Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Gajah Mada Bangkit Lagi!

25 Januari 2014   16:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:28 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_308172" align="aligncenter" width="300" caption="Anime Gajah Mada (www.irzaki.devianart.com)"][/caption] Sosok Gajah Mada tiba-tiba bangkit dan mampir dibenak saya di sore yang cerah ini di Purbalingga.  Senja mengiringi kerinduan akan sepak terjangnya Sang Mahapatih yang kerap menari-nari di bentang khayal. Kerindunya setara dengan kangenya negeri ini memiliki sosok seperti Gajah Mada yang memilih tak menikmati 'mukti palapa' sebelum tuntas berbakti kepada negaranya.

Saya sering berpikir, mungkin John F Kennedy pernah baca Sumpah Palapa sebelum dia membuat kutipan ini : 'ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country'. Sebuah ungkapan yang cocok ditujukan buat para pejabat di negeri ini yang sering kali hanya mementingkan diri sendiri dan kroni-kroninya serta melupakan kepentingan negara yang seharusnya di dahulukan.

Saya memang sering menjadi 'time traveller' sehabis membaca kisah-kisah sejarah. Gajah Mada merupakan tokoh yang banyak menyita perhatian saya.  Meski terkesan lebay, saya kerap menjadi dirinya atau orang kepercayaanya dalam imaji yang menari-nari liar. Salah satu serial novel sejarah terbaik yang berkisah tentang perjuangan Mpu Mada, nama lain Gajah Mada, adalah karya Sang Maestro Langit Kresna Hariadi. Pentalogi Gajah Mada-nya yang secara berurutan terbit pada 2004-2007 adalah Gajah Mada, Gajah Mada: Antara Tahta dan Angkara, Gajah Mada: Hamukti Palapa, Gajah Mada: Perang Bubat dan Gajah Mada: Madakaripura Hamukti Moksa. [caption id="attachment_308168" align="aligncenter" width="300" caption="Novel Pentalogi Gajahmada (www.solehan1312.blogspot.com)"]

1390641703145324488
1390641703145324488
[/caption] Saya pernah mengupas novel-novel itu dan novel berlatar sejarah lainya dalam ruang baca Koran Tempo pada November 2007 lalu. Saya juga mengunggahnya di laman blog lawas saya yang kini sudah dipenuhi 'ramat' dan baru saya buka lagi tadi setelah bertahun-tahun mangkrak tak diupdate dan hampir terlupakan www.itemanis.wordpress.com. Nasibnya lebih buruk dari blog saya lainya www.igosaputra.blogspot.com.  Apalagi sekarang saya lebih memilih kompasiana untuk media berekspresi atau sekedar curhat. Maka, sore ini saya sajikan kembali ulasan novel-novel Pak Langit itu dengan beberapa pembaharuan untuk sekedar bernostalgia dengan Gajah Mada. Buku Kesatu : Gajah Mada Pak Langit memulai kisah di novelnya ketika Majapahit ada pada masa kekuasaan Jayanegara. Saat itu, wilwatikta tengah dirundung bencana. Pungawa-punggawanya melakukan makar dan keselamatan sang raja yang masih berusia belia terancam. Saat itulah, Gajah Mada yang masih berpangkat bekel unjuk gigi. Itulah momen dimana dirinya ambil peranan dalam sejarah kerajaan itu. LKH membentangkan sepak terjang Kepala Pasukan Khusus Bhayangkara itu dalam menyelamatkan Kalagemet (nama lain Jayanegara) dari pemberontakan Rakian Kuti dan kroni-kroninya. Gajah Mada yang bertanggung jawab atas keselamatan isi istana berjuang keras menyelamatkan rajanya. Ia membawa Jayanegara menyingkir ke Desa Bedandher, Bojonegoro. Dari desa itulah Gajah Mada kemudian menyusun kekuatan dan memukul balik Ra Kuti. Bhayangkara muda itulah yang kemudian memimpin perjuangan mengembalikan dampar kencana Majapahit ke Jayanegara. Salah satu aspek menarik dari buku pertama ini adalah uraian Langit mengenai teknik telik sandi yang dijalankan oleh Gajah Mada dan pasukan khususnya ini. Kemampuan mereka dalam olah kanuragan –seperti memanah, melempar pisau, berkelahi, dan menyamar– digambarkan cukup masuk akal, tanpa bumbu-bumbu ajian sakti mandraguna seperti yang selama ini menyelimuti legenda Gajah Mada. Selain itu, gelar perang seperti Diradamerta, Garuda Layang, Cakrayubha, Supit Urang atau Perang Brubuh digambarkan dengan cukup gamblang dan megah. Pengarang juga menyisipkan kisah cinta terpendam antara tabib Ra Tanca, teman Ra Kuti dan Sekar Kedaton yang juga Putri Mahkota, Dyah Wiyat. Dia juga menyelipkan teka-teki yang menjadi ciri khasnya. Kisah pengkhianatan pun menjadi bumbu yang menambah mak nyus heroisme Pasukan Bhayangkara. Buku kedua : Gajah Mada, Antara Takhta dan Angkara. Buku setebal 508 halaman, diawali dari terbunuhnya Sri Jayanegara oleh Tabib Ra Tanca setelah sembilan tahun pemberontakan rekannya, Ra Kuti, gagal. Mangkatnya sang raja membuat istana kalang kabut karena Jayanegara tidak mempunyai keturunan. Para ratu pun berunding untuk memutuskan pengganti Jayanegara. Alternatifnya, tahta akan diwariskan kepada dua saudara perempuannya, Sri Gitaraja dan Dyah Wiyat. Kekosongan kekuasaan inilah yang menjadi arus utama buku kedua ini. Raden Cakradara dan Raden Kudamerta yang akan mempersunting kedua putri mahkota tersebut sama-sama berambisi menjadi raja. Keadaan semakin rumit ketika hal itu dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Gajah Mada dan Pasukan Bhayangkaranya kembali dituntut untuk menyelesaikan sebuah rencana makar dan persekongkolan berbelit yang memayungi istana. Proses investigasi Gajah Mada dengan dukungan teman-temannya ditulis dengan sangat menarik. Teka-teki panjang akhirnya diurai berkat kelihaian Gajah Mada. Sesuai catatan sejarah, setahun setelah kematian Jayanegara, Sri Gitaraja dan Dyah Wyat bersepakat untuk memimpin Wilwatikta berdua. Gajah Mada yang banyak berperan pangkatnya bersinar dan diangkat menjadi patih di Daha. Buku Ketiga : Gajah Mada, Hamukti Palapa Dalam buku ketiganya ini Langit benar-benar menjadikan Gajah Mada sebagai aktor utama. Lenyapnya pusaka kerajaan Cihna Nagara Gringsing Lobheng Luwih Laka dan Songsong Udan Riwis menjadi misteri yang harus dipecahkan Patih Gajah Mada, Senopati Gagak Bongol, Senopati Gajah Enggon, Pradabhasu dan bhayangkara lainnya. Penelusuran terhadap lenyapnya kedua pusaka itu membawa telik sandi di bawah pimpinan Gajah Mada menguak rencana makar di Keta dan Sadeng. Kali ini Langit sedikit demi sedikit mulai membuka beberapa rahasia. Percintaan Sekar Kedaton Dyah Wiyat dan Ra Tanca terungkap. Begitu pula asmara masa lalu Ratu Gayatri dengan mantan maling Wirota Wirogati, yang ternyata ikut mendalangi pemberontakan. Langit pun menguak sedikit kisah cinta segitiga antara Dyah Menur, Raden Kudamerta (suami Prabu Putri Dyah Wiyat), dan mantan bhayangkara Pradabhasu. Selain itu, Langit juga menyusupkan lintasan ke belakang tentang pemberontakan Ken Arok dan kisah keris Empu Gandring, cerita Raja Singasari Kertanegara mengusir utusan Tartar, runtuhnya Singasari akibat serangan Kediri, sampai pada perjuangan Raden Wijaya mendirikan negeri baru di atas Tanah Perdikan Tarik. Langit juga mulai bermain dengan mistik yang lazim hadir dalam legenda zaman dahulu. Ilmu-ilmu yang musykil–seperti mendatangkan kabut, angin ribut, ilmu sirep, menghilang atau telepati–dihadirkan. Akhirnya, Gajah Mada berhasil memadamkan pemberontakan Keta dan Sadeng dengan gemilang. Atas rentetan prestasinya, Mpu Mada kemudian ditahbiskan menjadi mahapatih menggantikan Arya Tadah yang sudah renta. Saat dilantik menjadi mahapatih inilah Gajah Mada mengucapkan sumpah yang menggetarkan, Sumpah Sakti Hamukti Palapa Demikian sumpahnya: “Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa”. Artinya, Gajah Mada belum akan menikmati palapa (kemewahan duniawi) sebelum menyatukan seluruh Nusantara di bawah panji-panji Gula Kelapa Majapahit. Buku keempat : Gajah Mada, Perang Bubat Dalam buku ini diceritakan Perang Bubat yang legendaris. Peristiwa yang menjadi inti cerita seri ini juga menjadi titik balik karir Sang Mahapatih. Perang Bubat adalah tragedi sejarah di mana Raja Sunda-Galuh (Pajajaran) dan putrinya, Dyah Pitaloka, beserta seluruh pengiringnya gugur dalam pertempuran melawan pasukan Gajah Mada di Tegal Bubat. Raja Pajajaran Prabu Linggabuana tidak sudi meluluskan permintaan Gajah Mada, yang meminta Dyah Pitaloka diserahkan sebagai upeti, tanda tunduk kepada kekuasaan Majapahit. Padahal, dalam perjanjian sebelumnya Dyah Pitaloka akan dipersunting menjadi permaisuri Prabu Hayam Wuruk. Harga diri ksatria Sunda Galuh terkoyak dengan permintaan Gajah Mada. Mereka yang hanya berjumlah kurang dari seratus orang itu kemudian mengamuk melawan pasukan segelar sepapan Majapahit. Semua pengiring raja dan Putri Sunda yang sudah bersiap besanan dengan Maharaja Majapahit pun akhirnya tumpas tapis, termasuk Dyah Pitaloka yang memilih mengakhiri hidupnya dengan mati lampus (bunuh diri). Selain dramatisnya Perang Bubat, jangan lupakan gelegak cinta Saniscara terhadap Dyah Pitaloka. Dengan kekuatan cintanya Saniscara melukis putri pujaannya seolah hidup. Namun, lukisannya pula yang membuat Prabu Hayam Wuruk kemudian ingin menyunting Putri Sunda itu. Kisah cinta mereka berdua menjadi bumbu yang sangat “pedas” yang mengiringi Tragedi Bubat. Buku Kelima : Madakaripura Hamukti Moksa Di mana Gajah Mada selepas Perang Bubat? Kisah Sang Mahapatih usai peristiwa yang menjadi titik balik karirnya itu tidak banyak diketahui orang, seperti juga asal-usulnya yang samar. Buku kelima Langit ini berada pada ranah perjalanan Gajah Mada setelah lengser dari jabatan mahapatih usai peristiwa Bubat. Sang Mahapatih diceritakan menyepi ke Madakaripura. Gajah Mada, yang menjadi rakyat biasa, kemudian menyaksikan benih-benih perpecahan yang menggerogoti imperium Majapahit yang dibangunnya. Selain itu, Langit juga menyajikan spekulasi balas dendam dari Pajajaran kepada Gajah Mada serta mulai munculnya Islam di bumi Majapahit. Langit kemudian membuat penyelesaian cerita Gajah Mada di buku ini, Madakaripura Hamukti Moksa. Semua misteri yang dibangunnya terkuak tuntas. Ada banyak hal dan tokoh yang harus diingat dari buku terdahulu. Kejutan-kejutan tak terduga pun dihadirkan pengarang sampai halaman terakhir bukunya. Namun, Gajah Mada tetaplah seorang tokoh yang menyimpan misteri. “Biarlah orang mengenangku hanya sebagai Gajah Mada yang tanpa asal-usul, tak diketahui siapa orang tuanya, tak diketahui di mana kuburnya, dan tak diketahui anak turunannya. Biarlah Gajah Mada hilang lenyap, moksa tidak diketahui jejak telapak kakinya, murca berubah bentuk menjadi udara,” tulis Langit di akhir buku ini. Cukup banyak memang yang dihadirkan Langit dalam kelima bukunya, tapi tetap saja terasa kurang. Masih ada cerita penaklukan Nusantara yang luput diceritakan. Masih ada juga kisah Perang Paregreg yang mengakhiri gilang-gemilangnya Majapahit. Majapahit memang terlalu besar jika hanya dihadirkan dalam sosok Gajah Mada. Namun, usaha Langit untuk menghidupkan kembali imperium yang hilang ini pantas diacungi jempol, terutama kemampuan bertuturnya yang membuat buku sejarah yang membosankan menjadi memikat. Banyaknya catatan kaki yang menjelaskan latar belakang historis juga menunjukkan keseriusan sang pengarang dalam melakukan observasi sebelum menulis. Pilihan istilah Sansekerta dan ungkapan jadul dia tulis dengan penjelasan yang gamblang. Istilah segelar sepapan, tumpas tapis, makantar-kantar, nggegirisi, rawe-rawe rantas malang-malang putung dan beberapa idiom lainnya memberikan bumbu manis novel ini. Langit pun menghadirkan sisi lain dari kerajaan terbesar yang pernah berdiri di bumi Nusantara itu. Ia menggambarkan bagaimana demokrasi sudah terbangun sejak zaman Majapahit. Tradisi pepe atau berjemur beramai-ramai untuk menyampaikan aspirasi kepada penguasa, mengingatkan pada aksi demonstrasi jalanan saat ini. Selain itu, sistem hukum Majapahit pun digambarkan sudah sedemikian baik dengan Kitab Kutaramanawa (semacam konstitusi dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana saat ini). Kalau pun perlu memberi catatan, barangkali soal kurang liarnya imajinasi pengarang dalam, misalkan, gambaran tentang perang yang berkobar dan percintaan yang panas. Sehingga eksplorasinya terkesan tanggung. Selain itu, Langit juga sering mengulang kata-kata dan memberikan penjelasan yang sebenarnya tidak perlu. Langit juga kemudian memang kemudian hadir melengkapi kisah imperium majapahit dengan serial  Perang Paregrek. Namun, kisah perang yang menjadi momentum runtuhnya Majapahit hanya dua seri dan tak tuntas. Masih nanggung, Ia justru kemudian melompat balik pada kisah runtuhnya kerajaan Singasari dan berdirinya Wilwatikta dalam Majapahit : Sandyakala Rajasawangsa (2012) dan sekuelnya Majapahit : Bala Sanggrama. Serial itu masih saya tunggu kelanjutanya Dan kini kerinduan akan Sang Mapatih juga Dyah Wiyat pun sedikit terobati...

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun