Tak memberikan kesempatan aku menyampaikan pertanyaan lanjutan apalagi pledoi, Ia kembali nyerocos. “Gini ya, mulai dari persemaian, pemeliharaan hingga panen, cabe sudah diintai hama dan penyakit. Aneka jamur, bakteri, virus, cendawan, serangga, jangkrik, semut, keong bahkan tikus dan ayam doyan menggangu pertanaman cabe yang menyebabkan berbagai bencana bagi budidaya cabe seperti tanaman terpotong, tercabut, bulai, daun keputihan. kriting, daun menguning, kering, batang loyo, akar busuk, buah rontok kaya rambutmu dan lain sebagainya,” katanya.
“Asyem, jangan main fisik dong, kok rambutku dibawa-bawa..,” ujarku, kali ini aku sempat menyela.
Dia tersenyum. “Udah, jangan marah. Kamu boksi kok, botak seksi,” katanya terkikik.
“Aih, sialan… jangan ngerayu dong, kamu sudah bersuami, aku sudah beristri, kita cuma berdua lagi nih, jangan bangunin kucing tidur, tak garong ntar loh” ujarku sambil tersenyum. Dalam hati aku seneng juga dipuji, meski dibalut bullyan.
“Oke, ya sudah maaf ya, bercanda, kamu serius amat. Aku lanjutin yaa (nada genit), terus ya, budidaya cabe pemupukan harus rutin, semprot pestisida kudu berkala jangan sampe lengah. Malem-malem suamiku sering pamit ke kebun, nengok mbok ada gejala penyakit, subuh-subuh sudah di lahan lagi merawat cabe. Musim hujan kayak gini, hama semakin menggila. Aku sampe kurang perhatian gara-gara budidaya cabe, makanya daripada kedinginan mending aku ikut terjun ke kebun. Asyik juga kok mesra-mesraan di kebun,” ujarnya dengan nada yang lebih slow.
“Itu kali yang menyebabkan budicaya cabe mahal ya?,” kataku.
“Apa? Soal mesra-mesraan itu di kebun jadi bikin mahal? Ya bukan lah dodool! (Aku nggak sedodol itu keleuss). Budidaya cabe mahal ya karena super intensif itu. Pestisida rutin, perawatan rutin, pemupukan rutin. Aku nanem cuma 2000 meter persegi saja habis dua puluh juta. Kalau sehektar berapa? Seratus juta modalnya! Petani kecil mana ada mampu budidaya semahal itu, pikir bro.” ujarnya sewot lagi.
“Tapi kan panennya harganya bagus, mahal dan kayaknya komoditas cabe nggak ada matinya. Orang Indonesia kan doyan banget sambel,” kataku
“Eh, kamu tuh ya, harga bagus ya sekarang ini. Inyong jelasin lagi ya. Harga cabe itu sangan fluktuatif, volatilitas, labil kayak kamu (eh, bawa-bawa aku lagi nih). Iya memang sekarang mahal, ratusan ribu sekilo di pasar, ingat ya di pasar itu bukan di petani. Pertengahan tahun lalu, harga cabe 2 ribu perak per kilo di lahan. Suamiku sampe stress dan sempat ngambek nggak mau ke lahan. Harga segitu buat ongkos yang metik aja tekor. Dulu, pas harga segitu media kemana saja, kalaupun ada muncul di berita nggak pernah seheboh ini tuh. Nggak adil tauk!’’.
Saya mencoba bijak, lalu bertanya dengan pelan.“Lalu, sebagai Srikandi Petani Dari Lereng Gunung Slamet, kira-kira apa solusi untuk mengatasi sengkarut percabean ini?”
Dia mikir, dahinya sedikit berkerut dan pasang muka serius. “Jadi, pertama tama dan yang paling utama pemerintah harus turun tangan. Bela konsumen boleh, operasi pasar menurunkan harga cabe boleh, akan tetapi bantu petani juga dong, terutama kalau harga ambruk. Fasilitasi dan beri insentif kepada para petani kecil mulai dari budidaya, pasca panen, pengolahan, pergudangan atau cold storage buat nyimpen saat panen raya hingga pemasaran. Budidaya cabe sekali lagi itu super intensif dan mahal jadi petani perlu dibantu. Selain itu, pemerintah juga kudu memberesi tata niaga percabean, denger-denger banyak mafianya, siapa coba yang semena-mena naikin harga sampe ratusan ribu terus nganjlokin sampae dua ribu perak doang kalau bukan mafia.Beresi dong! Ini siapa lagi yang mau mberesi kalau bukan pemerintah. Terus, jangan lah keuntungan lebih banyak porsi di pedagang, lebih fair lah. Masa petani dapet sepertiga harga pasar, naikin lah. Kalau petani sebenarnya lebih suka harga yang realtif stabil yang penting lebih fair dan saling menguntungkan. Kalau kayak gini, harga cabe melonjak, lalu terjadi inflasi, harga-harga barang lainnya juga terkerek naik, ya kita juga kan kena dampaknya kan mas bro?,” katanya