“kawitane Dusun Serang iki, mapan aning tlatah karangreja, sengkup poro warga kabeh, sedoyo sami rukun, nuju Purbalingga kang aji, ugo podho raharjo, tentrem lan minulyo, katon podo samapto, nglestari tuk, suci sikopyah iki, mugo bagyo lan mulyo”
Tembang Dhandang Gula memecah pagi di Dusun Kaliurip, Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga pada Kamis, 13 Oktober 2015. Tembang itu menggambarkan kehidupan warga yang hidup rukun, tenteram dan damai. Kehidupan warga yang bahagia itu tidak terlepas dari berkah adanya sebuah tuk (mata air) di bawah kaki Gunung Slamet yang diberi nama Si Kopyah.
Tembang itu menjadi pengiring prosesi awal pengambilan air Si Kopyah, sebuah ritual untuk menghormati mata air tersebut sebagai pembuka Festival Gunung Slamet II.
Iringan pembawa lodong diikuti ratusan warga lainnya yang membawa Nasi Penggel atau yang disebut juga dengan nasi trigi karena nasi jagung ditemani tiga jenis lauk dan sayur yakni sayur oseng pepaya, tempe goreng, dan ikan asin. Setelah berkumpul di balai desa, warga pembawa lodhong dan pembawa nasi Penggel menikmati makan bersama. Para wisatawan yang datang untuk menyaksikan ritual tersebut ikut berbaur menikmati Nasi Penggel.
Penghormatan terhadap Si Kopyah merupakan ritual tahunan warga setempat yang digelar setiap Bulan Sura dalam penanggalan jawa. Ritual itu bertujuan untuk menghormati mata air sebagai sumber kehidupan. Tuk Si Kopyah memang menjadi sumber mata air utama yang memberikan penghidupan bagi sebagian besar warga setempat yang berprofesi sebagai petani sayur mayur. Air dari tuk tersebut tak pernah kering sepanjang musim mengaliri Desa serang dan desa-desa sekiratnya di kaki Gunung Slamet itu.
Kini, kearifan lokal yang tetap dilestarikan warga dan dikemas sebagai sajian budaya utama dalam Festival Gunung Slamet. Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga sudah dua tahun ini menyelenggarakan dan menjadikanya sebagai agenda wisata tahunan utama. Tahun ini dengan 777 pembawa lodhong bambu berisi air Si Kopyat tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI) kategori terbanyak dan terunik.
Jumlah 777 yang dalam bahasa jawa pitungatus pitungpuluh pitu, pun bukan tanpa makna. Angka itu memiliki arti pitulungan atau pertolongan yang merupakan bentuk meminta pertolongan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar para pemimpin dan masyarakatnya bisa diberi kekuatan untuk bisa membangun Purbalingga.
Setelah ritual Si Kopyah, malamnya kemudian digelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk dengan dalang Ki Yakud.
Setelahnya digelar Parade Kesenian Ebeg alias Kuda Lumping. Kemudian dilanjutkan dengan parade budaya sembilan kabupaten di Jawa Tengah, yakni Purbalingga sebagai tuan rumah, Banyumas, Banjarnegara, Cilacap, Kebumen, Pemalang, Tegal, Brebes dan Pekalongan di alun-alun Purbalingga.
Hari ketiga, festival dipusatkan di rest area Lembah Asri, Desa Wisata Serang Karangreja berupa kirab air Si Kopyah yang sudah disemayamkan 3 hari di Balai Desa dan kirab hasil bumi, ruwatan agung, rebutan tumpeng dan hasil bumi.
Kaki Gunung Slamet yang dingin malam minggu kemarin berubah menjadi hangat oleh penampilan dan suara merdu penyanyi yang sedang naik daun itu. Si cantik berhasil ‘menyihir’ warga Purbalingga dan wisatawan yang datang malam itu dan menjadi penutup yang manis gelaran festival.
Ah.. Isyana… Penampilan kamu malam itu menutup Festival Gunung Slamet II dengan Indah…
bila memang harus berpisah, aku akan tetap setia
bila memang ini ujungnya, kau kan tetap ada di dalam jiwa
tak bisa tuk teruskan, dunia kita berbeda
bila memang ini ujungnya, kau kan tetap ada di dalam jiwa
Keterangan :
Foto-foto by Panitia FGS II (Noto Susanto, Prayitno)
Foto-foto by Panitia FGS II (Noto Susanto, Prayitno)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H