Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ojon vs Opang dan Teori Evolusi

24 Maret 2016   08:36 Diperbarui: 24 Maret 2016   09:22 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ojon vs Opang dan Teori Evolusi

Jogja dan ribut-ribut penolakan Uber di Jakarta membuat saya bereksperimen sosial menggunakan 2 sistem moda transportasi yang sekarang sedang seru bertentangan, online vs konvensional.

Sebab, di Jogja belum ada Uber saya tidak mengkomparasikan taksi, saya bandingkan dua macam ojek, sebut ojek online dengan Ojon dan ojek pangkalan dengan Opang.

Saya mencoba dengan 2 rute yang hampir sama tapi bolak-balik. Ojon, saya gunakan Go-Jek dari Hotel Alana di Palagan ke Stasiun Tugu dan Opang dari Malioboro ke Hotel Alana.

Ok. Naik Opang dulu saya ceritakan. Ya seperti ngojek biasa, saya pesen, tawar menawar sebentar dan kemudian saya meluncur ke tujuan. Tarif yang disepakati 20 ribu, sampai lokasi saya beri tips 10 ribu. Itung-itung buat tips karena saya banyak nanya kepada driver opang yang berumur sekitar 50 tahunan itu.

Ia, Pak Anton namanya kalau ndak salah (waktu nanya nama jawabanya kurang jelas) mengeluh penghasilannya berkurang karena hadirnya Ojon. "Turun mas, lumayan turunya, ojek pangkalan yang lain juga ngeluh," katanya.

Namun, Ia  tak mau ikut-ikutan anarkis seperti di Jakarta meski Ia memaklumi banyak Opang yang kesal dan melakukan aksi menolak Ojon. Driver ojek yang tak mau ngebut itu pun enggan beralih menjadi driver Ojon. Alasanya, Ia sudah nyaman dengan menjadi driver Opang.

Meski demikian, Ia juga tak mau tergilas persaingan begitu saja. Untuk menyikapi kerasnya dunia perojekan, Ia mencoba memperbaiki layanan dan melakukan promo personal. Caranya, Ia bagikan nomor ponselnya dan berpesan kalau ke Jogja bisa menghubungi dia.  Cukup inovatif untuk driver yang saya perkirakan berumur diatas 50 tahun itu.

Ok. kemudian soal pengalaman ber-Ojon, ini pertama kalinya. Saya pesen Go-Jek, tinggal masuk aplikasi, masukan tempat jemput dan tujuan yg sudah dipandu Google Map, segera muncul tarif yg harus dibayar. Klik Order. Ok. Tak sampai semenit, driver nelpon mengenalkan diri dan mengabarkan bahwa dia meluncur. Saya sempat menghabiskan 1 croissants dan 2 cinnamon rolls mini dan segelas air putih menunggunya datang ke lobby hotel.

Setelah sampai di lobby, driver yg bernama Pak Agung segera menelpon kembali, saya datang lalu Ia memastikan saya yg pesan kemudian menyerahkan helm dan menawarkan apakah mau masker atau tidak.

Sepanjang perjalanan sekitar 15 menit saya pun banyak bertanya mengenai pengalamannya menjadi driver go-jek. Ia baru 4 bulan menjalaninya. Ojek daring itu sandaran hidupnya yg baru yang dijalaninya full time.

"Alhamdulilah sehari saya dapat 50-100 ribu gampang Mas," ujarnya saat saya tanya pendapatanya. Selain go-ride, Ia banyak mendapatkan orderan go-food dari masyarakat Kota Gudeg.

Soal penolakan Ojon di Jogja, sejauh ini masih belum terlalu masif, meski dibeberapa tempat sesekali terjadi gesekan dengan ojek pangkalan namun tak sampai anarkis. "Kalau sampai dipukul atau motor saya dirusak saya tidak akan membalas,  tinggal visum dan laporkan ke polisi. Negara ini kan negara hukum," katanya. Ok, sip.

Sesampai di tujuan, saya diturunkan tak jauh dari ojek pangkalan Stasiun Tugu. Tatapan tak suka pun terlihat jelas dari kerumunan ojek pangkalan. Tadinya saya mau selfie dengan Pak Agung untuk mengabdikan momen pertama kali saya naik Go-Jek, namun salah satu driver Opang langsung mendekati dan 'mengusir' kami. 

"Cepet Lik, cepet, ojo neng kene sue-sue," ujarnya.

Saya pun membatalkan selfie dan Pak Agung berlalu dengan senyuman.

Sebagai penutup, kisruh Ojon vs Opang itu membuat saya jadi teringat teori evolusi Bung Lamarck dan Darwin yang diajarkan saat SMP. Kedua ilmuwan tersebut sama-sama menggunakan Jerapah sebagai bahan eksperimenya. Lamarck bilang Jerapah tadinya berleher pendek semua kemudian jadi panjang-panjang untuk menjangkau makanannya, Jerapah yang nggak bisa manjangin lehernya dalam proses evolusi dan adaptasi dengan lingkungan sekitarnya kemudian punah. Sementara Darwin berteori, tadinya jerapah ada yang lehernya pendek, ada juga yang panjang. Namun, yang leher pendek punah dan tergilas perkembangan jaman karena tak mampu beradaptasi dengan sumber makanan yg ada dipohon yang tinggi-tinggi. Tinggalah Si Jerapah leher panjang.

Intinya, hikmah yang bisa diambil dari kisruh online dan konvensional  tersebut adalah kalau mau bertahan ditengah jaman yang makin edan ya kita memang harus berubah, beradaptasi, berinovasi. Jika tidak, jangan salahkan jika kemudian tergilas roda-roda jaman yang berputar kencang. Jangan pula timpakan kesalahan kepada orang lain yang mau berubah atas ketidakberdayaan kita.

Bagaimana mau lepas jomblo kalau kita sendiri tak mau move on. Gmana mau dapat pasangan kalau terus teringat mantan! Jangan salahkan pula mantan yang sudah sadar dan move on atas kejombloanmu yang akut. Yo ora cukk?

#notefromjoglokerto

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun