Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Surat Bapak Datang

9 September 2017   15:04 Diperbarui: 9 September 2017   15:25 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sebuah Cerita Pendek dari alumni IPB untuk Pak Jokowi"

Anto gelisah di kamar kostnya. Ia mondar-mandir tak jelas, lalu duduk di ranjang dan menatap dua pucuk surat yang kini ada di depannya. Satu surat sudah dibuka, satu lagi masih tertutup rapat.

Satu surat yang sudah dibukanya itu telah membuat fresh graduate itu kegirangan setengah mati, sepenanakan nasi lalu. Isinya adalah impiannya : Anto Setyo Nugroho diterima di Manager Development Program (MDP) sebuah Bank BUMN terkemuka. MDP adalah program prestisius di bank tersebut untuk penerimaan calon yang diproyeksikan menjadi pimpinan masa depan. Usai lepas program tersebut jabatan Junior Manager di depan mata yang berarti jaminan gaji besar dan karir cemerlang.

Satu surat lagi, baru diterimanya sepeminuman kopi lalu. Meski masih tertutup rapat, sepucuk surat itu sudah membuat kegirangannya sirna.

Anto kini duduk termenung

Sampul surat itu dipandanginya lagi. Tanpa membuka, Ia tahu betul siapa pengirim surat itu.

Teruntuk Anaku
Anto Nugroho
Wisma Al-Izzah, Babakan Lebak, Kampus Dalam

Dramaga IPB, Bogor

"Ramane...," ujarnya bergumam lirih.

Pikiran Anto langsung melayang ke desanya di Purbalingga, Jawa Tengah yang ditinggalkan 5 tahun lalu. Anto ingat Bapak yang dipanggilnya Ramane, Ibu alias Biyunge, juga Sri adiknya. Namun, ingatan yang paling menyeruak kini adalah hal menjadikanya dirinya menggenyam bangku kuliah di Institut Pertanian Bogor, tepatnya, Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian. Anggkatan 35 atau masuk di penghujung reformasi, tahun 1998.

"Aku ingin membuat alat atau obat pemusnah wereng. Aku ingin membantu bapakku, membantu petani di desaku," tekad dia waktu itu yang menjadi bahan bakar untuk tekun belajar, pintar dan akhirnya diterima tanpa test di IPB. Tekad yang membara, berapi-api, mulia.

Benak Anto kemudian melayang pada kejadian pada suatu sore saat dirinya duduk di kelas 3 SMP. Bapaknya bermuram durja usai pulang dari sawah. Masih dengan 'seragam dinas', celana komprang hitam dan kaos partai lengan panjang yang berlepotan lumpur, Bapak tampak tak bersemangat. Tudungnya dilepas, Bapak duduk lalu memandang dengan tatapan kosong ke arah sawah yang masih terlihat di kejauhan dari teras rumah.

Ibu lalu bergegas keluar membawa gelas dan air minum dalam teko tanah. Duduk disamping Bapak, menuangkan isI teko ke dalam gelas dan menyerahkannya ke Bapak.

"Ana apa Ramane, deneng ketone sedih temen," kata Ibuku dengan bahasa ngapak yang ngoko namun tetap lembut.

Bapak menghela nafas panjang.

Ia menyempatkan diri meneguk habis air putih di gelas sebelum menjawab pertanyaan Ibu.

"Biyunge, tahun kiye kayane dewek ora bisa panen, parine entong, diserang wereng kabeh, wis tok semprot nganggo obat apa baen ora mempan, ngalamat puso kae lah, Inyong kudu nggolet kerja liyane, nggo mangan karo nggo bayar sekolahe Anto karo Sri, "ujarnya.

"Owalah Gusti, sing sabar ya Pak. Lagi dicoba, Inyong ya mengko bantu-bantu nggolet sripilan. Aja nganti Anto karo Sri sekolahe mandeg, bocah pinter banget koh, eman-eman," ujarnya.

Aku terhenyak. Tanpa harus berpikir keras aku tahu isi pembicaraan mereka. Padi di sawah Bapakku terserang wereng, salah satu hama padi terjahat, dan kini terancam gagal panen. Artinya, sumber pendapatan keluargaku terancam. Bapak harus pontang panting cari pekerjaan lain, Ibu juga, untuk membuat dapur tetap ngebul. Namun. yang membuat aku terharu adalah mereka ingin aku, juga Agus tetap bersekolah.

"Nto, ko sekolah sing duwur, nek perlu adol wedus karo sawah ora papa sing penting ko bisa sekolah nganti kuliah. Aja dadi wong sing ora tau mangan sekolahan kaya ramamu karo biyungmu," ujar Bapak memberikan wejangan pada suatu waktu.

Meski tak tergolong melarat, keluarga kita hidup pas-pasan mengandalkan hasil sawah setengah hektar  dan ternak kambing di belakang rumah. Secara pendidikan, mereka tak lulus sekolah dasar. Ini yang membuatku bangga, dengan latar belakang demikian, kedua orang tuaku sangat memperhatikan pendidikan sehingga aku pun sekuat tenaga berusaha untuk tak mengecewakan mereka. Aku bertekad agar aku terus sekolah untuki membalas jasa mereka.

"Aku harus kuliah di jurusan pertanian. Aku ingin membuat alat pemusnah wereng, aku ingin Bapak dan petani lainnya di desaku maju dan sejahtera," tekadnya.

Singkat kata, berkat ketekunan, perjuangan keras dan doa kedua orang tua, cita-cita Anto terkabul. Ia diterima di kampus yang ada di kota hujan itu. Berkat prestasi dan juga surat keterangan tidak mampu, Anto juga mendapatkan beasiswa. Untuk biaya hidup sehari-hari Anto jadi asisten dosen, nyambi jualan nasi uduk setiap pagi dari ke kost ke kost dan jadi aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Keluarga Masjid (DKM) Al Huriyah, juga Koperasi Mahasiswa. Pikiranya, biar banyak kegiatan, rapat dan tentunya akan ngirit uang jajan karena sudah ada nasi bungkus atau gorengan konsumsi rapat. Pendeknya, Anto sudah mandiri, Ia minta Bapak tak usah mengirimi biaya hidupnya.

Sebab kelewat sibuk, Anto tetap berprestasi, namun predikat cum laude lepas dari tangan. IPKnya cuma 3,05, tak percaya diri untuk melamar dosen atau mengejar beasiswa ke luar negeri tapi cukup sebagai persyaratan untuk melamar kerja kesana kemari. Anto pun akhirnya sama seperti lulusan lainnya, menanti dibukanya penerimaan CPNS atau memantau Koran Kompas Edisi Sabtu, memelototi pengumuman lowongan kerja satu per satu lalu membuat lamaran, mengirimkannya, test, interview kemudian menunggu jawaban : diterima atau ditolak.

Kini, di tanganya sudah ada surat yang menyatakan dirinya diterima bekerja. Pada sebuah tempat yang menarik pula : bank, dengan jabatan yang prestisius lagi. Sudah terbayang di kepalanya gaji besar dan karir cemerlang.

Namun, surat satunya lagi menyentaknya. Anto bimbang, Anto berubah menjadi Andi Lau, antara dilema dan galau.

Apa kabar cita-citanya membuat obat pemusnah wereng? Bagaimana dengan tujuanya kuliah untuk membantu Bapaknya dan petani di desanya untuk maju dan sejahtera?

Renunganya tiba-tba buyar

"Woi, kenapa loe ndes!? Muke loe kelihatanya kusut banget kaya tumpukan cucian belum di loundry?!," ujar Hendra, teman kost juga sahabatnya, membuka pintu kamar tanpa permisi, lalu nyerocos. Dia memang tak pernah memanggil namaku, selalu panggil 'Ndes' akronim dari 'Ndeso'.  Saya tidak pernah tersinggung dengan panggilan itu, tak merasa di-bully apalagi di persekusi. Biasa, akrab, itu kenyataan dan tak ada yang salah dengan panggilan itu.

Anto menatap Hendra, masih terdiam. Hendra lalu merebut surat yang ada ditangan Anto dan membacanya.

"Anjrit lo Ndes, Ndes. Loe ketrima di MDP Bank Berdikari. Beruntung banget loe!," ujar Hendra antusias sambil menepuk punggung sahabatnya itu.

Namun, sejurus kemudian, dia merasa ada yang tidak beres.

"Oii, ketrima kerja di bank kece badai kok loe malah cemberut sih. Bersyukur loe, jangan kufur nikmat," ujar Hendra ceplas ceplos.

"Gue lagi bingung nih Ndra," ujar Anto

"Bingung apanya Si Ndes? Diterima kerja ditempat bagus kok lo bingung?," ujar Hendra

"Gue inget Bapak di kampung," Anto berujar lirih.

"Bokap loe pasti seneng bro, loe ketrima kerja dan bakal jadi orang kaya coy," sergah Hendra.

"Ndra, gue kan pernah cerita ke loe, kenapa gue bisa kuliah disini kan? Gue lagi inget itu. Inget bokap gue, inget petani-petani di kampung gue. Inget cita-cita gue buat obat pemusnah wereng," kata Anto.

"Ya ya ya..," ujar Hendra enggan.

"Gue lulusan pertanian, jurusan hama dan penyakit tanaman, tapi malah kerja di bank. Jauh banget dari apa yang kita pelajari di kampus kita ini. Kalau aku, kamu dan kita yang lulusan kampus ini pada kerja di luar bidangnya. Siapa yang bekerja di sektor pertanian, siapa yang bantu bokap gue dan petani-petani di kampung gue, petani di negeri ini?"

"Aktivisnya kumat nih," Hendra menggumam.

"Soekarno saat mendirikan kampus ini bilang urusan pangan adalah soal hidup dan matinya bangsa ini. Akan tetapi, kita yang harusnya mengurusnya malah mengabaikanya. Bangsa ini bisa mati di kemudian hari karena yang ngurus soal pangan, soal pertanian malah lari dari tanggung jawabnya," ujar Anto dengan intonasi yang mulai meninggi dan bangkit dari duduknya.

"Okey, tapi..," Hendra mencoba memotong.

"Petani itu miskin, bodoh, termarjinalkan. Apa akan selamanya seperti itu. Inovasi, teknologi, penelitian yang kita hasilkan hanya menjadi macan kertas yang tidak pernah diaplikasikan untuk mengangkat derajat dan harkat para petani. Karena apa? Karena kita menganggap itu sudah selesai ketika sudah menjadi skripsi, tesis, desertasi atau diseminarkan bukan diaplikasikan di lapangan, di sawah, di kolam, di laut," lanjut Anto.

"Pertanian sampai detik ini masih dibilang tidak menarik, tidak menguntungkan. Produksi  dan produktivitas rendah, serangan hama meningkat, sarana produksi seperti benih dan pupuk susah, harga dipermainkan mafia. Masa negara agraris impor beras, kedelai, gandum, garem, singkong dan lainya. siapa yang akan merubah kondisi seperti ini Ndra?. SDM nya yang terjun semakin tua, tidak berpendidikan, lama lama hilang kalau tak tergantikan. Kalau kita tidak ma terjun, siapa yang akan meneruskan, siapa yang akan membangun sektor pertanian?," ujar Anto masih bersemangat.

"Cukup. Terus gmana, loe mau apa sekarang Ndes?!. Lo mau tolak Bank Berdikari?. Lo mau pulang kampung garap sawah bokap loe?!," ujar Hendra yang sedikit kesal dikuliahi Anto.

"Nggak tahu Ndra, Gue bingung," ujar Anto dengan nada tak seperti tadi yang berapi-api, lalu duduk kembali.

"Oke, mendingan loe Sholat Istikharoh deh Akhi. Serahkan pilihan kepada Tuhan, kawan," ujar Hendra tetiba agamis dan bijak.

Anto menatap Hendra.

"Trust me, its work. Gue kemarin juga istikharoh pas dalam dilema memilih Ella anak AGB (Jurusan Agribisnis) atau Chaha anak GMSK (Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga) atau Melita anak Tanah (Jurusan Ilmu Tanah)," ujar Hendra nyengir.

"Geblek loe! Oke bro. Gue sholat dulu ya," ujar Anto.

 "Ya udah sono wudhu terus sholat yang khusyu, gue keluar dulu ya," Hendra keluar kamar dengan dua pucuk surat Anto yang masih ada ditangannya.

Anto pun sholat dan kemudian berdoa dengan khusyu, memohon petunjuk Tuhan dan agar diberikan pilihan yang terbaik. Usai Sholat, Anto mencari-cari dua pucuk suratnya.

"Ndra, loe bawa surat-surat gue?," teriak Anto.

"Ndes, loe disuruh pulang kampung, Adik loe, Sri, mau kawin sama juragan beras," ujar Hendra dari luar kamarnya lantang.

--0--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun