Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ahok dan Tempatnya Bagi Orang Netral

13 Desember 2016   15:40 Diperbarui: 13 Desember 2016   18:06 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambaran Neraka (www.merdeka.com)

”Tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang tetap netral disaat krisis moral terjadi. Dalam masa berbahaya, tidak ada dosa yang lebih besar daripada tetap diam...”(Dante Alighieri, Inferno)

Netral, sikap diam, tidak berbuat apa-apa, tidak memihak, berpangku tangan bukanlah solusi. Mereka, kaum pencari aman yang berdiri dalam area abu-abu inilah yang menurut Dante dalam puisinya berjudul Inferno yang dibuat pada abad ke 13, layak berada dalam neraka paling laknat.

Ada benarnya, menjadi netral memang berat dan sekali lagi memanglah bukanlah sebuah solusi.

Saya berpikir kutipan filsuf abad pertengahan itu cocok dengan situasi politik dan sosial saat ini. Politik makin licik, intoleransi dan gontok-gontokan antar golongan makin merajalela, moralitas bangsa makin jatuh, diskriminasi menjamur, korupsi mengakar, hukum jadi mainan. Inilah krisis moral itu dan saat kondisi seperti saat ini masih pantaskah kita netral? Masih relevankah jika kita hanya berdiam diri, cari aman?

Ah, bahkan, ’neraka’ bagi orang netral sudah hadir di dunia ini, wabilkhusus di Indonesia. Dalam kondisi yang menuntut hitam putih, segalanya menjadi tidak benar bagi mereka yang berada di area abu-abu. Bahkan, hanya berusaha menjadi objektif pun salah.

Salah satu contoh terkini adalah dalam kasus Anti Ahok vs Ahoker.

Bagi kaum Anti Ahok dan menganggap Cagub DKI itu menista Al Quran ya sudah seharusnya ikut, minimal mendukung aksi bela Islam 411 dan 212, menganggap tindakan intoleran di Sabuga Bandung adalah soal kecil dan hanya pengalihan isu, ikut boikot makan Sari Roti dan mereka yang berseberangan adalah sekuler, liberal, abangan bahkan kafir.

Kaum ini bahkan mencaci tokoh sekaliber Buya Syafii Maarif dan Gus Mus yang mencoba berpendapat objektif. Ambil contoh, Buya yang dalam sebuah kesempatan diskusi di televisi menilai Ahok tak berniat menista Agama, langsung dicap berseberangan bahkan meski sudah dijelaskan bahwa beliau kerap mengkritik Ahok yang kurang menjaga lisannya tetapi soal menista Al-Quran dan Agama disitulah beliau tak sepaham.

Dan ini yang paling ekstrim, aneh tapi nyata, ada kawan saya perempuan dicap kafir dan diragukan sholatnya oleh kawan perempuannya sendiri hanya karena dia mendukung Ahok, suka dengan Ahok. Padahal, dia berjilbab, rajin sholat dan baik dalam hubungan dengan sesama manusia. Wuheladalah...

Lalu, bagi yang mendukung Ahok alias Ahokers ya menilai kaum diseberang sana dibutakan fanatisme sempit, puritan, intoleran, tidak menghormati kebhinekaan bahkan mencap bahwa mereka bagian dari kelompok teroris dan berbahaya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kaum yang ini, sekalipun aksi 212 berlangsung sukses dan damai, meskipun tokoh sekaliber AA Gym dan Hidayat Nur Wahid menjelaskan bahwa ini soal agama dan panggilan iman, bukan soal politik tetap menganggap sebagai tindakan yang intoleran. Bahkan, gerakan subuh berjamaah 1212 pun dikritik sebagai aksi politik alih-alih tindakan untuk menyuburkan semangat keagamaan.

Ini juga yang ekstrim, aneh tapi nyata, ada kawan lelaki saya dicap teroris oleh kawan lelakinya sendiri hanya karena sekarang dia berubah jadi alim, bercelana ngatung dan memelihara jenggot. Padahal, meski mendukung aksi 212, dia sangat toleran, menghargai kebhinekaan bahkan banyak memiliki rekan bisnis tionghoa.

Jadi, tidak bisa kalau tidak suka Ahok kemudian ikut mengecam aksi intoleran di Bandung. Tak bisa pula kalau suka Ahok kemudian ikut gerakan subuh berjamaah 1212. Hitam ya hitam, putih ya putih... Mereka sudah mengedepankan ’pokoknya’ dengan argumen pembenarnya masing-masing. Dalam kondisi seperti ini, memang ’neraka’ lah bagi kaum netral.

Jadi, mau ikut yang mana? Anti Ahok atau Ahokers? Atau kita buat golongan baru yang bukan abu-abu lah golongan coklat gitu misalnya, untuk menyebut golongan yang masih obyektif, jernih dan nggak waton menyalahkan tanpa berpikir panjang lebar serta tetap kritis. Jadi, kaum coklat itu, kaum waras-netral yang tidak berpangku tangan lah gitu. Kita sadarkan mereka-mereka itu.

Kalau tidak sadar-sadar ya kita biarkan dua pihak itu saling berperang, sampai datang kepunahan, lalu bangun peradaban baru diatasnya. Seperti kata Betrand Zobrist, ilmuwan gila dalam Novel Inferno karya Dan Brown meyakini, bahwa, zaman pencerahan alias renaisance justru datang usai ada ’Kiamat Sughro’, kematian besar-besaran yang melenyapkan sebagian besar populasi.

Ah, tapi nunggu mereka berperang beneran itu lama, paling ’twitwar’ dan perang komentar doang dan paling banter adu demo. Jadi, sepertinya rada musykil perang beneran terjadi meski itu mungkin...

Atau, bagaimana kalau kita siapkan virus ’black death’ ala Zobrist, sebarkan ke tengah dua kaum itu biar punah. Lalu, kaum yang waras - netral - kritis ini yang saya sebut Kaum Coklat tadi, lepaslah dari belenggu neraka dunia yang paling laknat itu. Lalu, bangunlah peradaban baru yang sejuk, damai, menghargai perbedaan, nyaman dan merdeka beribadah, gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja..

Owalah, kok ngelantur tole le...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun