Gunung Cahyana (cahaya), Dukuh Tundagan (menunda).
Untuk menyingkap berbagai misteri tersebut, Camar Rembang Suroto yang ikut hadir dalam diskusi tersebut mengusulkan ekspedisi atau penelitian secara komprehensif melibatkan berbagai stakeholder. "Selama ini belum ada bukti otentik mengenai keberadan mereka, saya pikir jawabanya harus dengan ekspedisi," katanya.
Menurutnya, dalam ekspedisi tersebut harus ada antropolog, arkeolog, sejarawan dan juga ahli lainya yang terkait serta tak lupa ahli yang mengetahui kehidupan metafisik agar kabut keberadaan Suku Pijajaran bisa tersingkap.
Iqbal Fahmi, anggota PPA Gasda juga mendukung ekspedisi sebagai jawaban atas misteri Wong Alas. Namun, Iqbal menekankan pentingnya kehati-hatian dalam ekspedisi tersebut. "Kita harus mempersiapkan semuanya dengan baik. Setelah mereka diketahui lalu apa?," katanya.